Pada Senin malam (23/7/2021) di dalam konferensi pers virtual terkait Pemberlakuan Penerapan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, penerapan PPKM akan terus dilakukan selama masa pandemi Covid-19. Setiap kabupaten/kota akan memiliki status level 4-1.
"Perlu kita ketahui bersama, bahwa PPKM ini akan terus berlaku selama pandemi. Ini alat kita untuk menyeimbangkan pengendalian pandemi Covid-19 dengan ekonomi dan lapangan kerja buat masyarakat," ujar Luhut dalam konferensi pers virtual tersebut.
Namun, memang kenyataan di lapangan memang berbeda. Masyarakat sudah banyak yang tidak peduli dengan mau seberapa lama dan panjang PPKM, ataupun level berapa yang diterapkan.
Apalagi jika dihubungkan dengan kewajiban untuk mencari nafkah. Bagi orang-orang yang berpenghasilan tetap, atau kalangan menengah atas, memang kerja/mencari uang dari rumah itu sangat baik dilakukan.
Namun, bagi masyarakat kelas bawah, urusan perut kelaparan dan harus bergerilya ke jalanan, perkebunan, pasar, dll, menjadi prioritas yang harus segera dilakukan.
Lain pula, pemikiran anak-anak sekolah dengan pendidikan daringnya, kesempatan sekolah di rumah sebagai waktu untuk banyak bermain dan leyeh-leyeh semakin terbuka lebar.
Akan tetapi, semakin ruwet bagi orang tua untuk membagi waktu dan pikiran di dalam menghadapi anak-anak untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah online-nya.
Ibarat kata, bagi masyarakat yang biasa-biasa saja taraf kehidupannya sudah bersikap sabodo teuing sama urusan PPKM. Karena kehidupan sehari-hari harus terus berjalan.
Berdamai atau Tidak Peduli?
Persoalan COVID-19 saat ini seolah-olah sudah sangat biasa dan tidak perlu ditakuti. Yang benar-benar terasa mencekam adalah sewaktu penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 3 bulan awal dinyatakan pandemi.
Sebagian besar masyarakat benar-benar takut keluar rumah, jalanan lengang, bahkan viral video orang yang menggunakan APD ketika berbelanja ke supermarket. Padahal, di saat itu, tenaga kesehatan dan tenaga medis kita sedang kekurangan APD untuk penanganan COVID-19.
Semakin lama dan semakin panjang pandemi ini, banyak pula masyarakat yang masih mau menjalani protokol kesehatan dengan baik, tetapi lebih banyak lagi yang cuek. Mereka yang cuek, lebih takut terkena razia Satpol PP, daripada terkena covid.
Tak ayal, saya menjadi teringat perilaku orang-orang di lingkungan rumah yang menjalankan protokol kesehatannya, sewaktu dilakukan PPKM Darurat.
Biasanya mereka dengan santai dan senang mengobrol bersama di depan rumah atau bertegur sapa tanpa menggunakan masker. Tetapi, saat itu orang-orang yang enggan itu mau memakai masker.
Namun, kini saat terjadi penurunan kasus COVID-19 menurun, kendor lagi 3M-nya. Bergerombol sambil bergosip tanpa bermasker jika bertemu di jalan atau depan rumahnya.
Yang terjadi di masyarakat pula, apakah melakukan vaksinasi covid sebagai kebutuhan atau kewajiban? Atau, apakah vaksinasi COVID-19 sebagai bentuk keterpaksaan? Karena vaksinasi ini menjadi syarat bepergian kemanapun dengan harus memperlihatkan sertifikat/kartu vaksinasinya.
Entah ada fenomena apa ini. Apakah orang-orang tersebut memang sudah terbiasa, tanpa merasa was-was, 'hidup berdampingan dan berdamai dengan covid'?
Jauh sebelum pandemi corona ini bergejolak, memang sepertinya warga +62 ini belum terbiasa menerapkan etika bersin/batuk yang benar.
Seringkali saya menemui orang-orang yang gampang sekali membuang ludah/dahak sembarang. Jarang sekali, orang yang ketika batuk/bersin menutupi hidung dan mulutnya dengan tisu ataupun lengan baju yang dalam.
Saat sakit flu juga, banyak yang tidak terbiasa menggunakan masker ke tempat-tempat umum. Dan, hal itu yang saya rasakan sewaktu anak-anak masih bersekolah mudah sekali tertular batuk/pilek dari temannya yang sakit, tetapi datang ke sekolah dan tidak bermasker.
Dan, belum terbiasa pula rajin mencuci tangan dengan sabun/hand sanitizer sebelum dan sesudah beraktivitas makan-minum maupun memegang benda-benda kotor seperti uang, gagang pintu, dll.
Teman kuliah saya yang tinggal di Yokohama, Jepang, pernah membagi kisahnya bagaimana kebijakan sekolah melakukan tindakan pencegahan penyebaran flu sebelum pandemi terjadi.
Diketahui di kelas anaknya ada 5 orang siswa yang sedang sakit flu, maka sekolah meliburkan 3 hari kelas anaknya tersebut. Apabila anak-anak yang sakit kembali bersekolah dan masih bergejala, maka wajib mengenakan masker.
Tak heran, warga Jepang yang disiplin dan terbiasa menjalankan protokol kesehatan menjadi cerminan negara tersebut mampu mengendalikan penyebaran COVID-19.
Berdampingan, namun Jangan Terlena
Lain lagi kisah negara tetangga Singapura tentang konsep berdamai dengan COVID-19 adalah 80% populasi telah mendapatkan 2 dosis penuh vaksin.
Bahkan, Menteri Keuangan Singapura Lawrence Wong mengatakan jika negaranya dapat lebih melonggarkan pembatasan sekitar bulan September.
Persoalan penanggulangan wabah covid ini juga mendapat tantangan serius dari varian virus yang terus bermutasi
Mengutip dari laman media sosial Jubir Satgas COVID-19 RS UNS, Dr.dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sp.PK, bahwa data-data di UK, saat ini varian Delta menjadi penyebab pada 62,7% kasus di sana.
Penyebarannya cepat. Tapi dari sisi CFR (angka kematian) adalah 0,2-0,3%. Sementara varian Alfa sebelumnya sempat mencapai 1,9% dan Beta 1,5%.
Saat ini CFR varian Alfa dan Beta sudah menurun menjadi 1,1% dan 1% karena dominasi kasus beralih ke varian Delta.
Belum lama ini, CDC USA pada tanggal 18 Agustus 2021 merilis bahwa di USA, varian delta ini menurunkan efektivitas vaksin mRNA (Pfizer, Moderna, J&J) bagi tenaga kesehatan yang melakukan perawatan di rumah, para pasien yang dirawat di ruman, maupun para pengunjungnya.
Padahal USA pada Maret-Mei 2021 menyatakan cakupan 2 dosis vaksin COVID-19 mencapai 74,7% dan membolehkan masyarakat yang sehat tidak menggunakan masker di luar ruangan.
Akan tetapi, periode Juni-Juli 2021, ketika varian Delta mulai menyebar, maka efektivitas vaksin covid menurun hingga 53,1%. Dan, Presiden Joe Bidden pun mengumumkan untuk melakukan vaksin booster pada tanggal 18 September nanti.
Oleh karenanya, menghadapi kondisi ini, maka cakupan vaksinasi harus semakin diperluas. Dengan demikian, akan mempersempit peluang terjadinya varian baru karena virus covid hanya bisa bermutasi bila berada dalam sel manusia.
Sama halnya seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, tahun depan pandemi ini akan menjadi endemi, sehingga vaksinasi COVID-19 harus terus digenjot.
Dengan kata lain pula, agar kita selalu bersikap hati-hati dan waspada dengan menjalankan protokol kesehatan sebaik mungkin.