Perempuan ini tidak pergi ke hutan-hutan dan gunung-gunung di Papua. Ia tidak berada di antara aksi-aksi unjuk rasa di jalanan Jayapura atau di Puncak Jaya. Ia justru terbang ke London, Jenewa, dan berbagai kota besar dunia. Berbicara dengan para ahli hukum dan petinggi partai. Membuka jaringan dengan kalangan jetset dunia dari satu pesta cocktail ke pesta cocktail lainnya. Sesekali ia menjadi berita karena skandal asmara.

Jennifer Robinson (JR), 37 tahun, perempuan berambut pirang kelahiran sebuah kota kecil, Berry, di New South Wales, Australia, tidak diragukan lagi adalah salah satu sosok di balik internasionalisasi tuntutan referendum dan kemerdekaan Papua dalam satu dekade terakhir. Terutama yang disuarakan oleh Benny Wenda dan orang-orang Papua yang bersimpati pada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpinnya.

Penampilannya anggun. Bicaranya lembut tertata. Ia berprofesi sebagai pengacara hukum internasional. Menurut pengakuannya, tokoh Benny Wenda sendirilah yang menjadi alasan utama dan inspirasi dirinya memilih profesi ini.

"Tidak banyak pengacara yang mengakui ia diinsiprasi oleh orang yang dibelanya. Untungnya, itulah yang saya rasakan," katanya ketika berpidato pada tahun 2013 di TEDxSydney, sebuah gedung pertemuan terkemuka di Sydney yang dihadiri 2.300 orang.

Kala itu ia berbicara tentang apa yang terjadi di Papua dari sudut pandang Benny Wenda, yang juga hadir dan berbicara pada acara bertajuk Courage is Contagious (bisa dilihat di youtube).

"Hari ini saya akan menceritakan seseorang yang telah menginspirasi saya, seseorang yang kemudian menjadi teman, seseorang yang tidak mau mengkompromikan keadilan, yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri Papua. Dia adalah Benny Wenda," kata JR.

JR telah berada di hampir sebagian besar manuver kampanye Papua Merdeka yang dilakukan Benny Wenda pada satu dekade belakangan ini. Bersama Benny Wenda, ia merupakan penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang berdiri pada 5 April 2009. Melalui organisasi ini, terhimpun sejumlah ahli hukum internasional yang mendukung aspirasi merdeka Papua.

JR juga ditengarai merupakan pelobi yang berpengaruh di kalangan politisi-politisi Inggris, sehingga bersimpati pada perjuangan Benny Wenda. Nama-nama seperti Ketua Partai Buruh, Jeremy Corbins, Anggota Parlemen Inggris (ketika itu), Andrew Smith, Lord Harries of Pentregarth, dan Lembit Öpik yang tergabung dalam International Parliementarian for West Papua (IPWP) adalah para politisi Inggris yang bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan Papua.

Tokoh-tokoh pemerintah dan politik negara-negara Melanesia bekas jajahan Inggris, diperkirakan tidak luput pula dari sasaran lobinya. Ia juga mengaku bertemu Uskup Agung Emeritus Afrika Selatan, Desmond Tutu, salah seorang pendukung penentuan nasib sendiri Papua.

Adalah menarik untuk mengetahui bahwa bersama kepedulian dan antusiasmenya membela Benny Wenda dan mengangkat isu Papua, namanya juga ikut terdongkrak sebagai pengacara internasional. Pada tahun 2010, ia adalah pengacara kunci dan juru bicara tim pembela pendiri Wikileaks, Julian Assange, ketika berjuang melawan permintaan ekstradisi pemerintah Swedia.

Di Inggris, ia berjuang bersama tim Ketua Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbins, ketika ada kekuatan partai hendak mendongkelnya.

Ia juga dikenal dekat dengan—bahkan disebut-sebut orang kepercayaan—Amal Clooney, pengacara hukum internasional yang merupakan istri dari artis Goerge Clooney. Perusahaan-perusahaan media terkemuka seperti New York Times, CNN, Associated Press and Bloomberg News pernah menjadi kliennya dalam hal isu kebebasan berbicara.

Menurut guru sekolahnya ketika di sekolah lanjutan, JR dikenal karena penampilan dan pembawaanya yang manis. Ia bahkan pernah memenangi semacam kontes penampilan di kota kelahirannya pada tahun 2000 dan dianugerahi penghargaan Berry Showgirl.

Sejak kuliah di Australian National University (ANU), ia telah memiliki keinginan untuk berkarier di bidang Hak Asasi Manusia (HAM).

"Saya ingin membuat perubahan. Saya ingin melakukan sesuatu di bidang HAM," kata JR, yang meraih dua gelar dari almamaternya itu, yakni di bidang hukum dan studi Asia.

Ia begitu terobsesi dengan Indonesia. Ia baca-baca semua buku yang berkaitan dengan Indonesia. Mulai dari soal politik, militer, dan lain-lain. Ia ikuti perkembangan politik Timor Timur. Ia juga belajar Bahasa Indonesia. JR bahkan pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada.

Pada tahun 2002, ia mengunjungi Indonesia. Pada saat itu Timor Timur sudah merdeka. Lalu salah seorang dosennya memberi saran yang belum terpikir oleh dia sebelumnya. "Mengapa kamu tidak pergi ke Papua?"

Pertanyaan itu menggoda pikirannya. Dan, ketika ia mulai mendapat informasi tentang Papua dan mendalaminya lebih jauh, ia merasa terkejut. 

"Saya merasa sudah tahu tentang Indonesia, tetapi saya tidak tahu banyak tentang Papua."

Lalu ia mulai bergaul dengan para mahasiswa dan aktivis Papua di Australia. Dari sana ia mengerti bahwa orang Papua adalah dari rumpun Melanesia yang berbeda dengan rumpun Melayu di bagian lain Indonesia. Dari para aktivis dan mahasiswa itu pula ia belajar tentang sejarah Papua.

"Ratusan ribu orang Papua telah dibunuh atau dihilangkan oleh militer di Papua. Juga perusahaan multinasional mendukung Indonesia melakukan itu. Di sini, di Australia, mengapa saya tidak tahu hal ini? Naif," sesalnya.

Hal itu kian mendorong dirinya untuk berusaha mendalami apa yang terjadi di Papua. Ia bergabung dengan sebuah organisasi LSM kecil yang akan berangkat ke Papua.

Ia pun menjejakkan kaki di Jayapura. Ia diperkenalkan kepada Benny Wenda, yang saat itu berada di penjara. Menurut JR, Benny Wenda dituduh melakukan kejahatan kriminal. Tetapi, kata JR, pokok soal dipenjarakannya dia adalah karena ia menyuarakan penentuan nasib sendiri Papua.

JR dan tim LSM dari Australia tersebut kemudian berjuang untuk membebaskan Benny. JR hadir pada sidang-sidang pengadilan Benny.

"Sebagai orang asing, saya tidak bisa mengunjunginya di penjara. Saya bisa dideportasi karena itu. Tetapi, saya menghadiri sidang pengadilannya."

Suatu malam, kisah JR, ia menerima surat dari Benny. (Surat itu masih terus ia simpan walau sudah tampak lecet). Surat itu berpesan kepadanya agar mengangkat isu Papua di Australia.

Ketika JR berada di Papua, terjadi Peristiwa Bom Bali yang menewaskan sejumlah turis, termasuk yang berasal dari Australia. Hal itu memaksa JR terbang dan pulang ke Australia, padahal sidang pengadilan atas Benny Wenda sudah mendekati hari-hari penetapan vonis.

"Saya harus meninggalkan Papua. Saya meninggalkan Papua bersama sebuah keluarga muda yang kemudian tinggal di tempat pengungsian di Papua Nugini. Benny tetap di penjara," kenang Jenni.

Ia mengatakan sangat sedih ketika itu karena menduga tidak akan dapat bertemu dengan Benny Wenda lagi. Tetapi, ternyata kesedihannya tak perlu lama. Setiba di Australia, ia mendapat kabar Benny Wenda telah melarikan diri dari penjara. Dan, tidak hanya itu, Benny berhasil melintas perbatasan dan menyeberang ke Papua Nugini lalu melanjutkan perjalanan menuju Inggris untuk meminta suaka.

Itu membuatnya bersorak. Ia pun mengambil keputusan radikal lainnya. Ia meninggalkan segalanya di Australia. Dia terbang ke London.

Di London, ia kemudian bertemu kembali dengan Benny Wenda. Kelak, istri dan anak Benny Wenda juga bergabung di Inggris. JR membantu Benny memproleh suaka. Berhasil.

Di Inggris, JR melanjutkan studi di Balliol College, Oxford University. Gelar sarjana muda di bidang Hukum Sipil dan gelar magister di bidang Hukum Publik Internasional ia raih dari kampus ini. Pada saat yang sama, ia terus mendampingi Benny Wenda dalam melakukan kampanye untuk Papua.

Dia masih ingat kata-kata Benny Wenda kepadanya ketika itu. "Adik, jangan khawatir, kamu saksi saya, dan kamu sudah saksikan yang dilakukan Indonesia kepada rakyatku. Fokuslah pada studimu. Nanti jika suatu saat namamu sudah besar, kamu akan membantu kami."

Kini gadis dari kota kecil di Australia itu telah terbang tinggi. Dalam tulisan tentang profil dirinya di The Global Mail pada tahun 2012, jurnalis Eric Ellis menyebut Jennifer Robinson sebagai "seorang aktivis yang fasih akan dunia yang tertindas dan kehilangan haknya".

Tetapi, muncul pertanyaan kritis seiring dengan makin populernya namanya. Apakah Papua masih nama yang bisa membuatnya terharu? Atau sudah ada urusan lain yang membuatnya bisa melupakannya?

Referensi