“Hanya butuh satu buku untuk jatuh cinta pada membaca, temukan buku itu dan mari jatuh cinta”, kata Mba Nana.
Sejak SD hingga SMA membaca adalah jawaban yang paling sering saya tuliskan di kolom hobi. Bukan karena saya senang membaca, tapi karena saya belum tahu apa hobi saya secara spesifik. Gambar saya kurang bagus, olahraga juga kurang, maka opsi yang terakhir adalah membaca.
Saya tidak tahu jelasnya apakah membaca layak dijadikan hobi atau tidak. Bukankah setiap orang harus membaca? Jika demikian, membaca adalah keharusan sama seperti makan, bukan hobi. Apa jadinya jika ada orang yang hobi makan? Mungkin ia akan obesitas (jika tidak hobi olahraga). Apa jadinya jika ada orang yang hobi membaca? Mungkin ia akan pintar, seperti Maudi Ayunda. Jika membaca sebagai hobi atau bukan harus dipertentangkan juga sebagaimana perseteruan antara bubur diaduk dan tidak diaduk, maka saya termasuk kelompok yang menganggap membaca adalah hobi. Paling tidak di Indonesia bukan di Jepang (karena di Jepang membaca adalah life style).
Saya berharap dengan memilih membaca sebagai hobi, saya akan benar-benar jatuh cinta pada membaca sehingga bisa jadi orang pintar (bukankah menjadi orang pintar adalah keinginan setiap anak SD?). Saya pun mencoba untuk jatuh cinta pada membaca. Disaat teman-teman sibuk bermain bentengan di lapangan saat jam istirahat, saya memilih ke perpustakaan untuk baca buku. Dan seperti kata Mba Nana yang saya tulis di atas, saya menemukan buku itu. Judulnya Sains itu Asyik ditulis oleh Prof. Yohanes Surya. Saya menyukai buku itu karena bergambar. Buku itu juga membuat saya jatuh cinta pada pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan dan Alam), sehingga pelajaran IPA kelas 4,5, dan 6 sudah saya baca saat masih kelas 3.
Sayangnya, saya hanya bisa berkencan dengan buku ketika di sekolah. Di rumah tidak ada buku yang “bisa” saya baca. Tidak ada majalah bobo ataupun buku bergambar lainnya. Hanya ada buku milik bapak saya yang ia beli sewaktu masih kuliah. Alih-alih membaca isinya, melihat judulnya saja sudah memunculkan seribu pertanyaan yang tidak mungkin akan dijawab oleh bapak saya.
Interaksi saya dengan buku sains bergambar terhenti ketika saya tamat SD. Selanjutnya saya jarang membaca karena perpustakaan SMP dan SMA saya tidak menyediakan buku yang bisa membuat jatuh cinta pada membaca. Meski demikian, saya tetap memilih membaca untuk mengisi kolom hobi hingga kuliah.
Di bangku kuliah inilah saya mendengar qoutes Mba Nana tentang jatuh cinta pada membaca. Sebelumnya saya rajin membeli buku tapi belum tergerak untuk membaca. Perjalanan saya untuk menemukan cinta pada membaca kembali dimulai dengan buku Api Sejarah oleh Ahmad Mansur Suryanegara (saya pernah menonton ceramah Ust. Adi Hidayat tentang nama Pattimura yang diubah dan sumbernya ada di buku ini). Kemudian bergeser ke Perang atas Nama Iman oleh Khairul Amal. Selanjutnya ke Madilog oleh Tan Malaka (tapi tidak paham), dan masih banyak yang lain. Semuanya gagal. Gagal membuat saya jatuh cinta pada membaca.
Tahun 2020 ketika pandemi melanda dan melumpuhkan seluruh kegiatan, membaca menjadi hiburan terakhir yang belum terjamah. Saya pun kembali membuka buku yang sebelumnya sudah saya siapkan untuk dibaca mengisi waktu luang selama di kampung. Dan tepat di bulan November 2020 –meminjam judul lagu Naff- Akhirnya Ku Menemukanmu. Buku itu adalah Muslim Tanpa Masjid ditulis oleh Prof. Kuntowijoyo.
Saya membelinya di pelataran SC UIN Jakarta tepat pada tanggal 20 November 2019. Kemudian saya mulai membaca buku itu pada tanggal 13 Januari 2020. Baru beberapa halaman membaca pengantarnya saya memutuskan untuk menangguhkannya karena bahasanya yang njelimet dan banyak istilah-istilah yang tidak saya mengerti. Itu karena buku ini ditulis oleh pakar sejarah dan sosiologi sedangkan basic saya adalah agama.
Lantas, apa yang membuat saya jatuh cinta pada buku ini yang juga membuat saya jatuh cinta pada membaca?
Saya menamatkan buku dengan jumlah halaman 452 ini sebanyak dua kali. Butuh perjuangan untuk menyelesaikan buku ini mengingat ini bukan novel dan tidak bergambar sama sekali. Saya senang mengakui bahwa saya bangga menyelesaikan buku ini. Secara buku ini termasuk buku berat (karena banyak term ilmiahnya) dan cukup tebal.
Orang bilang bahwa tanda kalau kita sedang jatuh cinta adalah hati kita tiba-tiba merasakan sesuatu yang beda dari biasanya. Perasaan itulah yang saya rasakan ketika membaca salah satu esai tentang hubungan antara agama dan budaya, agama dan seni di buku ini. Saya memang punya kegelisahan akan hubungan antara agama dan budaya ataupun seni. Apakah benar agama (baca Islam) mematikan budaya dan seni.
Selama ini argumen yang saya dapatkan akan kegelisahan ini belum memuaskan saya. Tetapi argumen yang ditawarkan oleh Prof. Kuntowijoyo benar-benar menyentuh hati saya. Beliau menganggap bahwa agama semestinya tidak menghilangkan budaya, tetapi harus menghidupkannya.
Dengan budaya cara beragama bisa lebih hidup dan ekspresif. Dengan budaya juga cara beragama kita bisa berbeda dengan orang Arab ataupun negara lain. Terlebih lagi di Indonesia, dengan beragamnya suku dan budaya, maka beragam pula cara beragama kita. Budaya itulah yang menjadi ciri khas sekaligus pembeda kita dalam beragama dengan suku atau bangsa lain. Akhirnya agama akan menjadi kaya dan lebih variatif. Jauh dari kesan monoton dan kaku.
Masih banyak gagasan-gagasan Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya itu yang menyentuh hati saya. Terlalu panjang untuk saya uraikan di sini. Sebagai penutup saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Kunto yang telah membuat saya jatuh cinta pada membaca lewat gagasan-gagasannya. Semoga ini menjadi amal jariyah bagi beliau. Amin.