Hampir satu pekan ini publik dihebohkan oleh pemberitaan YIM atau Yusril Ihza Mahendra yang merapat ke koalisi Indonesia Kerja, Jokowi-Maruf Amin. Beliau didapuk sebagai pengacara tim kampanye nasional Jokowi-Maruf Amin. Dalam beberapa jam pasca pengumuman itu, sontak publik bahkan kedua kubu geger atas langkah tersebut.
Di kubu TKN Jokowi, politisi PDIP Eva Kusuma Sundari misalnya, meminta Yusril untuk mundur dari pengacara HTI sebagai langkah keberpihakan terhadap tim. Politisi PDIP ini menilai Yusril tidak bisa dualisme dalam bersikap, karena HTI Anti Pancasila dan vis versa TKN Jokowi adalah Pengusung Pancasila.
Di kubu Pendukung Prabowo, PA 212 Novel Hasan Bamukmin menilai bergabungnya Yusril sebagai langkah pengkhianatan terhadap Umat Islam. Bahkan pengacara TKN Prabowo, Habiburokhman mengatakan tidak akan gentar berhadap dengan lawyer Jokowi tersebut (andai jika harus berhadap pada potensi sengketa pemilu maupun pelanggaran pemilu).
Yusril sendiri langsung menanggapi kedua kubu yang berpendapat miring tentang dirinya yang merapat ke TKN Jokowi-Maruf Amin. Yusril Ihza Mahendra menanggapi Eva Sundari dengan pernyataan bahwa ia tinggal menunggu putusan akhir dari Mahkamah Agung atas memori kasasinya, yang berarti tugasnya sebagai pengacara susah selesai.
Beliau juga menanggapi tuduhan persamaan ideologi Yusril yang membela kasus pencabutan Badan Hukum organisasi HTI, bahwa menurutnya pengacara itu profesional, tidak identik dengan kliennya. Menjawab tuduhan kelompok Prabowo yang mengatakannya sebagai pengkhianat Umat Islam yang dilontarkan kelompok 212.
Yusril Ihza Mahendra menanggapi bahwa dirinya tidak diberi kejelasan soal pembagian kursi partai dalam koalisi yang didominasi Gerindra (Prabowo-Sandi), dirinya dan kader lain PBB berpotensi digergaji di pemilu legislatif oleh Gerindra. Tiga pendapat Yusril memang tidak akan memuaskan kedua kubu, namun kita memahami betul Yusril memiliki kebutuhan PBB yang sekedar melibihi kepentingan.
Sejarah Dekat dengan Pusat Kekuasaan.
Pada bagian ini, jangan dulu diartikan bahwa Yusril seorang yang punya hasrat berkuasa. Jangan juga menuduh penulis menghujat Yusril dengan susunan artikel hoaks. Pada bagian ini, kita harus membaca sejarah gerak politik Yusril untuk memahami sikap politiknya hari (menjadi Pengacara TKN Jokowi).
Mengawali karier perpolitikan, jika kita mengacu pada buku Firdaus syam (2004: 239) berjudul Yusril Ihza Mahendra: Perjalanan Hidup, Pemikiran, dan Tindakan Politiki, Yusril telah masuk secara resmi ke gerbang perpolitikan ketika beliau menjadi wakil ketua ICMI pada tahun 1995 yang merupakan bentukan dari Presiden Soeharto.
Karier Yusril melonjak tajam hingga ditunjuk menjadi penulis naskah pidato Presiden Soeharto pada tahun 1996 (Syam, 2004: 240). Yusril juga yang menulis naskah pidato pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1996.
Di era reformasi, Yursil melanjutkan perjalanan politiknya pasca kepemimpinan Presiden Baharudin Jusuf Habibie. Pemilu pertama di tahun 1999, bersama Amien Rais, Yusril memgusung Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Yusril Ihza Mahendra kemudian menjadi Menteri Menteri Kehakiman dan Hak Asasi manusia pada periode pemerintahan Gus Dur (26 Agustus 2000 - 7 Februari 2001). Beliau juga melanjutkan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada masa pemerintahan Megawati (9 Agustus 2001 - 21 Oktober 2004).
Pada masa Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Yusril kembali ditinjuk sebagai Menteri Sekretaris Negara Indonesia (28 Oktober 2004 - 9 Mei 2007). Posisi Mensesneg Yusril digantikan oleh Hatta Rajasa melalui reshuffle kabinet SBY. Hampir 11 tahun Yusril berada di pusat kekuasaan, jika kita melihat dari rekam jejaknya. Hingga tahun 2007, ia mengisi proses berjalannya negara di empat periode (presiden) berbeda.
Kebutuhan Mendesak Partai PBB lolos PT
PBB, partai yang dibangun Yusril pada medio 1998, punya kebutuhan mendesak untuk bangkit "kedua kalinya". Pada pemilihan umum tahun 1999, PBB meraih suara sebesar 2.84 persen dengan raihan 2.049.708 suara. Sebagai partai baru, PBB meraih sukses pada start pemilunya saat itu.
Pada pemilihan umum 2004, PBB meraih suara sebanyak 2.62 persen dengan raihan 2 970 487 suara. Pada pemilihan umum 2009, suara PBB menukik tajam ke bawah di angka 1.79 persen atau 1.864.752 suara. Pada pemilihan umum 2014, suara PBB kembali berkurang di angka 1.46 persen atau diangka 1.825.650 Suara.
Di dua pemilu terakhir, PBB tidak kuasa menahan penurunan suara di bandingkan kesuksesan meningkatkan di dua pemilu sebelumnya (1999 dan 2004). Di tahun 2014, Parliamentary Threshold yang diterapkan adalah 3 persen, yang artinya di 2019 partai ini tidak dapat mengikuti pemilu. Lewat perjuangan konstitusional di Bawaslu, PBB mendapatkan pengabulan untuk mengikuti pemilihan umum di tahun depan.
Hasil Survei Nasional Elektabilitas Partai Peserta Pemilu 2019 pada 28 September 2018, dijumpai angka 0.2 persen responden akan memilih Partai Bulan Bintang. Pada Hasil survei terbaru yabg dirilis 2 November 2018 Elektabilitas 16 Partai di 10 Provinsi Terbesar di Indonesia PBB juga masih menjadi partai kecil dengan persentasi nol koma dan posisi belasan.
Jawa Barat 0.2% (13), Jawa Timur 0.3% (11), Jawa Tengah 0.0% (15), Sumatera Utara 0.3% (11), Banten 0.0 % (16), DKI Jakarta 0.3% (14), Sulawesi Selatan 0.2% (15), Lampung 0.2% (13), Sumatera Selatan 0.3% (12), Riau 0.5% (12).
Untuk mencapai satu persen di pemilu 2019, memang benar, Yusril harus berkonsentrasi mengamankan partainya dari gergaji hegemoni Gerindra dan Prabowo-Sandi. Apalagi 2019, parliamentary threshold adalah 4 persen. Menjadi ujian berat bagi PBB untuk mampu lolos tanpa perjuangan konstitusional lagi ke Bawaslu.
Berhadapan dengan Kenyataan Tak Menyenangkan
Dua faktor yang setidaknya memberikan penjelasan mengapa Yusril Ihza Mahendra memang harus menjalani politik yang realistis (tindakan ataupun pemikiran yang didasari kondisi objektif). Pertama, kesejarahan membentuk Yusril yang juga merupakan Akdemisi dan Advokat untuk selalu berada di pusat pemerintahan.
Hal ini tidak bisa ditampik, hingga tahun 2007 Yusril ada menteri yang awet tampil di panggung politik tiga rezim. Pada tahun 2014, Yusril pernah mengambil posisi sebagai pengkritisi kebijakan Kabinet Indonesia Hebat Jokowi-Jusuf Kalla. Namun, kritiknya memang masih di ambang wajar dan bertujuan untuk mengarahkan Jokowi - JK dari luar sistem, sesuai dengan kebutuhan rakyat.
Kedua, Partai Bulan Bintang besutannya bukan partai yang besar, dalam artian jumlah dukungan.
Sejak 1999 hingga 2014, 15 tahun berlayar di dunia pemilihan umum, paling tinggi PBB meraih suara 2.9 juta di tahun 2004 dan terkecil 1.8 juta di tahun 2014. Kenyataan ini memang tidak menyenangkan, untuk masuk ke laga tahun 2018, Yusril harus memperjuangkan PBB hingga ke gugatan Bawaslu. Di tambah, memang koalisi Adil Makmur Prabowo tidak memberikan kepastian strategis mengenai kursi partainya jika kelak berkuasa di 2019.
Memang, merapat ke TKN Jokowi bukan jaminan PBB bisa lolos PT yang beratnya mencapai 4% suara nasional di tahun 2019 ini. Namun, paling tidak Yusril yang selama ini memang besar dengan sosoknya (berbanding terbalik dengan partainya), berpeluang menjadi pimpinan Kementerian, Lembaga, atau BUMN. Hal ini hanya dapat direalisasikan jika ia merapat ke kandidat yang memiliki peluang besar memenangkan pemilihan umum presiden di tahun 2019.
Hal ini dirasa wajar, karena hasil survei belasan konsultan politik terakhir memang Jokowi masih unggul rata-rata di angka 52 persen (bervariasi nol koma sekian persen di tiap rilis survei konsultan). Penulis pun dapat memahami kebutuhan Yusril Ihza Mahendra untuk bergabung ke koalisi pemenang sekaligus menyusun kembali kekuatan untuk mengikuti laga pemilu 2024.
End Notes
i Syam, Firdaus. 2004. Yusril Ihza Mahendra: perjalanan hidup, pemikiran, dan tindakan politik. Jakarta: Dyatama Milenia.