Cerita ini adalah pengalaman suami saya dan teman-teman seperhobiannya. Jumat yang lalu, suami saya sudah bersiap dengan ransel saktinya. Ini adalah akhir pekan yang ditunggu-tunggu, masa berpetualang dengan motor trail bersama teman-teman kantornya. Kali ini agendanya adalah mengitari Gunung Hejo Purwakarta.
Sebagai istri tidak ada pilihan selain mengizinkannya. Selain sudah diatur sedari lama, saya juga selalu senang jika diizinkan secara periodik menghabiskan waktu bersama gank ibu-ibu saya.
Namun sedikit berbeda dari biasanya, ada sedikit raut ganjil yang terbaca di wajah suami sepulang acara.
“Kenapa Mas?”.
“Ini si Rahmat pulang duluan Dik, motornya jatuh kemarin”.
“Tapi gak papa kan?”
“Iya, alhamdulillah gakpapa”.
Namanya jatuh dari motor trail apalagi dengan kecepatan pengendaranya yang suka rada offside membuat saya mengernyit agak khawatir.Namun kejadian kali ini bukan kecepatan berkendara yang offside tapi guyonan Rahmat disinyalir menjadi penyebabnya. Suami saya bercerita, bahwa kejadiannya begitu tiba-tiba. Bukan karena roda motor melindas sesuatu sehingga terpeleset atau medan licin yang menjatuhkannya.
Begini ceritanya. Seperti biasa sebelum tim berangkat sudah dilakukan briefing untuk memastikan jalur mana yang akan dilewati berikut peringatan untuk selalu waspada di manapun jalur yang dilewati. Namanya petualangan trail, jalur yang dilewati sudah pasti bukan jalur jalan raya yang ramai orang. Adalah jalan berliku, ada kalanya sungai dan rerimbunan pohon yang akan dilewati.
Melewati area semacam itu, bukan hanya menuntut kewaspadaan tingkat tinggi tentang medan, tetapi lebih jauh lagi juga norma dan sopan santun selama perjalanan. Kepada siapa? Ya tentu saja kepada semua penghuninya. Baik yang kelihatan maupun yang tak kasat mata. Yang terakhir disebut ini seringkali membuat merinding bulu kuduk pengendara, dan perlu dijaga perasaannya.
Itulah sebabnya saya selalu bilang, “Mas dzikir terus lho ya jangan lupa!!”. Dan ini benar-benar pesan yang saya niatkan untuk keselamatannya. Saya kenal benar suami saya ini meskipun begitu tegas dengan manusia tapi cukup gigrig dengan makhluk ghoib. Segokil-gokilnya suami saya tetap menaruh hormat (lebih tepatnya ngeri) kepada bangsa jin dan lelembut. Terlebih lagi kali ini rute yang ditempuh adalah Gunung Hejo, tempat yang mahsyur dengan keangkerannya.
Sabtu pagi sekitar pukul delapan berangkatlah mereka dari titik kumpul Cirata. Beberapa jam perjalanan diselingi rehat beberapa kali semua aman-aman saja. Saat dhuhur tiba seluruh rombongan berhenti untuk istirahat. Pemandangan Gunung Hejo yang ijo royo-royo akan lebih nyaman dinikmati dengan menyeruput kopi.
Nah, kala itu Si Rahmat ini sempat berseloroh dengan guyonan yang cukup vulgar sambil tertawa. Mendengar guyonan itu, teman-teman yang duduk di dekatnya saling berpandangan dan berasa “mak dheg” di dada. Ada firasat kurang enak, namun mereka hanya sebatas saling pandang tanpa berani lebih jauh membahasnya.
Dan perjalananpun dilanjutkan kembali. Keadaan jalan Gunung Hejo cukup cerah namun hawa-hawa “khas” mulai dirasakan. Ndilalah siang itu suami saya berkendara tepat di belakang Rahmat sahabatnya. Di jalanan yang masih wajar dan langit yang padhang njingglang, tiba-tiba si Rahmat terjatuh dan tangannya tertimpa motor trailnya. Kejadian ini benar-benar beberapa helaan nafas setelah mulai perjalanan pasca istirahat tadi.
Iring-iringan motor trail terhenti untuk menolong Rahmat dan mengevakuasinya ke warga perkampungan terdekat. Sempat panik, karena Rahmat merintih dan mengatakan , “Patah rek tangan gue..”. Perjalanan yang baru seperempat track tak mungkin lagi dilanjutkan. Beruntung ada penduduk yang mau meninggalkan sejenak aktifitasnya membuat tahu untuk mengantarkan Rahmat ke klinik terdekat.
Syukur alhamdulillah, tangan Rahmat tidak patah hanya keseleo saja. Semua lega dan mereka menuju penginapan menghentikan petualangan trailnya. Dengan dzikir apapun sebisa-bisanya.Setelah cukup melepas penat, dimulailah percakapan itu. Beberapa orang mengungkapkan ada firasat yang sama saat guyonan Rahmat terlontar.
Jatuhnya Rahmat yang tiba-tiba diyakini akibat penghuni Gunung Hejo tidak suka dengan guyonannya. Rahmatpun sekembalinya dari klinik mengungkapkan, “Apa gara-gara omongan gue tadi ya?” Semua yang mendengar hanya bisa gemas. Kalau saja tangan si Rahmat tidak sakit, bakal ramai-ramai kena tabok teman-temannya. Rencana menyelesaikan jalur seketika ambyar, tinggal impian belaka.
***
“Ya sudahlah mas, yang penting semua selamat ya kan?”. Suami saya menyambung ceritanya, “Ehm.. iyaa sih, cuma ya itu tadi temen-temen pada belum puas. Jadi pengen ngulang lagi minggu depannya, boleh yaa” . Saya hanya melirik tajam ke arahnya, ingin tepok jidat sambil koprol rasanya. Hadahhh dasar kaum pria.