Pemungutan suara untuk Pemilu 2019 sudah dilaksanakan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), berdasarkan quick count, hampir dipastikan tidak akan mendudukkan kadernya di parlemen.

Perolehan suara partai besutan Grace Natalie ini tidak mencapai 4 persen. Meski demikian, PSI bukanlah partai nol koma. Suaranya mencapai 2 persen. Cukup bagus untuk partai baru dengan platform politik pembaru.

Sebagai partai baru, PSI memiliki keberanian luar biasa. PSI berani mengangkat isu pluralisme dan toleransi. Kita tahu, di negeri ini, dua isu itu merupakan barang tabu. Namun PSI tak ragu meski sangat berisiko sebagai partai yang ikut serta dalam Pemilu.

Beberapa hari jelang pemungutan suara, PSI masih berani mengecam tindakan pengusiran tehadap seorang warga bernama Slamet dari Dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Slamet diusir karena ia seorang nonmuslim. PSI tidak memilih diam. Sikap PSI itu tentu memuat risiko tak mendapat suara. Sebab, kecaman PSI berarti berlawanan dengan sikap warga yang mengusir itu. 

Selain PSI, coba sebutkan partai yang terang-terangan plus konsisten melawan intoleransi? Para pelakon politik di negeri ini malah cenderung menghindari, tutup mata, tutup hati saat intoleransi terjadi. 

Wajar bila sang Ketua Umum Grace Natalie mengkritik kaum nasionalis. Grace menilai, kalangan nasionalis tidak pernah buka suara mengenai kasus intoleransi yang terus terjadi. Lagi-lagi, sikap ini sungguh berani.

Kegelisahan dan sikap PSI soal 'normalisasi intoleransi', meski masuk akal, namun sungguh tidak ideal. Sebagai partai baru, manifesto PSI jelas melawan pasar. Sesuatu yang lazimnya haram dilakukan oleh kelompok politik apalagi mendekati Pemilu. Bahkan, saat politik identitas menguat, banyak politikus berlomba-lomba mencitrakan diri bertobat.

Pascaaksi 212, intoleransi memang semakin menjadi. Selain kasus Slamet, ada pula kasus nisan salib yang dipotong. Penolakan pendirian gereja serta ornamen yang dianggap menyerupai salib di Jalan Jenderal Sudirman, Surakarta. Semua itu seolah normal saja. Elite politik tak mau banyak bicara. Sekalinya pun bicara, justru malah membenarkan dan memberikan pembelaan.

Namun, PSI konsisten mengusung kampanye toleransi. Padahal pasar politik saat ini lebih menyukai jargon politik dengan kemasan agama. Hal itu sejalan dengan kenyataan bahwa pemilih dari kalangan Islam menguasai pangsa terbesar. Tak heran nuansa Islam kerap digunakan, lebih tepatnya disalahgunakan.

Bila PSI hanya fokus mengejar suara, seharusnya paling tidak lebih baik PSI diam. Sebab gerakan intoleran saat ini seolah mendapatkan ruang. Ditambah embel-embel ijtimak ulama sebagai dukungan. Maka, jadilah Pemilu 2019 seolah hanya hajatnya umat Islam.

Pada situasi ini, harusnya PSI mengenakan kerudung atau sarung. Pakai peci dan baju gamis yang mencitrakan kiai. Beri pembenaran atas apa pun yang umat Islam lakukan. Soal ketidakadilan dan ketimpangan, berlagak saja lupa ingatan.

Namun, PSI malah melawan. PSI berani menolak Perda syariah yang kerap dibuat asal-asalan. Sebab yang penting dapat mendulang suara dari kalangan Islam. PSI menolak secara terang-terangan. Poligami mereka lawan tanpa keraguan. PSI pun berhadapan dengan kelompok Islam. Sesuatu yang harusnya tak dilakukan.

Kenapa PSI tak mengikuti arus saja? Yaitu tidak mengecam mereka yang intoleran. Membiarkan ketidaksetaraan antara Islam dan non-Islam. Tak banyak komentar kecuali memuji aksi-aksi bela Islam. Tak mengkritik apalagi menolak poligami. PSI fokus saja memoles diri karena yang terpenting bisa mendapatkan kursi.

Tapi itulah PSI. Dalam berpuluh-puluh tahun ke depan, akan sangat sulit mencari partai seberani PSI. Hampir tidak akan ada lagi partai yang punya nyali seperti PSI. 

Partai juncto politikus tentu hanya akan memikirkan diri sendiri. Mengatur strategi untuk mendapatkan kursi. Tak peduli dengan maraknya persekusi dan permisif dengan intoleransi. Partai akan sangat takut tak mendapat suara mereka karena dilabeli sebagai penista agama.

Tokoh sekaliber Anies Baswedan yang dikenal moderat saja, saat ia terlibat dalam kontetasi politik, tak kuat jika tak berintrik. Anies merapat ke Front Pembela Islam (FPI), kelompok yang punya rekam jejak intoleran. Anies menjadi rasis, menyinggung soal pribumi dan non-pribumi.

Atau dorongan Partai Gerindra kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk mengajukam banding soal sengketa pembubaran. Fadli Zon dan Fahri Hamzah bahkan ikut aksi Bela Islam mengoyak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dituding menista agama. 

Meskipun, bisa saja apa yang dilakukan Anies, Fahri, Fadli, Gerindra, dan elemen politik lain hanyalah langkah politis, dalam rangka meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Namun, itu artinya, politikus akan selalu berkompromi dengan arus. Tak menolaknya apalagi menghadangnya. Arus bela agama sedang kuat. Maka jadilah politikus yang rajin salat. 

Saat ini, saya sedih PSI tak memenuhi ambang batas. Saya berduka karena Sis Grace, Sis Tsamara, dan Sis Isyana Bagoes Oka tak duduk di Senayan sana. Saya sedih karena partai yang berani melawan arus dan progresif malah tak lolos. 

Saya makin khawatir, intoleransi kian menjadi. Tidak lolosnya PSI, bagi saya, menandakan intoleransi benar-benar telah dinormalisasi. Jangan pergi, PSI.