Saya laki-laki. Saya tidak mengenakan hijab. Namun, beberapa waktu belakangan saya menyimpan banyak keresahan mengenai bagaimana hijab diterapkan dan dikampanyekan. 

Saya kemudian mencari berbagai pandangan seputar hijab, melewati masa perenungan yang panjang hingga kini memberanikan diri untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. 

Tulisan ini dibuat tidak dengan maksud menyudutkan siapa-siapa. Saya menaruh hormat pada Islam, hijab, dan perempuan—apa pun model pakaian yang ia kenakan. Semua uraian yang saya tuliskan di sini tidak lepas dari konteks pemakaian hijab di Indonesia. 

Penggunaan kata hijab dalam tulisan ini—meski ketepatannya masih diperdebatkan—dipilih mengikuti istilah yang digunakan secara umum di Indonesia.

Hijab sebagai Sistem Perlindungan

Setelah membaca beberapa referensi seputar hijab, saya berkesimpulan bahwa ada sesuatu yang hilang dari pemaknaan terhadap hijab yang sekarang ramai dikenakan dan dikampanyekan oleh sebagian muslim di Indonesia. Hal itu adalah fungsi sosial hijab sebagai sebuah sistem perlindungan terhadap anggota komunitas yang rentan terhadap gangguan. 

Sesuatu yang sangat saya sayangkan. Karena, menurut saya, peran utuh hijab masih sangat kita perlukan hingga saat ini.

Sebagian orang memandang hijab sekadar bentuk pengabdian kepada Tuhan. Ketika diajak berbincang tentang aspek historis turunnya perintah mengulurkan pakaian, mereka menghindarinya dengan berkata bahwa terlepas dari apa pun alasan turunnya perintah itu, menutup aurat telah menjadi bagian dari ibadah. Maka tak perlu digugat lagi apa penyebab perintah itu turun.

Pola pemikiran seperti itu membuat hijab secara khusus dan ajaran agama secara umum menjadi begitu sempit dan mandul sebagai sebuah tuntunan hidup. Ketika kita menolak memahami fungsi duniawi suatu ritual ibadah, tanpa sadar kita telah mereduksi agama menjadi sekadar alat pemuas Tuhan belaka, atau jalan mendulang pahala supaya bisa dapat tiket masuk surga. 

Sedangkan kualitas hidup kita tetap begitu-begitu saja. Padahal, agama seharusnya menjadi panduan agar hidup para pemeluknya menjadi lebih baik, bukan begitu?

Pengabaian dampak sosial suatu ritual agama bisa menimbulkan efek yang buruk. Misalnya pada perintah bersedekah. Keinginan menimbun pahala membuat orang-orang bernafsu untuk bersedekah sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dengan bijak kepada siapa sedekah itu diberikan. 

Mereka bisa dengan mudah memberikan uang kepada para pengemis di jalanan dengan alasan “yang penting kan niat saya beribadah, terserah mereka betulan butuh atau tidak”. 

Tidak ada kepedulian tentang bagaimana sikap itu bisa terus menyuburkan mental meminta-minta. Tak heran banyak orang yang menjadikan meminta-minta sebagai mata pencaharian meski mereka sebenarnya mampu bekerja. 

Jika saja setiap orang berhenti egois lalu melakukan sedekah tak sekadar untuk pahala pribadi melainkan untuk kepentingan sosial, sedekah bisa menjadi alat yang berdaya untuk membantu masyarakat lemah.

Begitu pula yang terjadi pada hijab. Ketika fungsi sosial hijab diabaikan, ia malah disalahgunakan sebagai penanda kesalihan seseorang. Hijab yang seharusnya bisa menjadi sistem perlindungan bagi anggota masyarakat yang rentan terhadap gangguan, malah jadi sarana kontestasi keimanan. 

Mereka yang mengenakan hijab lebar-lebar memandang perempuan lain yang pakaiannya lebih pendek sebagai orang yang imannya belum sempurna. Alih-alih menjadi alat untuk melindungi, hijab malah jadi alasan untuk melakukan persekusi. 

Banyak ditemukan di internet, kampanye-kampanye yang menyebut perempuan tanpa hijab sebagai perempuan yang kurang nilainya.

Padahal, dalam kitab suci, Tuhan menyuruh perempuan mengulurkan pakaian mereka supaya mudah dikenali dan tidak diganggu. Bukan supaya tampak lebih salih ketimbang yang lain. 

Ketika perintah itu diturunkan, pakaian yang lebar adalah penanda bahwa perempuan yang mengenakannya merdeka, sehingga ia memiliki jaminan perlindungan dan pembelaan dari klannya. 

Adanya jaminan perlindungan dan pembelaan itulah—bukan sekadar panjangnya kain—yang membuat para pengganggu tak lagi berani macam-macam. Itulah sistem perlindungan yang berlaku pada masanya di sebuah masyarakat yang hidup dalam sistem klan, ketika keamanan perempuan menjadi cermin kekuatan klan.

Fenomena maraknya penggunaan hijab yang saya perhatikan di sekeliling saya saat ini hanya berfokus pada penutupan bagian tubuh perempuan, tanpa ada usaha untuk menyediakan sistem perlindungan yang baik. Hijab pun akhirnya menjadi pincang karena pengenaannya tidak memberikan jaminan keamanan bagi si pemakai.

Hijab baru akan efektif melindungi ketika pemakainya mendapatkan jaminan perlindungan dan pembelaan dari masyarakat tempat ia tinggal. Sekadar mengenakan kain lebar tidak cukup untuk membuat mereka kebal dari gangguan. 

Hijab seharusnya menjadi semacam kode sosial, “tanda pengenal” yang menunjukkan bahwa pemakainya berada dalam perlindungan. 

Itu tidak akan terwujud tanpa adanya sistem hukum sebagai payung. Harus disiapkan konsekuensi yang jelas dan tegas bagi siapa saja yang berani mengganggu penyandang “tanda pengenal” itu. Sanksi itulah yang akan membuat mereka takut, bukan kain penutup semata-mata. Bukankah sering terjadi bahkan yang berpakaian serba panjang pun tetap menjadi sasaran pelecehan?

Yang terjadi saat ini, alih-alih menyediakan perlindungan dan pembelaan, sebagian masyarakat justru menyalahkan perempuan ketika pelecehan itu terjadi. Yang tidak pakai hijab disalahkan karena berpakaian terbuka. Yang sudah pakai hijab disalahkan karena masih kurang panjang. Yang sudah panjang disalahkan karena keluar malam. Dan seterusnya. Tidak ada pembelaan. Tidak ada perlindungan. 

Selama masyarakat masih melihat perempuan sebagai sumber masalah sehingga harus ditutup rapat-rapat badannya dan dibatasi aktivitasnya, alih-alih menjamin keselamatan dan memberikan mereka pembelaan, maka orang-orang jahat tak akan pernah takut untuk mengganggu.

Hijab sebagai Sebuah Sikap

Mari berhenti mengelak untuk mengakui bahwa kita hidup di masa dan tempat yang berbeda dari masa dan tempat di mana perintah berhijab diturunkan pertama kali. Kini, tak ada lagi pembedaan antara perempuan merdeka dan budak, sehingga tidak perlu ada penanda untuk membedakan yang satu dengan yang lain. 

Semua perempuan merdeka. Semua perempuan berhak mendapatkan perlindungan dan pembelaan, terlepas dari panjang pendeknya kain yang ia pakai. Jika Anda ingin mengenakan hijab sebagai suatu bentuk ibadah, tentu sah-sah saja. Tetapi alangkah ironis jika hijab membuat Anda malah “mengganggu” perempuan lain yang berbeda pilihan model pakaian.

Kita tidak hidup sebagai bagian dari klan-klan tetapi sebagai warga sebuah negara. Perlindungan dan pembelaan terhadap kelompok rentan kini menjadi tanggung jawab negara. Negara harus mampu menjamin keselamatan dan keadilan bagi mereka. Selama penegak hukum masih jadi pelaku rape culture dan berkubang dalam dosa victim blaming, kasus-kasus pelecehan akan terus terjadi.

Sebagai masyarakat, tugas kita bukanlah mengatur cara tetangga kita berpakaian, tapi melindungi kelompok rentan dan membela korban. Masih adanya praktik-praktik pemaksaan korban perkosaan untuk menikah dengan pemerkosanya, perundungan terhadap korban pelecehan, dan lain sebagainya, membuktikan bahwa kita masih ngawur dan salah kaprah.

Kita boleh saja berbeda pendapat tentang apa hukumnya mengenakan hijab, seberapa panjang hijab yang harus dikenakan, sesedikit apa bagian tubuh perempuan yang boleh diperlihatkan, tetapi seharusnya kita bisa bersepakat bahwa hijab sejatinya adalah bagian dari usaha untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Mari kita berfokus pada tercapainya agenda penting itu, bukan hal lain.

Jangan kerdilkan hijab jadi sekadar kain pemuas ego kita yang selalu ingin terlihat beriman di mata orang, atau alat mewujudkan nafsu kita untuk bisa menikmati indahnya surga. Hijab bukan cuma soal cara berpakaian tetapi juga cara bersikap. Hijab adalah bagian dari sebuah sistem yang seharusnya kita berdayakan dengan utuh. Hijab adalah komitmen untuk melindungi. 

Semangat hijab harus kita jalankan dalam lingkup seluas-luasnya, melampaui batasan-batasan yang selama ini ada. Hanya dengan demikian, kita bisa menyediakan perlindungan dan pembelaan bagi kelompok rentan terlepas apa status sosial mereka, pilihan model pakaian mereka, ataupun jenis kelamin mereka.