Baru Jumat lalu, saat saya sedang ingin sedikit berlama-lama di masjid, sekelompok jamaah berbicara persis di depan mimbar khatib. Mau tak mau, karena  obrolan mereka terbilang agak keras terdengar di kuping saya, salat sunah bakda Jumat pun terisi selingan antara bacaan salat saya sendiri dengan obrolan mereka. Lagi-lagi topik yang dibicarakan memang tak jauh-jauh dari; siapa yang nanti akan mengisi kursi gubernur DKI Jakarta?

Sulit tidaknya untuk mengakui, tapi pemilihan orang nomor satu di kota yang menjadi "emak" negara ini terasa sangat seksi. Ya, emak-emak tetap menggoda, tapi itulah Jakarta. Jadi, Tuhan yang sedang saya ajak bicara lewat salat sunah pun mafhum, jika dalam salat itu tak mampu mencegah obrolan beberapa jamaah menghinggapi kuping saya.

Apalagi, ribut-ribut pemilihan pemimpin kota ini mampu merembet ke kampung-kampung yang jauh dari luar Jakarta, dan dibicarakan oleh orang-orang yang mungkin belum pernah menghirup asap knalpot kendaraan kota ini.

Buktinya, akun Facebook pribadi saya pun, kerap menjadi "tong sampah" bagi orang-orang yang datang entah dari mana, tiba-tiba singgah di sana. Dari yang sekadar singgah untuk menyatakan kesangsian mereka atas keislaman saya, atau bahkan menanyakan apa agama saya. Sebab, bagi mereka terasa absurd dan sangat "tidak beriman" jika seorang muslim kok terkesan menganjurkan memilih seorang gubernur yang berbeda agama cuma karena alasan dia lebih bersih.

Terkadang, menanggapi kerewelan orang-orang yang lebih banyak tidak saya kenal itu, saya lebih memilih bercanda atau bahkan mengikuti saja irama mereka--termasuk berdebat dengan cara terbodoh sekalipun. 

Ya, memang ada kejengkelan yang saya rasakan kepada orang-orang yang saya kategorikan sebagai para pemabuk non-alkohol itu. Mereka memang tak pernah menenggak minuman keras, mungkin, karena minuman itu konon sebagai minuman setan. Tapi, yang saya herankan, obrolan mereka dan logika mereka itu sering saya dapati menyalip kadar mabuk yang dialami pemabuk yang sebenarnya.

Setiap kali diajak menalar lagi perdebatan atas kategorisasi "pemimpin kafir" dan "pemimpin nonkafir", mereka hanya melempar ayat ini dan ayat itu. Terpaku saja di situ, dan enggan beranjak untuk melihat-lihat ayat lain, yang lebih menujukan kepada kebaikan, kedamaian, dan menghindari permusuhan.

Entah kenapa, ayat yang agak berbau perang dan perselisihan begitu merangsang bagi mereka. Ayat kitab suci yang dirasakan dapat memanjakan ego beragama jauh lebih diminati daripada ayat-ayat lain yang lebih menegaskan sisi humanisme atau kemanusiaan. Padahal, ayat dalam kitab itu pun tak lepas dari konteks zaman di mana ayat turun, dan Muhammad sebagai "wakil Tuhan" yang diyakini muslim pun mengalami banyak fase dalam perjalanannya: perang dan damai.

Jadi, banyak cendekia yang betul-betul paham sejarah hingga beragam ilmu seputar Islam, membagi secara jelas, mana ayat yang turut di masa perang dan mana yang datang di masa damai. Tragisnya, orang-orang yang mabuk saya sebut tadi, kerap "menjalang" membawa-bawa ayat-ayat perang untuk kondisi damai. Terkadang, diam-diam saya juga latah berdoa saat sujud; Tuhan, bawa saja mereka yang haus perang ke negara di mana perang sedang terjadi, jangan sampai mereka menjadi pemicu perang di negeri kami yang damai ini.

Ya, kembali ke Jakarta. 

Kebetulan di sini sedang ada satu-satunya calon pemimpin, berstatus incumbent alias petahana, yang juga akan bertarung lagi untuk mendapatkan kursi nomor satu di kota ini. Saya sendiri memang secara terbuka di depan banyak forum, termasuk di dunia maya, menunjukkan keberpihakan kepada sosok satu ini.

Keberpihakan ini bukanlah karena saya sedang dilanda cinta buta. Melainkan, karena lebih dulu menggeluti alasan kenapa sosoknya tepat. Itulah yang lantas kerap saya sampaikan--tapi takkan saya tuangkan mendalam di sini karena bisa saja saya dicurigai sedang berkampanye...

Secara ringkas saja, keberpihakan itu lagi-lagi karena saya pribadi lebih tertarik melihatnya dari kacamata sebagai manusia. Bahwa dia manusia dan memiliki rasa kemanusiaan, dan terbuka menunjukkan diri secara apa adanya. Sosok itu sama sekali tak punya bakat bermain drama untuk menunjukkan dirinya sebagai malaikat yang konon tanpa cela. 

Dia masih sering "menyemprot" orang, dan mengeluarkan umpatan-umpatan, yang menurut sebagian orang yang santun, terasa sangat kasar. Sayang sekali, orang-orang santun tadi justru lupa untuk adil dan jernih melihat, siapakah yang "disemprot" dan dijadikan sasaran umpatannya. Atau, jangan-jangan kalangan santun tadi berharap agar para penjahat dan koruptor harus dihadapi dengan keramahan dan diberikan kalimat berbunga-bunga.

Atau...sekalian harus ada puisi Sapardi Djoko Damono, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan dayu kepada api yang menjadikannya abu...

Begitulah kira-kira gambaran dari pemandangan yang mungkin akan ada hingga ribuan tahun ke depan, jika orang-orang sekadar beragama dan merasa dengan agama maka tak diperlukan lagi akal.

Dalam kesimpulan mereka, orang-orang yang terlalu mengandalkan akal akan sesat seperti Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar, dan konconya. Jadi, mereka lebih suka pada hal-hal yang terlihat indah, santun, dan apa saja yang memukau secara visual. Jadi, hal-hal artifisial alias dibuat-buat, menurut mereka jauh lebih baik daripada yang asli.

Kemalasan mendalami dan memilih untuk orgasme terlalu cepat dalam menjalankan aktivitas akal, tampaknya menjadi pilihan yang mudah, sehingga banyak mereka yang merasa telah menganut agama terbaik merasa tak perlu berpikir dengan pola berpikir terbaik.

Alhasil, dalam memilih pemimpin pun acapkali mereka memilih berdagang ayat demi ayat atau sekadar menjadi "pengecer" saja dari pemikir yang sejalan dengan pikiran mereka. Tak heran, jika pola pikir itu membuahkan hasil sesempit ukuran kepala mereka, bahwa pemimpin terbaik hanya ada dalam agamanya saja.* (Twitter: @zoelfick)