Mungkin sudah tidak asing lagi ketika kita mendapati pertikaian antara beberapa pihak yang mana akar permasalahannya “hanya” berawal dari perbedaan argumen (pendapat) terhadap suatu hal. Perbedaan argumen (pendapat) sendiri pada hakikatnya merupakan sesuatu yang wajar bagi manusia, karena setiap manusia memiliki pola pikir (cara pandang) yang berbeda-beda terhadap suatu hal.
Lantas mengapa akhir-akhir ini sering kali kita temukan perbedaan argumen (pendapat) hampir selalu menjadi akar permasalahan dari setiap pertikaian, padahal berbeda argumen (pendapat) itu wajar bagi manusia ?
Melontarkan sebuah argumen (pendapat) sebenarnya merupakan hal biasa, namun mesti diperhatikan dari mulut siapa argumen (pendapat) tersebut keluar. Semua orang bisa melontarkan argumennya (pendapatnya) terhadap suatu hal, baik dari seorang pakar maupun orang yang tidak mengerti apa-apa. Di sinilah letak permasalahannya.
Ketika seorang pakar melontarkan sebuah argumen (pendapat), pastinya dia sudah siap untuk bersikap ketika ada argumen (pendapat) lain yang berbeda. Dia pasti tahu bahwa argumen (pendapat) yang dilontarkannya belum tentu sepenuhnya benar, karena masih ada kemungkinan argumen (pendapat) dari orang lain yang lebih layak dianggap benar. Namanya juga pakar, pastinya melihat suatu masalah dari banyak sudut pandang.
Kita ambil contoh dalam masalah fikih, yaitu perbedaan argumen (pendapat) antara Imam Mazhab yang empat pada suatu hukum. Terkadang seluruh Imam Mazhab memiliki kesamaan argumen (pendapat) terhadap suatu hukum, namun tidak jarang kita temukan mereka memiliki argumen (pendapat) masing-masing (berbeda) pada hukum yang lain.
Mereka adalah pakar dalam bidang fikih, dalam artian mereka memang sudah layak untuk melontarkan sebuah argumen (pendapat) terhadap suatu hukum. Kita bisa lihat sikap mereka ketika ada perbedaan argumen (pendapat) diantara mereka, tidak ada yang merasa paling benar, tidak ada yang merasa paling ahli (pakar), dan tentunya tidak ada yang menjatuhkan argumen (pendapat) yang lain.
Seolah-olah mereka sadar meskipun mereka telah berjuang sekuat tenaga menghasilkan suatu argumen (pendapat) tentang suatu hukum, bukan berarti argumen (pendapat) mereka adalah yang paling benar dan mereka sadar bahwa ada kemungkinan argumen (pendapat) yang dilontarkan orang lain lebih layak dianggap benar.
Karena hal inilah tidak pernah kita temukan Imam Mazhab yang empat bertikai satu dengan yang lain karena suatu hukum, dengan kata lain mereka hanya sebatas berbeda argumen (pendapat) tetapi tidak sampai bertikai karena itu.
Lain halnya dengan orang yang tidak mengerti apa-apa tetapi sudah berani berargumen (berpendapat), seolah-olah dia melontarkan sesuatu yang tidak beralasan. Apalagi jika dia sudah merasa paling ahli (pakar) dan paling benar terhadap suatu hal, ujung-ujungnya dia akan menjatuhkan argumen (pendapat) orang lain yang berbeda dengan argumennya (pendapatnya) . Inilah yang menjadi awal mula pertikaian.
Patut kita cermati sebuah kutipan menarik berikut,
لو سكت من لا يعلم لسقط الخلاف
“Jikalau seseorang yang belum benar-benar mengerti (tidak tahu) suatu masalah tidak banyak komentar (hanya diam) dengan masalah tersebut, pastilah tidak akan ditemui (gugur) sebuah pertikaian.”
Karena itu, sepatutnya kita cukup berargumen (berpendapat) pada suatu hal yang memang kita layak untuk berargumen (berpendapat) pada hal tersebut. Jangan asal berargumen (berpendapat) pada hal yang hanya sekilas kita mengerti, karena hal ini bisa memicu pertikaian.
Jika kita sudah terlalu ingin berargumen (berpendapat) terhadap suatu hal yang mana kita belum menjadi ahli (pakar) pada hal tersebut (masih setengah mengerti), cukuplah kita melontarkan argumen (pendapat) sebatas apa yang kita mengerti saja dan jangan berlebihan apalagi sampai merasa paling benar. Tapi baiknya memang kita serahkan saja pada orang yang layak untuk berargumen (berpendapat) pada hal tersebut.
Serahkan masalah agama pada pakar keagamaan (ulama), masalah ekonomi pada pakar ekonomi (ekonom), masalah politik pada pakar politik (politikus), dan masalah-masalah lainnya pada pakarnya masing-masing. Jika kita sudah menyadari hal ini, pertikaian di antara kita bisa kita cegah. Ada atau tidaknya sebuah pertikaian semuanya berada di tangan kita sendiri, apakah kita akan menjadi pemicunya atau pencegahnya.