Kesehatan memiliki peranan yang penting. Hal itu baru dapat terasa ketika sakit menimpa. Ada yang mengatakan bahwa kesehatan diibaratkan dengan mahkota yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sakit. Apapun latar belakang ekonominya, kaya maupun miskin memandang kesehatan sangat diperlukan.
Yang memiliki kelebihan harta akan mengeluarkan berapapun biayanya. Sebaliknya, bagi yang kekurangan harta dan tidak memiliki jaminan sosial merasa terbebani dan merasakan dampak dari terganggunya kesehatan jasmani.
Pertanyaannya, siapa yang dapat menjamin bahwa harta selalu ada dan fisik selalu bugar? pada suatu waktu kerentanan akan datang sehingga diperlukan jaminan sosial di bidang kesehatan. Lalu, tiadanya jaminan kesehatan memperparah kerentanan tersebut.
Banyak bayi yang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang bisa dicegah, terdapat wanita meninggal saat kehamilan atau melahirkan akibat tidak adanya akses terhadap perawatan medis atau tidak adanya biaya untuk memperoleh kesehatan tersebut (Suharto, 2009).
Oleh karena itu, ada beberapa alasan mengapa dibutuhkan jaminan sosial di bidang kesehatan. Urgensi tersebut yaitu jaminan sosial dapat membantu meringankan biaya pengobatan keluarga terutama jika yang sakit adalah anggota keluarga yang berperan sebagai tulang punggung keluarga sedangkan yang lain tidak.
Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh miskin atau malah semakin miskin karena adanya anggota keluarga yang sakit. Suharto (2009) menerangkan bahwa fenomena inilah yang disebut dengan istilah “jamila” (jatuh miskin lagi) atau “sadikin” (sakit sedikit jadi miskin).
Bukan tanpa sebab, karena biaya perawatan yang tinggi dan tidak adanya jaminan kesehatan, sehingga rumah tangga tersebut menjual apa saja atau bahkan sampai berutang mencari pinjaman demi mendapat pelayanan kesehatan.
Sebagaimana dalam pemberitaan, seorang Ibu yang bernama Nina (40 tahun) yang hanya bekerja dalam sektor informal dan ditinggal suami serta menghidupi dua anak, mencari pinjaman kepada 10 tetangga demi mendapatkan biaya operasi anaknya karena tidak memiliki jaminan sosial kesehatan (Kompas, 2022).
Indonesia memiliki perjalanan panjang mengenai jaminan sosial kesehatan. Terdapat jaminan sosial kesehatan yang dikelola oleh negara. dilansir dari halaman website Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (2022), awalnya jaminan sosial kesehatan diperuntukkan untuk PNS dan keluarganya.
Namun atas inisiatif Prof G.A. Siwabessy dibentuklah Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), Perum Husada Bhakti (PHB), PT. Askes (Persero) hingga BPJS Kesehatan. Jaminan Sosial kesehatan nasional ini sudah berumur 54 tahun.
Bukan hanya negara, pihak swasta juga dapat menyelenggarakan jaminan kesehatan. pada tahun 2015, ada sekitar 51 asuransi swasta yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut seperti; PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia, PT Asuransi Sinar Mas, PT Bosowa Asuransi dsb. (BPJS Kesehatan, 2015).
Oleh karena itu, sistem jaminan sosial kesehatan memiliki peranan yang penting terhadap kesejahteraan masyarakat. Selain memiliki peranan, dalam penyelenggaraannya jaminan sosial kesehatan memiliki tantangan-tantangan.
Pelayanan kesehatan akan ideal jika hal tersebut memiliki urgensi dan tantangan. Masyarakat perlu mengetahui pentingnya jaminan sosial kesehatan. Selain itu, dalam penyelenggaraannya perlu diketahui juga tantangan yang akan dihadapi.
Jaminan Sosial Kesehatan Menopang Pembangunan
Jaminan sosial kesehatan merupakan salah satu instrumen dalam menopang pembangunan. Banyak peneliti telah melakukan studi bahwa ada hubungan antara produktivitas dengan kesehatan.
Jaminan sosial kesehatan merupakan salah satu kebijakan dalam menopang ekonomi dan industri. Kebijakan ini bukan saja terdapat di negara-negara industri melainkan juga di negara-negara yang menuju tahap industri (Suharto, 2009:58-59).
Dalam sebuah studi, terdapat pengaruh jaminan kesehatan di tingkat karyawan perbankan. Sebuah penelitian mengenai analisis produktivitas karyawan perbankan berdasarkan jaminan kesehatan menunjukan bahwa jaminan kesehatan memberikan pengaruh secara signifikan positif terhadap produktivitas karyawan (Tajibu dan Karim, 2020).
Di penelitian lain, tentang perusahaan di Indonesia yang menerapkan sistem kesehatan dan jaminan kesehatan yang bertalian dengan keselamatan kerja.
Di mana, dalam penelitian (Nikijuluw, Dotulong & Trang 2022) tersebut diungkapkan bahwa penerapan sistem kesehatan dan jaminan kesehatan terhadap 82 responden karyawan PT Multi Nabati Sulawesi di Bitung berpengaruh secara parsial terhadap produktivitas kerja.
Sistem kesehatan ini berupa; penyediaan obat-obatan, perawatan luka karena kerja dan pemberian izin bagi karyawan yang sakit. Sedangkan jaminan kesehatan ini berupa jaminan hari tua dan perhatian perusahaan terhadap jaminan kesehatan karyawannya.
Oleh karenanya, jikalau tidak tersedia kesehatan atau akses terhadap pelayanan kesehatan menyebabkan kelemahan fisik yang dapat menuntun kepada kemiskinan.
Ada beberapa hal mengapa itu terjadi yaitu; orang yang sakit umumnya tidak bekerja, lemahnya fisik membuat seseorang lemah dalam hal produktivitas; di mana hasil produksi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Orang yang sakit juga tidak mampu keluar sembari mencari informasi dan pengetahuan yang berguna ataupun mengikuti pertemuan-pertemuan dalam rangka pengambilan keputusan. Pendek kata, orang yang sakit tidak dapat berbuat banyak hal.
sebaliknya pula, kemiskinan menuntun pada lemahnya fisik. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya biaya untuk memperoleh gizi yang baik. tidak adanya gizi membuat seseorang bertubuh lebih kecil dan tidak bertenaga sehingga lebih berpotensi terserang penyakit.
setelah terserang penyakit membuatnya tersisih dalam aktivitas kehidupan. Siklus atau perputaran inilah yang disebut oleh Chambers (dikutip oleh Nurhadi, 2007) dengan istilah lingkaran setan kemiskinan (deprivation trap).
dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa jaminan sosial di bidang kesehatan sangat diperlukan bagi masyarakat.
Tantangan
Penyelenggaraan jaminan sosial menghadapi tantangan kedepannya. Tantangan yang dihadapi adalah kecenderungan peningkatan pasien rumah sakit.
Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian (Widada, Pramusinto & Lazuardi 2017) tersebut, pada tahun 2014 hingga tahun 2015 terjadi peningkatan pasien di Rumah Sakit Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu dari 18.000 menjadi sekitar 24.000 pasien.
di sisi lain, penyelenggaraan jaminan kesehatan, dalam hal ini BPJS Kesehatan memiliki beberapa kendala yang dihadapi. bahwa di tingkat masyarakat, masih ada yang belum menjadi peserta dikarenakan persepsi bahwa mengurus administrasi BPJS terkesan berbelit-belit.
Adapula persepsi bahwa BPJS belum bermanfaat, namun hal itu baru bermanfaat ketika terjadi anggota keluarga yang sakit, sehingga masyarakat baru mengurus ketika situasi itu datang. Hal ini pula menimbulkan kasus peminjaman kasus kartu BPJS orang lain.
Djiko dan Tangkau (2018) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara juga demikian. Pada tahun 2015, hanya sekitar 81.999 penduduk yang menjadi peserta BPJS dari total 190, 744 penduduk kabupaten tersebut.
Penelitian lain mendukung hambatan tersebut. sebagaimana diungkapkan (Handayani, Resmawan & Kalinggi 2018) bahwa pengguna dan calon pengguna belum terlalu memahami prosedur pendaftaran peserta BPJS selain tidak memiliki kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP). di Daerah Bontang Lestari sendiri belum ada sosialisasi dari pihak BPJS kepada masyarakat.
Apalagi setelah covid 19 melanda, pelayanan secara online diterapkan dalam birokrasi publik. Termasuk dalam pengurusan BPJS Kesehatan, telah ada aplikasi mobile JKN sebagai media untuk mewadahi pengurusan dan informasi mengenai jaminan kesehatan.
Hal ini secara tidak langsung menuntut masyarakat untuk cakap secara digital ini bisa jadi tantangan ke depannya.