Beribu-ribu tahun nenek moyang kita berevolusi dalam menjalani kehidupan. Dari sekelompok karnivora pemburu mengumpul menuju tatanan masyarakat agraris hingga menjadi korban penindasan revolusi industri.

Selama proses evolusi tersebut, kita terus-menerus bergantung pada alam. Kita makan daging dari binatang, memetik sayur-sayuran untuk diet vegan, hingga mengeruk hamparan tanah demi kerikil-kerikil emas dan mengolahnya menjadi batangan-batangan yang lebih berharga di pabrik-pabrik.

Kita mengeksploitasi alam bahkan sejak sebelum Siddharta Gautama mendapatkan pencerahan di bawah pohon Ficus religiosa hingga sekarang kita hidup di abad ke-21 tanpa henti.

Seiring menuanya bumi, semakin berat beban yang ditimpakan manusia padanya. Kemajuan otak manusia dalam memproduksi komoditas justru sedikit demi sedikit membawa kita pada keruntuhan ekologis. Polusi semakin menjadi-jadi, eksploitasi hutan semakin marak, kematian akibat pencemaran mulai terjadi.

Alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh pelaku kapitalisme pun justru semakin merusak. Seperti munculnya plastik yang terbuat dari sisa minyak bumi dipercaya bakal mengurangi eksploitasi hutan, terlihat seperti jalan keluar yang bagus, tapi malah menimbulkan masalah baru ratusan tahun setalahnya.

Manusia terus menerus memunculkan jalan keluar yang baru, namun sekaligus membangun dinding-dinding jebakan yang baru pula.

Dalam hal semacam ini manusia tidak pernah menyerah untuk terus mencari jalan keluar. Aktivis-aktivis lingkungan baru terus bermunculan seperti Nina Gualinga yang memperjuangkan perlindungan hutan Amazon atau Greta Thunberg yang resah akan perubahan iklim dan baru-baru ini menarik perhatian dunia.

Jika dilihat dari kasus yang terjadi, disamping tetap terus harus memikirkan jalan keluar, sepertinya kita perlu membuka mata dan telinga kita pada masa lalu.

Pada abad ke-6 SM, seorang bernama Mahavira menjauhkan diri dari kehidupan mewah kerajaan dan bertapa. Lantas beliau mencapai pencerahan dan mendirikan sebuah agama yang sekarang kita ketahui sebagai Jainisme.

Jainisme merupakan sebuah agama pasca Vedik yang sifatnya atheistik. Ia mempercayai dewa-dewa ala Veda namun tidak menganggap dewa tersebut sebagai penguasa absolut.

Jainisme juga merupakan agama dualisme yang mempercayai dua realitas, yaitu jiwa dan raga. Karena ternodai oleh karma, jiwa terus menerus terjebak dalam raga, berputar-putar dalam lingkaran kelahiran kembali atau reinkarnasi.

Konsep karma dalam ajaran ini dalam sekejap menarik perhatian saya. Karma dalam pandangan jainisme berbeda dari karma yang selama ini kita ketahui sebagai perbuatan buruk atau baik. Dalam Jainisme karma sudah pasti buruk karena mengurung jiwa dalam raga.

Lantas apa yang membuat kita mendapatkan karma? Dalam Jainisme, segala hal yang ada di dunia ini memiliki jiwa. Binatang dan manusia memiliki jiwa dengan kesadaran tertinggi dan tumbuh-tumbuhan (bahkan beberapa riwayat menyebutkan debu) tetap memiliki jiwa namun dengan kesadaran yang lebih rendah.

Jiwa diibaratkan sebagai kristal yang jernih. Membunuh atau menyakiti binatang berarti mewarnai kristal dengan warna-warna yang gelap seperti biru tua atau hitam sedangkan makan daun-daunan berarti mewarnai kristal dengan warna-warna yang terang seperti kuning dan merah.

Maksudnya, karma dibagi menjadi karma berat dan ringan. Dari analogi warna tersebut, warna gelap yang menggambarkan karma berat betul-betul mengotori jiwa. Memang warna cerah (yang menggambarkan karma ringan) lebih enak dilihat, namun tetap saja mengotori kristal dan menghalangi kejernihannya.

Orang-orang Jain memang tidak dapat terhindar dari karma. Untuk menghindarinya mereka perlu menjalani ritual puasa . Namun, selain memilih untuk puasa sampai mati, mereka bisa memilih jalan lain dengan meminimalisir noda karma. Yaitu hidup dengan jalan ahimsa (Tanpa kekerasan).

Mereka menjalani hidup sebagai vegetarian yang tidak memakan akar, membawa alat semacam sapu untuk menghindarkan serangga-serangga tanah dari injakan mereka dan bahkan memakai masker agar tidak menghirup serangga atau debu yang berjiwa.

Dengan jalan hidup yang demikian, saya berpikir bahwa dalam memilih segala hal, mereka pasti selektif. Misalkan dalam mencuci pakaian, apakah deterjen yang kita pakai menyakiti cacing yang hidup di tanah? Penganut Jainisme senantiasa berhati-hati dalam menjalani hidup bahkan pada hal-hal kecil sekalipun.

Walaupun hubungan antara Jainisme dengan alam agaknya bersifat transenden, tentu kita tidak boleh menutup mata begitu saja. 

Jalan alternatif rumit yang selama ribuan tahun dipikirkan oleh manusia seperti penciptaan plastik untuk menghindari eksploitasi hutan justru menciptakan masalah sampah dan masalah baru lainnya.

Kita selalu pusing berpikir dan pada akhirnya terjebak sendiri dalam solusi yang kita buat. Padahal, jika kita mau belajar dari Jainisme, jalan untuk bersahabat dengan lingkungan sebenarnya cukup sederhana. 

Tidak perlu melakukan ritual puasa seperti yang dilakukan penganut Jain, kita hanya perlu berhati-hati dalam memilah apa yang kita gunakan, menghindari penggunaan yang berlebihan, menelaah kembali apakah kegiatan kita menyakiti atau membunuh makhluk lain.

Yang dapat kita lakukan hanyalah meminimalisir kerusakan. Sama seperti penganut jain meminimalisir noda karma yang menempel pada kejernihan jiwanya.