Kedewasaan suatu organisasi – tidak terkecuali sebuah negara – ditandai dengan stabilitas sosial dan politis dalam tiap suksesi kekuasaan atau pergantian tampuk kepemimpinan, sekaligus kondusifnya iklim organisasi terkait.

Memanasnya kondisi Indonesia belakangan ini, hemat penulis, disebabkan oleh dinamika politik yang kurang stabil. Itu muncul karena ketidakdewasaan antar-elit dalam kompetisi demokratis dalam meraih legitimasi kekuasaan.

Indonesia kini sedang darurat hoaks. Kantor berita CNN Indonesia mencatat, pada bulan Desember 2016, ada sekitar 800 ribu situs penyebar hoaks di Indonesia. Kemudian pada bulan Januari 2017, Kementerian Kominfo memantau adanya peningkatan volume ujaran kebencian atau hate speech di media sosial.

Tidak kalah mengagetkan, terungkapnya organisasi Saracen – dicurigai sebagai produsen berita bohong yang berorientasi profit – yang diungkap oleh polisi. Ini menunjukkan pada kita semua bahwa hoaks sudah menjadi industri yang telah memiliki pangsa pasar tersendiri.

Memasuki tahun-tahun politik, aktor-aktor politik, bukannya semakin kondusif mendorong stabilitas bagi kepentingan pembangunan nasional, justru isu-isu pamungkas semakin gencar muncul ke muka publik. Isu pamungkas itu tidak lain tidak bukan adalah mengemas kembali “luka lama” atau pertikaian tidak berujung antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri untuk mengganggu – kalau tidak dikatakan mengacaukan – jalannya pemerintahan.

Isu radikalisme khilafah (ekstrem kanan) yang sempat mencuat dan berujung pada pembekuan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kini berganti dengan viralnya ekspresi “ketakutan kolektif“ atas bangkitnya zombie Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam bahasa Coleman (2006), konflik antar ideologi ekstrim kiri dan kanan dapat disebut sebagai intractable conflict atau konflik yang sifatnya destruktif dan cenderung resisten terhadap tiap upaya penyelesaiannya.

Mengapa isu konflik tadi dikatakan pamungkas? Pertama, isu konflik atau pemberontakan di masa lalu merupakan persoalan sensitif yang dengan demikian memperoleh perhatian masyarakat luas.

Kedua, dengan demikian pentingnya, maka pandangan masyarakat bahwa isu tersebut perlu ditangani menjadi relevan. Ketiga, ada pandangan yang sama dari masyarakat bahwa masalah tersebut merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya.

Fenomena konflik kiri-kanan yang sebelumnya disinggung sedikit mengamini pernyataan dosen penulis di ruang perkuliahan yang kira-kira begini bunyinya, “Jika kekuatan politik kanan dominan dalam suatu sistem sosial, maka kekuatan kiri akan bangkit sebagai wacana tandingan. Begitu pun sebaliknya, karena ada relasi keseimbangan yang terjadi.”

Meski pernyataan tadi bersifat kontekstual dalam situasi demokratis, setidaknya memberikan gambaran sekaligus pernyataan bagi kita, apa yang sebenarnya terjadi?

Terlepas dari agenda besar apa yang ada di benak para elit bagi negeri ini pasca tahun 2019, sebagai isu pamungkas, “bara konflik” masa lalu dapat dijadikan elit politik sebagai “keris Mpu Gandring” untuk membunuh “Akuwu” yang sedang berkuasa dalam agenda hajatan rakyat tahun 2019 mendatang.

Mengapa bara konflik dapat dijadikan alat politik? Dr. Nasikun dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia menyatakan bahwa konflik di Indonesia sedikit banyak teredam menjadi tidak terlalu tajam karena adanya loyalitas ganda yang saling silang-menyilang atau cross-cutting affiliations di atas beragamnya entitas sosial yang ada

Penulis memahami cross-cutting affiliations sebagai fungsi dari meleburnya beberapa kategori sosial yang berbeda menjadi suatu golongan sosial tertentu yang sejenis. Begitu pun sebaliknya, dapat berupa integrasi beberapa golongan sosial yang berbeda untuk kemudian menjadi suatu kategori sosial yang sama karena adanya kesamaan.

Misalnya, Raka dari Jogja, Alvi dari Jakarta, dan Iskandar dari Sumatera Barat, yang berbeda secara etnis, dapat saja berkumpul dalam ibadah shalat Jumat di Masjid. 

Kemudian, Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang menyatukan beberapa golongan pemuda melalui pernyataan persamaan identitas bersama sebagai suatu kesatuan sosial dan sepakat mengatasi segala diferensiasi sosial yang ada ke dalam suatu kesatuan identitas sebagai bangsa Indonesia merupakan proses terjadinya loyalitas ganda itu.

Dengan kata lain, dalam batas tertentu, terbentuknya identitas sosial bersama yang meliputi dan mengatasi berbagai perbedaan sosial tertentu dapat meredam gesekan sosial dan mendorong ke arah integrasi. Sejajar dengan itu, praktik ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah di media sosial – terlepas dari hal itu merupakan instrumen politis atau bukan – disadari atau tidak, berakibat pada terkonstruknya identitas sosial secara berlawanan.

Hal itu merupakan pemicu api gejolak sosial karena mampu mendegradasi loyalitas ganda itu ke dalam kelompok-kelompok yang dikonstruk seolah-olah sedang bersaing, bertikai, berkompetisi, dan berebut suatu tempat yang istimewa sebagai privilese yang mutlak.

Akibatnya, stabilitas politik dapat goyah, energi habis untuk hal yang kontraproduktif, kerawanan sosial (misal, persekusi yang belakangan muncul)  dan bukan tidak mungkin akan muncul sikap skeptis publik pada pemerintah. Sikap skeptis publik ini dapat menjadi hambatan bagi berbagai program atau kebijakan pemerintah dan secara politik berakibat pada elektabilitas di pemilihan umum berikutnya.

Kepemimpinan budaya oleh pemerintah melalui demokratisasi dan praktik governance yang adil, bersih, transparan, akuntabel, dan cermat menjadi faktor kunci dalam memerangi virus pemecah belah. Praktik keterbukaan bagi partisipasi publik, sejalan dengan meningkatnya demokratisasi, tentu mendorong keberhasilan pembangunan nasional.

Tentu hal itu tidak mengenyampingkan pemerataan dan keadilan sosial-ekonomi di seluruh Indonesia agar ke depan politik dapat menjadi katalis penguat nation building yang kokoh; sebuah komitmen politik yang mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan, agama, atau kelompok tertentu.