Secara sederhana, istilah gender mengacu kepada konstruksi sosial ataupun kultural (pensifatan) terhadap laki-laki dan perempuan. Itu artinya, istilah gender berbeda dengan seks (jenis kelamin). Bila gender mengacu pada konstruksi sosial atau kultural, maka seks atau jenis kelamin mengacu pada hal yang alamiah (biologis).

Adapun contoh mudah dengan apa yang dimaksud sebagai gender. misalnya saja anggapan bahwa kapasitas perempuan hanya di wilayah domestik (dapur, sumur dan kasur), dan urusan publik menjadi tanggung jawab laki-laki. Anggapan tersebut tentu berangkat dari konstruksi sosial dan kultural. Sementara itu yang disebut sebagai seks (jenis kelamin), misalnya saja perempuan memiliki rahim dan laki-laki memiliki penis. Dengan demikian, yang disebut sebagai seks sebagaimana yang dicontohkan, merupakan suatu hal yang bersifat alamiah (biologis), “kodrat”.

Menjadi suatu permasalahan yang serius ketika konstruksi sosial atau kultural tersebut menghasilkan ketidakadilan. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih dalam Analisis Gender & Transformasi Sosial (2013), bahwa perbedaan gender (gender differences) mempunyai keterkaitan yang erat dengan ketidakadilan gender (gender inequalities), dan sering kali hal tersebut lebih merugikan bagi kaum perempuan. Lalu apa contoh dampak buruk dari ketidakadilan gender tersebut? Salah satunya yaitu kekerasan. Tulisan ini akan mencoba memberikan gambaran bagaimana dampak buruk dari ketidakadilan gender yang dihasilkan dari perbincangan keseharian, yakni kisah nestapa seorang perempuan yang kuliah di daerahnya sendiri.

Kisah Pilu Perempuan: dari Kekerasan Verbal hingga Fisik

Di sebuah desa dengan lingkungan masyarakat yang berpendidikan rendah, seorang perempuan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Akan tetapi, dengan latar belakang ekonomi keluarganya yang kurang berada, akhirnya ia lebih memilih melanjutkan studi di perguruan tinggi yang letaknya tidak jauh dari kecamatan tempat ia tinggal. Alasannya jelas saja karena untuk meminimalisasi pengeluaran seperti transportasi, makan dan sebagainya, terlebih lagi perguruan tinggi yang ia pilih menawarkan beasiswa. Akan tetapi, siapa sangka? Pilihannya untuk melanjutkan studi tersebut menghadirkan kenestapaan bagi dirinya. Mengapa?

Dalam dunia kampus, tentu menjadi hal yang biasa terjadi, ketika dosen memberikan tugas kelompok. Akan tetapi, dalam proses pengerjaan tugas kelompok, sering kali memakan waktu yang tidak sebentar. Tentu saja hal tersebut berkaitan karena dalam proses pengerjaannya, melibatkan diskusi hingga perdebatan antar anggota kelompok. Apalagi mahasiswa soshum, yang sering kali tiap-tiap mahasiswa mempunyai pandangan yang berbeda-beda, karena berangkat dari pendekatan (mazhab atau teoretik) yang berbeda-beda. Proses pengerjaan yang lama ini, terkadang membuat mahasiswa kemudian baru bisa pulang ke rumah pada malam hari (dari pukul pagi sampai 9 malam misalnya). Belum lagi ketika ada “Kuliah Kerja Lapangan” yang bisa memakan waktu berhari-hari.

Nah, yang jadi soal, perempuan yang pulang malam ini, kerap kali menghadirkan stigma. Kondisi tersebut semakin diperparah, ketika perempuan tadi kuliah di daerah sendiri (perkampungan), di mana antar warganya saling mengenal antar satu dengan yang lainnya dan dengan budaya patriarki yang mengakar. Perempuan pulang malam memang tidak lazim di daerah perkampungan, beda halnya dengan laki-laki yang secara umumnya lebih dimaklumi. Perempuan yang pulang malam, kerap kali dianggap buruk, “cw tidak bener” dan semacamnya.

Saya rasa, secara umumnya kondisi stigmatisasi sebagaimana yang saya contohkan di atas, tidak akan separah dengan yang dialami oleh mereka yang kuliah dan merantau ke luar kota. Pengalaman saya dulu ketika menempuh studi S1 dan ada tugas kelompok yang sesekali dikerjakan hingga malam, perempuan biasa tidur di kos teman sesama perempuan. Tapi itu sulit terjadi dan akan lebih menimbulkan masalah bagi ia, perempuan yang kuliah di daerah sendiri.

Akan ada gunjingan-gunjingan tetangga, dan kondisi tersebut semakin diperparah ketika ia mempunyai anggota keluarga yang toxic. Misalnya saja, karena ada tetangga yang menggunjing, akhirnya anggota keluarganya ini “termakan omongan” dan kemudian ia “memanasi” ayah dari si perempuan. Meskipun si perempuan sudah berusaha menjelaskan, karena memang di lingkungannya tidak ada yang berpengalaman kuliah, penjelasannya pun dianggap “mengada-ada”.

Hal tersebut, semakin diperparah, ketika si perempuan  ini sesekali diantar pulang oleh laki-laki dan dilihat oleh anggota keluarganya tadi, yang kemudian “semakin memanasi” ayah si perempuan. Maka apa yang terjadi? Pertama, sudah jelas perempuan tadi menerima “kekerasan verbal”, baik dari tetangganya, anggota keluarganya, maupun ayahnya. Keduanya, ia pun bisa menerima “kekerasan fisik”.

Ceritanya, dalam masa 3 tahun perempuan tadi kuliah, dan dalam beberapa kali ia pulang malam, ia menerima kekerasan verbal seperti “perempuan tidak benar!” “awas hamil” dan sebagainya dengan intonasi suara yang keras dan hal tersebut ia terima berkali-kali. Hingga pada akhirnya, ia jengkel dan melakukan “pemberontakan” dan membela diri dengan suara keras pula. “Pemberontakan” yang dilakukan oleh perempuan ini kemudian justru mengundang kekerasan lainnya, yaitu kekerasan fisik dari ayahnya. Terlebih lagi ada anggapan (konstruksi sosial dan kultur) bahwa perempuan tidak boleh bersuara keras.

Tentu kemungkinan akan beda cerita, ketika yang menjalani situasi semacam tadi (kuliah pulang malam atau bahkan nginep) adalah laki-laki, maka pemakluman lebih dimungkinkan. Semua itu tentu berangkat dari ketidakadilan gender.

Mansour Fakih (2013) mengatakan bahwa kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasaan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence.

Dari pemaparan di atas, pertama-tama saya mengakui bahwa catatan saya tersebut sangat bernilai subjektif. Akan tetapi bukan suatu kemustahilan juga bila yang saya ceritakan di atas, dialami juga oleh perempuan lainnya yang menghadapi situasi serupa. Itu artinya, ada tantangan tersendiri bagi perempuan yang tinggal di perkampungan dengan patriarki yang mengakar, yang diperparah dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang rendah, ketika memilih kuliah di daerahnya sendiri. Adapun yang secara khusus dimaksud sebagai tantangan di sini, yaitu yang berkaitan dengan isu seputar gender.