Sejak kanak-kanak, sederhana tanpa perlu berpikir panjang lebar, agama adalah gambar pusat anjuran kebaikan, inspirasi untuk berbudi pekerti luhur.
Ketika nalar tumbuh dewasa gambar agama jadi tidak sama dengan yang kita punyai dulu. Banyak pertanyaan bisa timbul. Islam di lapangan kenyataan kadang tidak sesuai dengan gambar keluhuran budi, juga kadang terasa tidak sesuai dengan nalar sehat.
Islam ternyata juga tidak sebagus yang didongengkan guru agama di SD. Tanah Muslimin termasuk tanah yang paling ketinggalan dimuka bumi. Tanah Muslimin banyak diperintah oleh tirani. Tanah Muslimin bahkan sampai sekarang masih tercabik-cabik oleh konflik dan kebencian yang tidak kunjung selesai.
Timbul berbagai pertanyaan, dan berbagai jawaban. Juga berbagai kekecewaan, dan keraguan. Terakhir timbul keresahan akibat ulah beberapa orang yang mengatas-namakan Islam tapi jauh dari gambaran ideal agama yang kita punyai. Mungkin ada yang lebih dari kecewa, mengambil jarak, mundur dari agama. Apa yang keliru?.
Belum lama ini terbit buku yang menggambar lebih jernih tentang apa yang terjadi. Judulnya, “Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance” ditulis oleh pakar asal Turki Mustafa Aykol. Jawaban besarnya, bahwa kita ummat Islam telah kehilangan akal. Kehilangan yang menyebabkan kehilangan yang lain. Kehilangan intuisi nurani, kehilangan moral, kehilangan kebebasan berpendapat, kehilangan ilmu, kehilangan universalisme, dan akhirnya kehilangan peradaban. Bagaimana ceritanya?
The Battle of Ideas
Semuanya bermula dari The Battle of Ideas, perang sengit perdebatan dua kubu teologi, Mu’tazila dan kubu Asy’ari. Topiknya berkisar pada dua pertanyaan besar. Pertama, apakah manusia memiliki perangkat untuk mengetahui baik dan buruk? Yang kedua, apakah manusia memiliki kehendak bebas, atau semuanya telah ditetapkan Tuhan sebelumnya?
Mu’tazila menjawab keduanya dengan ya. Bahwa baik atau buruk mampu ditangkap intuisi. Bahwa baik dan buruk itu sudah terkandung dalam suatu perbuatan, sudah ada sebelum wahyu turun. Wahyu berfungsi membantu menunjukkan kembali mana yang baik mana yang buruk. Manusia dianugerahi kehendak bebas yang karenanya manusia dibebani tanggung jawab. Karenanya, ada pahala dan dosa.
Asy’ari sebaliknya, dia tidak berpendapat bahwa perbuatan seperti berterimakasih atau bersikap adil sudah mengandung kebaikan di dalamnya. Semua tergantung Tuhan pemilik kekuasaan. Bila Tuhan memerintahkan untuk mencuri dan membunuh, keduanya bisa jadi baik dan benar. Tuhan tidak memerlukan alasan dalam suruhan dan laranganNya. Nalar tidak relevan.
Aliran Asy’ari menganut teori “okasionalisme”. Teori ini menganggap semua kekuatan kausal berasal dari Tuhan. “Akibat” tidak terjadi langsung karena “sebab”. Antara kedua peristiwa material itu ada Titah Tuhan di tengahnya. “Akibat” yang terjadi tergantung pada putusan Tuhan sesaat. Seumpama jam, dia hanya dan selalu berdetik menunggu adanya campur tangan pembuatnya. Artinya, teori ini menolak hukum alam (natural law) sebagai otoritas tersendiri ciptaan Tuhan.
Perdebatan ilmiah dan sehat di atas terjadi pada masa awal setelah meninggalnya Nabi. Quran tidak bicara terang soal takdir dan kehendak bebas. Yang jelas pandangan Mu’tazila mengganggu rezim tirani yang berkuasa. Kehendak bebas meniscayakan pertanggungjawaban individu maka tentu ada pula tanggung jawab pemerintahan. Maka paham kehendak bebas dianggap makar. Paham Asy’ari yang bersekutu dengan kekuasaan menang perang, kubu Mu’tazilah mati dibunuh dan dikuburkan zaman. Paham Asy’ari kurang lebih menjadi teologi arus utama Muslimin sampai sekarang.
Tentunya dalam kenyataan pandangan yang dianut Muslimin tidak hitam putih Mu’tazila-Asyari. Tapi ilustrasi tersebut masih berguna untuk membuat peta keadaan umat Islam sampai saat ini . Sebuah jajak pendapat di dunia Muslim menunjukkan kuatnya teori Asy’ari dianut. Atas pertanyaan, “Apakah percaya pada Tuhan adalah suatu keharusan untuk berbuat baik dan moral?”. 99% warga Mesir menjawab “ya”. Disusul Indonesia 98%, Jordania 97%, Bangladesh 90%, Pakistan 88%. Sebagai perbandingan Swedia 10%, Jerman 39%, Amerika 57%. Dengan kata lain, kaum Muslimin hampir-hampir tidak pernah membayangkan adanya sumber lain dari moral kecuali wahyu.
Nurani, Nalar dan Moral
Aneh, kata Akyol. Padahal kalau mau cermat, soal nurani dan nalar, Quran lebih dekat pada pendapat Mu’tazila. Pertama, soal tentang alasan dalam suruhan dan larangan dalam berperilaku, Tuhan sering memberikan nalar alasannya: Quran 5:91 – larangan mabuk minuman keras dan judi karena dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, karena bisa membuat lalai dari mengingat Tuhan. Quran 6:145 – larangan makan daging babi, darah dan sembelihan sesajen, karena semuanya itu kotor…Quran 6:108 - Dan janganlah menghina sesembahan agama lain agar mereka nanti tidak menghina Allah karena ketidaktahuan…
Kedua, soal apakah baik dan buruk bisa diketahui, dinalar oleh manusia. Dalam Quran ada konsep amar ma’ruf nahi mungkar yang biasa diartikan menyerukan kebaikan dan menolak kemungkaran. Arti ma’ruf lebih tepat sebetulnya “apa-apa yang telah diketahui”. Secara implisit itu jelas Quran menyuruh manusia melakukan pada apa-apa yang telah akrab diketahuinya.
Ketiga, ketika Quran memerintahkan perilaku etika seperti adl (keadilan), khayr (kebaikan), dan menahan diri dari perbuatan zulm (zalim) dan shar (jahat), konsep-konsep etika tersebut diperintahkan tanpa diterangkan lagi secara detail. Tersirat, Quran menganggap pembacanya telah paham nilai kebenaran yang terkandung pada perilaku tersebut. Dalam hal ini Quran hanya berperan sebagai “mengingatkan”, mengingatkan manusia akan kebenaran dan kebaikan yang sebetulnya telah akrab diketahui.
Nurani atau conscience berasal dari kata latin scientia, yang berarti “pengetahuan”. Dengan awalan con, jadi berarti “mengetahui dengan”. Menunjuk pada perangkat nurani yang dipunyai manusia. Nabi s.a.w pernah ditanya oleh seorang sahabat bernama Wabisah Ibn Ma’bad tentang bagaimana caranya menjadi seorang yang baik. “Tanya nuranimu. Tengarai kebaikan dan kebenaran dari yang membuat nuranimu tenang. Kalau membuat gelisah, itu salah satu tanda perbuatan dosa” (Hadiths of An Nawawi, hal 132).
Sufi besar, Jalaludin Rumi, membenarkan pesan Nabi diatas, “Kamu punya organ spiritual dalam tubuhmu. Cek pendapatnya ketika mendapat fatwa. Bila dia tidak keberatan, baru ambil fatwa itu” (Beyond Dogma, Rumi’s Teaching, hal 105)
Sayang para mufti dan ulama tidak terkesan pada pesan Nabi dan Rumi tersebut. Bahkan Al-Ghazali pun berpendapat bahwa pesan Nabi tersebut adalah pesan khusus. Tidak semua orang punya nurani sebagus Wabisah.
Ketika anak kita merebut mainan adiknya, sebagai orang tua, kita bisa mengasah nurani etikanya, “Kamu kan juga tidak mau mainanmu diambil orang, kasihan adikmu sedih?”. Tapi kita bisa juga main “teori komando”, “Pokoknya apa yang ayah bilang, kamu mesti menurut, titik!”. Maka, ketika ditegur memukul adiknya, dia bisa berkata, “Kata ayah kemarin yang tidak boleh kan mengambil mainannya?”. Teori komando tidak mengasah dan menumbuhkan nuraninya.
Berpendapat bahwa etika dan berperilaku adalah hanya Komando Tuhan, berkibat yang sama. Nalar dan nurani umat Islam jadi kurang tajam. Tanpanya, moral dan perilaku dibebankan penuh pada agama. Menunggu komando, mereka pun goyah bahkan memutuskan berperilaku remeh-remeh “Bolehkan kita kencing berdiri?”, “Potong kuku, apakah harus dimulai dengan jari tengah tangan kanan?”, “Bolehkan telanjang di samping binatang?”, dan muncul banyak bolehkah-bolehkah yang lain. Banjir permintaan berakibat banjir fatwa dari banyak “siapa saja”. Sedihnya, ada fatwa yang berbahaya, walau banyak yang menggelikan, kata seorang ulama terkemuka Amerika. Islam jadi agama hukum.
Agama yang bersekutu dengan kekuasaan membunuh kebebasan berpendapat. Tafsiran baru yang bertentangan dengan arus utama jadi segan muncul ke permukaan. Syariah atau hukum Islam jadi mandeg, sering tidak mampu menjawab pertanyaan zaman.
Kehilangan Sains , Kehilangan Universalisme
Dalam Al-Quran, kata “akal” atau “nalar” selalu bermakna positif. Tapi aliran teologi Asy’ari melihatnya secara negatif. Akal kadang dilihat sebagai alat berkelit menerima kekuasaan mutlak Tuhan. Jadi akal dianggap dekat dengan “hawa” atau nafsu. Maka aliran Mu’tazila diberi label sebagai kaum “Ahlul Hawa” , “Kaum Pemuja Nafsu”. Maka Islam mengambil jarak dengan akal.
Ditambah lagi dengan teori yang meragukan adanya hukum alam sebab-akibat. Maka pandangan-pandangan tersebut merenggangkan lebih jauh hubungan masyarakat Muslimin dengan kenyataan alam. Antusiasme mengetahui rahasia alam ciptaan Tuhan yang sebelumnya menelurkan ilmuwan-ilmuwan besar perlahan pudar. Muslimin kehilangan sains.
Ini bukan berarti bahwa pada jaman ini umat Islam anti pada sains. Sebagian besar mereka, bahkan para islamis pun menghargai dan memahaminya sebagai salah satu rahasia kekuatan Barat. Mereka menyukai dan menginginkannya, tapi melihatnya sebagai “alat kekuatan”, power, ketimbang sebagai sebuah hasil dari sistim berpikir. Mereka mau Iphone, layar datar, pesawat perang, dan lain-lain, tapi tidak tertarik mendapatkan “cara berpikir” yang melahirkan alat-alat canggih itu. Sebagian, kalangan apologis sibuk membuktikan bahwa semua itu berasal dari Islam, berasal dari inspirasi Al-Quran, dan seterusnya. Ada kelupaan besar bahwa pencapaian “sains Islam” itu bukan berasal eksklusivisme tapi dari kosmopolitanisme Islam masa lampau.
Perasaan umum kerinduan jaman keemasan masa lampau masih terasa kuat di kalangan umat Islam. Sayang kurang sekali introspeksi bagaimana jaman itu bisa datang dan bagaimana dia menghilang. Analisa gampangnya adalah bahwa saat itu kaum Muslimin taat menjalankan agamanya, sedang saat ini meninggalkannya sehingga Tuhan menghukumnya. Jaman emas akan balik lagi jika kita kembali jadi “Muslim sejati”.
Namun keterangan tersebut tidak punya dasar fakta yang kuat. Seorang sarjana Turki Erol Güngör mendapati bahkan pada jaman kemunduran, justru masyarakat Muslimin menjadi lebih relijius. Melihat fakta, penjelasannya berbeda. Dalam kalimat sejarawan Italia, Giorgio Levi Della Vida, awal peradaban Islam bersifat luar biasa kosmopolitan. Jauh melebihi jaman helenistik Yunani atau jaman kekaisaran Roma.
Masyarakat Abbasid bukan sekedar peniru, tapi mereka mengembangkan ilmu, membangun peradaban lewat sumbangan berbagai budaya. Cina, India, Persia, Mesir, Afrika Utara, Yunani, Spanyol, Sisilia, dan Bizantium. Peradaban Islam betul-betul merupakan kuali masak besar yang mencampur berbagai budaya, pengetahuan, dan agama.
Kualitas penyerapan unsur luar yang istimewa tersebut itulah rahasia besar kemajuan peradaban awal Islam. Peradaban yang nantinya berpengaruh luas dari Afrika sampai Cina. Kaum Abbasid yakin, menyelidiki rahasia alam adalah bagian dari ibadah mengenal Tuhannya. Wahyu dan rasio adalah dua pendukung yang tidak terpisahkan.
Sayangnya semangat kosmopolitan ini tidak bertahan lama karena dasar-dasarnya dipertanyakan dan dilemahkan oleh teologi. Dua pahlawannya, Mu’tazila dan Filsafat dianggap sesat dan bid’ah. Aliran anti nalar kemudian mendominasi. Bila nalar sendiri tidak mungkin bisa menemukan kebenaran, buat apa mendengar nalar orang asing Yunani atau orang kafir?
Umat Islam kemudian yang cuma menoleh ke dalam, kehilangan universalisme. Kehilangan daya pencerapan dan kosmopolitanisme. Apa-apa yang dari luar (Barat) sering kali secara reflek ditolak karena kita sudah punya sendiri. Ditambah lagi reflek pengalaman buruk kolonialisme yang dialami banyak masyarakat Islam di berbagai negara.
Misalnya belakangan berbagai kontroversi soal syariat Islam sering muncul. Dirasakan bahwa interpretasi tradisionil tidak cocok lagi dengan standar baru hak asasi manusia. Soal hukuman bagi penista agama, orang murtad, diskriminasi hukum bagi wanita, atau bagi nonmuslim. Juga soal hukuman fisik seperti cambuk, rajam, amputasi tangan, dan penggal kepala.
Berbagai penemuan dan kesadaran hukum baru di dunia seperti yang tercantum dalam Hak Asasi Manusia PBB 1948 (Universal Declaration of Human Rights, UDCR) jadi alot, lama diterima.
Mawdudi, seorang ulama Pakistan terkenal tahun 1976 menerbitkan buku teks tandingan yang antara lain menyatakan “ kesamaan hak asasi manusia yang tidak memandang warna kulit, atau kebangsaan”. Di situ sengaja kesamaan gender dan agama tidak dicantumkan. Dilanjutkan tahun 1990 dengan Cairo Declaration of Human Rights in Islam, yang ditandatangani banyak negara berpenduduk mayoritas Islam tahun 1990 yang menghapus teks UDCR soal kebebasan berpindah agama, mengutuk penggunaan kebodohan untuk membujuk pindah agama, serta menekankan bahwa segala hak dan kebebasan berpendapat berada didalam kerangka syariat Islam.
Kemandegan Perkembangan Hukum
Yang paling efektif meyakinkan umat Islam saat ini adalah dengan menyebut pendapat ulama besar jaman dulu, Tabari, Abu Hanifa, atau Syafi’i. Alasan apa lagi kamu manusia biasa tidak mau memakai pendapat mereka? Lebih besar otoritas yang disebutkan, lebih efektif sebuah argumen. Apa isi argumen bukan soal. Hal-hal seperti ini bukan saja terjadi pada kalangan awam, tapi biasa pula terjadi di kalangan Muslim akademis dan terpelajar.
Tapi bagaimana jika menghadapi situasi di mana ulama terdahulu tidak pernah mengalaminya? Apakah kita boleh menggunakan nalar sebagai dasar pendapat kita? Sayangnya, kebanyakan jadi segan melakukannya.
Mereka segan memakai pengalaman hidupnya sebagai dasar dari inovasi, perubahan atau adaptasi. Kebanyakan akademisi memahami ilmu agama sebagai ilmu pendapat-pendapat ulama terdahulu dibanding sebuah “pikiran baru”. Mereka hidup di bawah tirani pendapat lama.
Yang getol pada hukuman keras memang tidak banyak, terutama minoritas Salafi atau kalangan islamis. Bagian besar kaum Muslimin enggan, tapi juga tidak banyak mempertanyakannya. Argumen yang populer adalah bahwa hukuman syariat baru layak bila seluruh kondisi sosial telah terpenuhi.
Hukuman potong tangan baru bisa dilaksanakan misalnya ketika sudah tidak ada lagi kemiskinan. Tapi ketika pada tahun 2005 Tariq Ramadan menyerukan melakukan moratorium atas hukuman fisik dalam syariat, maka jawabannya adalah : “Siapa kamu, kok berani mengoreksi ketetapan Tuhan!?”.
Akibatnya teori hukum pada penekanan interpretasi literal Quran dan Sunnah, yang umurnya ratusan tahun, masih saja terus dipakai. Ketika Quran menetapkan bagian waris lelaki dua kali perempuan, ya sudah. Kata Al-Qushairy, ulama asal Khorasan abad 11, soal Allah melarang manusia untuk mengawini ibunya, saudara atau anak perempuannya: “Paham latar belakang hukum Allah itu mustahil. Allah melarang dan menyuruh apa-apa yang dimauinya, titik. Tidak ada sebab lain dari hukum Tuhan” .
Sebetulnya ada pendekatan lain yang bisa dilakukan, yaitu melihat dalam-dalam pada ketetapan Tuhan : mengajak nalar untuk ikutan dalam proses memahami ketetapan tersebut. Sayangnya solusi inilah yang segan dilakukan terutama karena tidak diperbolehkan oleh teologi arus utama selama seribu tahun ini.
Ada hadis dari Sunan Abu Daud, Rasulullah berkata : إِنِّي إِنَّمَا أَقْضِي بَيْنَكُمْ بِرَأْيِي فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ , “Pada hal-hal wahyu tidak tersedia, aku memutus diantara kalian berdasarkan Ra’yi-ku (akal sehatku, common sense). Berdasarkan ini hakim-hakim kota kosmopolitan Basra dan Kufa memutuskan perkara-perkara baru. Mereka-mereka itu kemudian dipanggil sebagai Ahl Ra’yi, “kalangan rasional”. Tapi tidak lama, mereka ini kemudian dipanggil sebagai “Ahlil Hawa”, “kalangan penuruti hawa nafsu” dan tentunya dikalahkan dan dihabisi. Mereka digantikan oleh aliran “ahli hadis” yang mencari sumber hadis untuk mengisi kekosongan absennya common sense.
Singkatnya kemenangan teologi Asyari berakibat hilangnya kedudukan nalar yang sebelumnya tinggi dalam hukum fiqih. Peninjauan kembali suatu hukum hanya dapat dilakukan kalau tidak ada teks jelas dalam Quran dan Hadis. Pintu Ijtihad memang tidak ditutup, tapi dibiarkan sempit terbuka. Ketika dunia terus-menerus menciptakan hal-hal baru, pintu yang sempit itu jauh dari memadai.
Para ahli hukum jadi ragu memutus hal baru. Contohnya soal konsep baru kesepakatan bunga wajar perbankan. Jelas itu beda dengan bunga mafia-style yang dinamakan riba. Tapi mereka akhirnya tunduk pada otoritas hukum lama walau itu tidak sesuai dengan akal sehat.
Tidak heran, kemunduran hukum jadi ongkos besar peradaban Islam. Hukum Islam, syariah, yang semula mendukung terjadinya peradaban besar antara lain dengan mengakui hak milik, menghormati kontrak, berakhir dengan menyedihkan: tertinggal jauh di belakang zaman.
Epilog
Dalam bab terakhir beberapa pesan Aykol penting untuk dicatat. Tentang pertentangan pemikiran Mu’tazila dan Asy’ari yang banyak dibahas. Sama sekali tidak berarti Islam sekarang harus berganti menganut Mu’tazila dan membunuh Asy’ari. Keduanya punya plus dan minusnya. Tapi biarlah kebebasan berpendapat dan ilmiah mencari keseimbangannya sendiri, kemudian menemukan dengan sehat pikiran baru yang seiring dengan zaman. Tentu, bahkan termasuk pula kebebasan berpendapat dari kalangan islamis dan salafi.
Islam sekarang tidak lagi sebuah peradaban cemerlang seperti pernah dahulu. Sekarang ini dia terkebelakang dalam banyak hal dan mengecewakan. Pasti, adanya kekuatan luar, kolonialis dan imperialis yang turut menyumbang pada krisis peradaban Islam modern kini. Tapi, kesalahan kita, cuma itu yang mau kita dengar. Timbul kompleks psikis yang seolah kita harus pada sikap berlawanan dengan Barat. Kita jarang mau fokus pada perilaku kita sendiri, pada pola pikir kita, dan pada pandangan dunia, worldview kita. Bahkan pada krisis yang sedang menimpa kita, serta cara memandangnya, menambah alotnya sikap mau berubah dari kita.
Sudah tiba waktunya sekarang untuk keluar kompleks dan dengan berani menghadapi tantangan. Ketika Islam muncul dalam sejarah dunia, dia adalah kekuatan membebaskan. Kita bangga bagaimana Al-Quran melarang pembunuhan bayi, mengangkat derajat perempuan dan para budak, menghapus tribalisme. Semua itu merupakan tonggak kemajuan sejarah kemanusiaan yang sangat dihargai.
Tapi sekarang, siapa yang masih menganggap Islam sebagai kekuatan membebaskan? Mungkin masih sedikit tersisa pada aspek spiritualnya. Bagi banyak orang, Islam cuma dapat dilihat dari kekerasan, intoleransi, atau patriarki saja. Apalagi ditambah dengan propaganda dari islamofobia jahat yang memang tanpa dasar.
Kita bisa berkata, “Tidak peduli! Kalau tidak suka Islam, frek, persetan!”. Itulah reaksi dari kaum islamis dan kaum konservatif ketat. Dan kemudian membela masa lampau seperti membela Tuhan. Yang demikian tidak akan kemana-mana, cuma mengisolasi Islam menjadikannya sebagai tribal religion, agama suku, terpisah dari pergaulan luas kemanusiaan.
Sudah waktunya kita membuka pikiran, merangkul kembali akal, merangkul kebebasan dan merangkul toleransi.