"Andaikan agama warisan Nabi ini diterjemahkan menjadi alunan nada, mestilah ia seperti pagelaran musik yang indah nan akbar" (anonim)

***

Ide tulisan ini muncul di saat mendengarkan lagu Slank "Terlalu Manis". Lalu saya tuliskan seadanya, dengan perangkat smartphone ber-spec sederhana keluaran China. Untung ada aplikasi "Keep". Jadi lebih mudah ngetiknya. Tak masalah bagi saya biarpun hp ini produk asing; produk yang dilaknat oleh kalangan yang rajin demonstrasi hingga berjilid-jilid sambil nge-share aksi mereka lewat twitter. Jelek-jelek gini, ia menyimpan banyak amunisi penting berformat pdf.

"Terlalu Manis" usai, disusul "Tut Wuri Handayani", karyanya Slank juga. Bass-nya melalui headset terdengar kuat menyemprot lobang telinga. Ngomong-ngomong, ada banyak lagu enak didengar. Liriknya juga menggugah. Aransemen instrumental-nya mengajak kepala bergerak ekspresif. Ritme-nya manthuk-manthuk. Atau geleng-geleng. Tergantung selera pendengarnya.

Tak sedikit lagu dengan lirik yang "serius". Bisa dipahami dan kontennya "mendidik". Inspiratif juga. Betapa lagu, meski sekilas remeh, sering menjadi pengantar yang baik menuju dimensi lain yang mencerahkan. Bukankah Gusti Allah maha memberi-petunjuk, termasuk melalui wasilah lagu?

Di belantika musik Indonesia, di antara lagu yang liriknya serius, kebanyakan merupakan lagu-lagu produk lama. Konten liriknya beragam. Dan yang paling signifikan bagi saya adalah lirik lagu yang menyuarakan kritik sosial. Biarpun terdengar cadas,  idealisme bisa cukup kentara mengucur deras di sela-sela lengkingan gitar elektrik dan dentuman bass dan drum-nya. Simak lirik berikut:

"Anak muda harus sekolah gak boleh menganggur. Untuk bekal di masa depan, biar tua gak jadi preman" (Slank, "Tut Wuri Handayani"). Moralis 'kan liriknya? Diiringi musik yang terdengar "heroik" dan penuh semangat.

Lirik mendadak nylethas saat lagu dengan pedas mengkritik kahanan realitas : "Loncat pager bolos. Kantin tempat nongkrong. Di kelas ngerokok, no no no! Sahabat di-klepto. Patungan nge-DO. Di WC kepergok, no no no!"

Cukup. Lirik-lirik lagu yang "realis" seperti itu bisa dipahami dengan baik dan inspiratif. Sekaligus empatik dan memprihatinkan. Tapi lirik tetaplah lirik. Tak lebih sebarisan kalimat "moralis" yang menyampaikan suatu pesan tertentu. Lirik menjadi menarik, mempengaruhi kejiwaan, menyentuh akar psikis, dan bahkan mendorong orang berekspresi hingga goyang-goyang karena satu hal: iringan musik.

Maka, sebuah lagu menjadi asyik dan menarik ketika ia merupakan integrasi dan kombinasi antara lirik dan iringan instrumen musik. Hal ini mirip dengan aspek lahiriah dan aspek batiniah dalam ajaran agama kita. Ada level syariat, yang berdimensi lahiriah. Ada level yang lebih ruhaniah, yang dimensinya tentu saja kedalaman batin.

Syariat ialah sebentuk kebijaksanaan pada satu aspek, yakni aspek lahiriah. Sementara pada aspek yang lain, agama memiliki inti batin yang menghuni kesadaran spiritual seseorang. Oleh karena itu, keberagamaan seseorang dipengaruhi oleh bagaimana dia meletakkan dua aspek kebijaksanaan yang berbeda tersebut sesuai takarannya masing-masing.

Seperti halnya lagu. Memang cukup mudah suatu lirik dipahami dan diterima pesan moral-nya oleh akal sehat. Tentu kurang menyentuh aspek psikis, apalagi dimensi batin, juga kurang melibatkan kesadaran yang terdalam, ketika lirik itu hanyalah lirik tanpa iringan musik. Padahal, jika kita jujur, iringan musiknya-lah yang membuat hati kita tersentuh hingga tersenyum sendiri, atau bahkan mata berkaca-kaca.

Agama itu mirip alunan lagu. Tanpa "lirik" syariat, agama tidak bisa dipahami oleh akal sehat. Tanpa "lirik" syariat yang jelas alurnya, kebijaksanaan ajaran Nabi sangat mungkin mati dan gagal berdialektika dengan nalar manusia. Beruntung, berkat interpretasi para ulama, "lirik" syariat menjadi nge-klop dengan tuntutan ke-masuk-akalan. Sedangkan tanpa "iringan spiritual", agama seperti halnya lirik-lirik kaku yang garing. Kosong alias tanpa makna. Seperti tubuh tanpa ruh: bangkai belaka.

Saat dipadukan dengan dimensi spiritual, agama menjadi bersifat estetik, mengandung anasir keindahan. Ajaran lahiriah tentang "ibadah sebagai cara meraih surga dan menghindari neraka", menjadi merdu dan indah saat dilekatkan pada dimensi spiritual. Di sinilah para sufi memainkan peran layaknya musisi: "aku menyembah-Mu karena cinta, bukan karena kepengen surga atau takut neraka", kata sufi perempuan Rabi'ah al-Adawiyyah.

Di tengah bisingnya keberagamaan formalis yang tanpa ruh, kita seperti hidup dalam kehampaan makna. Begitu dangkalnya agama direkayasa oleh oknum pemeluknya hingga sedemikian mudah ia dipolitisir. 

Inilah ambivalensi sisi lahiriah "lirik" agama: ia membuka dialektika dengan nalar, tapi di saat yang bersamaan membuka kemungkinan pada intervensi kepentingan dan kuasa. Hasilnya, agama tak cukup kebal dari upaya dimanfaatkan hanya untuk membenarkan nafsu angkara sebagian pihak. Bahkan ajarannya dijerumuskan dalam rangka melegitimasi penindasan. Fenomena itu tak ubahnya seperti orang yang gagal menyanyikan-kembali "lagu" gubahan Tuhan.

Padahal, pada skala unuversal, Tuhan menggelar simphoni "musik kosmik" maha besar ini menggunakan "kaidah-kaidah musikal" yang gak main-main. "Tidaklah Aku ciptakan alam semesta ini sebagai kesia-siaan". Ya, "musik besar" kosmik ini ibarat lagu yang aransemen-nya gak asal-asalan.  

Termasuk juga saat Dia mewahyukan kebijaksanaan-Nya kepada Nabi, yang diawali dengan alunan intro yang amat merdu: "Bacalah! dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan". Hingga "Lagu Merdu" ini selesai digubah sempurna, riwayat keberagamaan manusia menjadi pagelaran orkestra besar dimana kita "menari dan menyanyi" mengagungkan nama ilahi.

Sayangnya, tak semua manusia mampu memahami "not dan nada" ilahi. Kebanyakan kita masih meraba "alat-alat musik" pemberian Tuhan. Pun juga gagal memahami komposisi dan liriknya. Itu masih ditambah betapa sumbangnya suara sebagian orang dalam menyanyikan-kembali "lagu sakral" ajaran kenabian. Salah-tafsir terhadap teks wahyu dan salah-paham antar sesama terjadi dimana-mana. Akhirnya, bukannya pagelaran musik, agama dan keberagamaan justeru menjadi arena tawuran.

Oke. Kita perlu menarik diri dari kebisingan. Dan kembali kepada simphoni indah-Nya. Tak hanya syariat, kita perlu juga mengikatkan-diri kepada nilai-nilai universal pada dimensinya yang terdalam. 

Hanya dengan kembali mengintegrasikan dua aspek lahir-batin itulah, kita menemukan kembali merdunya "nyanyian" keberagamaan. Dan sadar, bahwa selama ini, kita tak ubahnya seperti hanya berjoget di tengah ruwetnya kebisingan. Awur-awuran. Sumbang dan sembarangan.

Jalan terbaik adalah jalan beragama dengan cara mengintegrasikan dan mensinergikan antara "lirik syariat" dan "musikalitas hakikat". Pada titik integratif inilah, ajaran kebijaksanaan ilahiah menjadi rasional bagi akal sehat, praktikal dalam perbuatan nyata, sekaligus ekspresif secara ritmik dan dinamis dalam kesadaran batin spiritual kita.

Agama ini, sekali lagi, merdu. Tapi manusia-nya tak tahu, dan semakin tak mau tahu, dengan betapa sumbang suara hatinya yang dirundung nafsu.