Gonjang-ganjing di dunia Arab sangat berpengaruh terhadap Islam. Sebagai pusat dan tempat turunnya Islam, tanah Arab menjadi cerminan bagi pemeluk Islam di seluruh dunia. Baik buruknya, maju mundurnya Islam terpaut dengan dinamika di tanah Arab. Sebegitu esensinya, sehingga tidak mungkin menyisihkan Islam dengan Arab.
Sudah terlampau banyak stigma negatif dilekatkan ke dunia Arab, dan berujung pada pertaruhan nama besar Islam. Padahal, belum tentu Arab merepresentasikan Islam yang autentik. Mungkin saja, Islam ala penguasa-penguasa Arab atau bos-bos minyak yang tercitrakan (memonopoli agama) selama ini. Sehingga, umat Islam benar-benar tersisih dari wajah Islam yang sesungguhnya. Suasana ini sangat kuat sekali kita rasakan hari-hari ini. Rasa-rasanya Islam, tapi koq aroma politiknya begitu tajam. Rasa-rasanya politik, koq nuansa surgawinya sangat yahud.
Peliknya suasana politik dan keberagamaan di kawasan Arab, butuh upaya serius dan power selevel nabi, mungkin saja, untuk mengakhirinya. Permusuhan horizontal yang menahun antar negara-negara Arab benar-benar telah mengibiri kemanusiaan dan mencederai etika ideal Islam.
Melihat gaya bernegara dan berpolitik negara-negara Arab hari ini, seperti menyaksikan peradaban jongkok ala Arab jahiliyyah tempo dulu. Benar-benar barbar. Dan parahnya, Islam selalu saja tersandera di liang kekuasaan. Sampai kapan hal ini akan berlanjut? Tidak cukupkah peristiwa perang Jamal (Ali dan Aisyah), Shiffin, dan sederet peristiwa pilu lainnya menjadi contoh, bahwa kekuasaan telah melenyapkan entitas ukhuwah?
Berhubung degradasi sosial dan politik yang begitu akut terjadi, masihkah keberislaman masyarakat Arab menjadi role model bagi umat Islam sedunia?
Menyimak apa yang diistilahi oleh Buya Syafi'i dengan misguided arabism (Arabisme yang ke sasar), menjadi tanda bahwa Arab telah memasuki masa pensiun sebagai pionir peradaban Islam. Lantas, apakah mungkin Islam Indonesia mengambil alih estafet kepemimpinan (baca: marwah) Islam tersebut?
Jika iya, Islam Indonesia yang model manakah? Islam versi NU, versi Muhammadiyyah, atau ala FPI? NU dengan Islam Nusantara, Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan, FPI dengan Islam puritan (tepatnya Islamisme), semuanya merepresentasikan Islam Indonesia.
Sebenarnya, Islam Indonesia punya satu titik temu, yakni menggaungkan semangat moderasi. Sebuah semangat yang terbilang langka di kawasan Timur Tengah. Namun, masing-masing ormas tersebut harus diakui punya pendekatan yang berbeda dalam mengartikulasikan nilai-nilai Islam (moderasi). Misalnya, NU dengan konsep Islam Nusantara, yang menekankan ghirah kultural dan dialog.
Dan Muhammadiyah lebih mengkhususkan perhatiannya pada pemantapan dan pemberdayaan di ranah pendidikan, serta peningkatan SDM. Adapun FPI menginisiasi gerakannya dengan ber-nahi munkar dan aktif di bidang dakwah praktis.
NU dengan pendekatan kulturalnya memiliki basis yang kuat di daerah, dan pesantren-pesantren tradisional yang menjamur di tanah air. Muhammadiyah juga demikian, namun lebih telaten di pendidikan perguruan tinggi. Sedangkan FPI, meskipun posisinya sarat kontroversial, namun tidak bisa dipungkiri organisasi pimpinan Habib Rizieq ini telah menyedot banyak massa, terutama beberapa tahun belakangan ini. Dan massanya berkisar (mayoritas) di kalangan masyarakat urban. Apalagi kian menguatnya populisme agama, FPI kian
Adanya hiruk pikuk perpolitikan Indonesia beberapa waktu ini, kian menonjolkan peran ketiga ormas tersebut. Tak jarang, semula ormas-ormas (lebih tepatnya person) tersebut bersikukuh dengan idealisme dan ideologi masing-masing, terseret dalam kubang politik praktis. Memang, lumbung suara di masing-masing ormas sangat menentukan elektabilitas kandidat capres.
Dengan ujian politik dalam negeri yang sedemikian rupa, belum lagi gesekan-gesekan ideologis yang ibarat ampas kopi, kapan saja bisa mengeruhkan cawan kebhinnekaan. Mampukah ketiga ormas tersebut menjulang Islam Indonesia di kancah dunia? Setakat ini, saya cukup pesimis, namun bukan berarti tidak mungkin.
Pesimistis saya disumbang oleh kenyataan polarisasi antara Islam pusat dan Islam pinggiran, sebagai sebuah konstruksi sejarah yang tak mungkin diganggu gugat oleh hukum positif manapun. Singkatnya, otoritas kunci Islam telah disemat secara mutlak ke Arab, sebagai yang paling autentik dan unggul.
Sejauh ini, posisi konfrontatif di antara ormas-ormas tersebut bisa dikatakan berada di radius aman. Tapi, tidak menutup kemungkinan jika jari-jemari politik terlalu merasuk dalam gerakan mereka, menciptakan suasana yang berbeda. Karenanya, dalam mengusung citra Islam Indonesia, jalur koordinatif dan sinergisitas adalah sebuah keniscayaan yang sangat urgen dan fardhu 'ain. Meski berbeda secara ideologi dan gerakan, ketiga ormas mesti bersebatin dalam kebhinnekaan. Hal inilah yang tak terjadi di Timur Tengah. Lihat, Fatah dan Hamas, terlalu keras kepala dengan pendirian, hingga mengorbankan banyak nyawa. Hal serupa jangan sampai terjadi di negeri kita.
Jika sisi tersebut mampu dipilin-rajut oleh NU, Muhammadiyyah, dan FPI, maka Islam Indonesia berhak menjadi role model, menggeser Islam Arab yang sedang sekarat itu.