Barangkali adalah klise untuk mengatakan bahwa semua agama menyeru pada perdamaian, sikap welas asih dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Pada saat yang sama, banyaknya kekerasan terjadi atas nama agama juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Tampaknya, banyak penganut agama yang masih gamang dalam menerjemahkan konsep perdamaian, cinta kasih dan kemanusiaan itu.

Kaum apologis berpandangan bahwa “bukan agama yang mengajarkan kekerasan, namun para penganutnya lah yang salah dalam memahami agama”. Sekilas argumen itu nampak sahih tanpa cacat. Namun, jika ditelisik lebih dalam argumen itu tak ubahnya seperti pembelaan seorang bocah yang mengelak dirinya telah menumpahkan cat, sementara tangan dan bajunya belepotan.

Romo Haryatmoko, rohaniwan Katholik, dosen filsafat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam sebuah sesi kuliah yang mencerahkan berujar bahwa umat beragama seharusnya berani untuk mengatakan bahwa agama memiliki potensi melahirkan kekerasan. Ketakutan untuk mengkritik agama dan menimpakan kesalahan semata pada pengikutnya, lanjutnya, hanya akan melanggengkan praktek kekerasan atas nama agama tersebut.

Menilik situasi Indonesia, kondisi keberagamaan belakangan ini memang cenderung kondusif, setidaknya jika dibandingkan dengan kondisi di awal pascareformasi. Hanya saja intoleransi, konflik dan kekerasan dengan latar belakang agama harus diakui belum sepenuhnya lenyap dari bumi pertiwi. Konflik horizontal dalam skala masif seperti terjadi di era pascareformasi memang tidak lagi ada, namun potensi konflik serupa tetap ada.

Ibarat rumput, kondisi keberagamaan Indonesia saat ini lebih mirip rumput kering, hanya butuh percik api kecil untuk menyulutnya menjadi bara yang berkobar. Begitu mudahnya masyarakat dibentur-benturkan satu sama lain oleh provokasi bermotif ekonomi-politik adalah indikasi kuat bahwa tata toleransi keberagamaan kita sebenarnya semu: dari luar tampak kuat, namun rapuh di dalam.

Masih segar dalam ingatan bagaimana agama dikemas sebagai komodifikasi politik pada Pilkada Jakarta tempo hari. Melalui sentimen keagamaan, masyarakat dipecah ke dalam kubu-kubu yang saling bersitegang. Atau lihatlah media sosial hari ini. Betapa ujaran kebencian terhadap satu kelompok atau aliran keagamaan berseliweran saban hari. Di media sosial, kekerasan hadir dalam bentuknya yang palig halus, yakni kekerasan verbal dan tulisan. Pada titik tertentu, patut disyukuri bahwa ketegangan itu tidak sampai memuncak dalam konflik sosial sektarian seperti jamak terjadi di negara-negara Timur Tengah.  

Idealnya, agama -terlebih Islam- bisa berperan aktif dalam upaya peace-building (bina-damai). Apakah itu mungkin? Memang cukup sulit membayangkan Islam terlibat aktif sebagai katalisator peace building, mengingat citra Islam yang tampak ke permukaan adalah citra Islam yang galak, bahkan bengis. Doktrin tentang jihad, wala’ al bara’ dan takfir menjadi semacam penanda bahwa Islam adalah agama eksklusif dan mustahil menghormati dan hidup berdampingan dengan pihak lain, apalagi menginisiasi gerakan bina-damai.

Ada yang dengan sinis berujar bahwa konflik akan sulit diurai jika ada variabel Islam di dalamnya. Mungkin pernyataan itu tidak sepenuhnya salah, namun mengidentikkan Islam semata dengan kekerasan adalah penyederhanaan yang fatal. Toh pada kenyataannya, jumlah muslim yang melakukan kekerasan jauh lebih sedikit tenimbang muslim yang toleran dan pluralis. Juga fakta bahwa banyak ajaran Islam yang bisa dijadikan dasar bagi perdamaian. Itu artinya, Islam sangat potensial dijadikan sebagai salah satu pilar bina-damai.

Konflik Atas Nama Agama dan Strategi Mengurainya 

Dalam Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution, Louis Kriesberg, menganggap bahwa konflik pada dasarnya merupakan sesuatu yang natural, niscaya ada dalam kehidupan manusia dengan dua kemungkinan, yakni berakhir secara destruktif atau konstruktif. Berangkat dari argumennya itulah ia mengembangkan teori komprehensif yang sampai saat ini menjadi rujukan paling populer di ranah kajian resolusi konflik.

Setidaknya terdapat tiga mekanisme, menurut Kriesberg, yang memungkinkan konfik dapat diselesaikan secara konstruktif. Pertama, mekanisme internal, yakni berbagai mekanisme dan strategi mengurai atau mencegah konflik yang terjadi secara internal atau dalam lingkup komunitas agama tertentu.

Sudah menjadi galibnya bahwa pada semua agama, tidak ada penafsiran yang tunggal. Semua agama mengenal istilah aliran, mazhab dan ideologi yang berbeda-beda. Di Islam, polarisasi penafsiran itu mengejawantah dalam perbedaan tata cara peribadatan (fiqih), konsep berteologi (kalam) dan sejenisnya.

Bagaimana, menjembatani saling silang perbedaan itu agar nantinya tidak menjumbuh menjadi konflik sosial? Komunikasi, dialog dan dibukanya ruang publik yang memungkinkan terjadinya semacam -meminjam istilahnya Rizal Panggabean- pergaulan multikultural adalah sebuah keharusan.

Tidak kalah penting dari itu, tokoh-tokoh agama yang memiliki otoritas idealnya menjadi agen-agen aktif bagi upaya bina-damai. Pada titik inilah penting kiranya bagi para dai, ulama, pendeta, pastor, rabbi, atau siapa pun yang berkepentingan menyampaikan ajaran agama untuk menghadirkan wajah agama yang sejuk, agama yang sarat nilai etika dan spiritualitas. Bukan sebaliknya memproduksi pandangan-pandangan keagamaan yang mengeruhkan suasana.

Apa yang terjadi dalam konteks Islam belakangan ini cukup memiriskan. Mimbar-mimbar khotbah, forum-forum pengajian dan sejenisnya acapkali justru menjadi media penyebaran kebencian pada kelompok lain. Fenomena itu tentu kontraproduktif terhadap upaya bina-damai berbasis agama.

Kedua, mekanisme antarkomunitas agama, yakni segala strategi dan mekanisme bina-damai yang melibatkan dua atau lebih komunitas agama. Kondisi Indonesia yang plural meniscayakan adanya interaksi satu agama dengan agama lain, baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam birokrasi dan dalam urusan berbangsa-bernegara.

Perbedaan agama yang juga seringkali berkelindan secara membingungkan dengan perbedaan kelas sosial tak pelak melahirkan semacam segregasi. Masing-masing komunitas hidup dalam batasnya masing-masing, tanpa perlu merasa mengenal dan menjalin relasi dengan komunitas agama lain. Relasi sosial segregatif dan pola pikir ghetto minded ini tentu rawan akan potensi konflik, karena bertumpu pada model tolerasi semu (pseudo tolerance).

Terbukanya ruang publik pascareforomasi di Indonesia idealnya disambut sebagai momentum untuk membangun satu jejaring kerjasama antarkomunitas agama. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari tingkat yang paling teoretis, semisal dialog-dialog sampai ke level praksis, seperti kerjasama dalam mitigasi bencana alam (untuk menyebut salah satunya).

Ketiga, mekanisme sistemik yang bekerja di luar konteks agama. Dalam relasi sosial apa pun, baik yang berbasis agama maupun tidak, mekanisme sistemik selalu dibutuhkan sebagai prasyarat terciptanya kehidupan bersama yang damai dan jauh dari kekerasan. Dalam konteks ini, kehadiran negara sebagai institusi sosial sekaligus politik yang memiliki kewenangan penuh menegakkan keadilan merupakan hal mutlak yang tak bisa ditawar-tawar.

Negara dituntut punya andil aktif dalam meciptakan perdamaian, yakni dengan mengambil peran sebagai pengayom yang berdiri di atas semua kepentingan golongan, tanpa melakukan intervensi birokratis terlalu jauh pada kehidupan keberagamaan. Negara harus memastikan bahwa regulasi hukum menjamin adanya kebebasan beragama dan menjamin regulasi itu dijalankan secara adil.

Sayangnya, yang lebih sering terjadi terutama di Indonesia adalah negara justru kerap absen dalam upaya-upaya bina-damai. Ketika konflik sosial berlatar agama terjadi, negara hadir bukan dalam wujudnya sebagai pengayom. Cara-cara militeristik lebih sering dipakai untuk mengurai konflik sosial. Lebih parah lagi, karena kepentingan politik sesaat, negara pun dengan terang-terangan memperlihatkan keberpihakannya pada salah satu komunitas agama dan mendiskriminasi komunitas agama lain.

Islam dan Upaya Bina-Damai

Membincagkan Islam dan bina damai agaknya harus menyebut nama seorang Mohammed Abu Nimer. Ia akademisi sekaligus praktisi bina-damai di dunia Islam. Bukunya, Non Violence and Peace Building in Islam (edisi Bahasa Indonesianya berjudul Nirkekerasan dan Bina Damai dalam Islam: Teori dan Praktik) boleh dibilang merupakan karya kesarjanaan paling serius di bidang bina damai dalam Islam.

Abu Nimer melalui telaah yang mendalam, menyuguhkan serangkaian analisis cara-cara penyelesaian konflik sosial di era kenabian dan masa Islam awal. Ia juga menggali teks-teks keislaman terutama al Qur’an yang sekiranya bisa dijadikan dasar atau setidaknya mendukung upaya bina-damai. Tidak hanya itu, ia juga menuturkan bagaimana tradisi Islam dan masyarakat Arab ternyata memiliki tradisi resolusi konflik yang begitu kaya.

Misalnya, masyarakat Arab di era Islam awal memiliki setidaknya tiga mekanisme mengurai konflik, yakni melalui hukum kesukuan (tribal law), hukum Islam dan praktik-praktik tradisional (‘urf). Pada praktiknya, ketiga mekanisme ini tidak selalu eksklusif, melainkan arbiter, dapat dipertukarkan.

Abu Nimer berkeyakinan bahwa Islam tidak hanya memiliki dasar-dasar tekstual tentang bina-damai. Masyarakat muslim pun nyatanya juga memiliki sejarah dan tradisi tentang bina-damai. Modal tekstual dan historis itu, menurut Nimer seharusnya menjadikan Islam berada di garis paling depan dalam gerakan bina-damai.

Abu Nimer memberikan setidaknya empat sumbangan pemikiran terkait bina-damai dalam Islam. Pertama, kita harus sepakat dengan diktum bahwa agama memiliki dua wajah kemungkinan. Perannya sebagai pemicu kekerasan tidak bisa kita tampik secara apologetik. Namun peran agama sebagai katalisator bina-damai juga tidak boleh kita alpakan. Adalah tugas sarjana muslim kontemporer untuk menyusun kerangka teoretik bina-damai dalam Islam.

Kedua, menggali nilai budaya dan ajaran Islam serta tradisi Arab-muslim sebagai semacam kerangka teori bina-damai dalam Islam akan jauh lebih produktif ketimbang mengembangkan teori resolusi konflik yang berasal dari Barat. Ketidakakraban komunitas muslim dengan teori-teori resolusi konflik Barat menjadikan hasil yang dicapai tidak berumur panjang.

Ketiga, upaya bina damai acapkali berbenturan dengan problem-problem seputar hirarkisme, otoritarianisme bahkan patriarkisme. Menciptakan sistem sosial-politik yang demokratis-egaliter sekaligus partisipatoris merupakan awalan bagi terciptanya bina damai. Konsep nation state (negara bangsa) dipercaya Abu Nimer lebih adaptif pada upaya bina-damai ketimbang (misalnya) konsep negara teokrasi.

Keempat, bina-damai tidak akan menunjukkan capaian yang menjanjikan apabila tidak dibarengi dengan distribusi keadilan, pemberdayaan pada kelompok lemah dan terjalinnya solidaritas sosial. Kekerasan atas nama agama seringkali berakar pada ketimpangan sosial-ekonomi. Maka, memperbaiki ketimpangan itu merupakan satu rangkaian penting dari upaya bina damai yang sesungguhnya.

Konflik sosial-politik yang mencabik-cabik dunia muslim belakangan ini menimbulkan pertanyaan besar, “apakah klaim Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin masih relevan?” Pertayaan itu tentu tak butuh jawaban retoris, alih-alih sebuah tindakan afirmatif. Secara teoretis, Islam telah menyediakan perangkat berupa ajaran dan tradisi yang visible bagi upaya bina-damai. Tinggal bagaimana perangkat teoretis itu kita terjemahkan dalam suatu gerakan praksis.

#LombaEsaiKonflik