Berbagai permasalahan kehidupan yang muncul di era globalisasi adalah rangkaian dari perkembangan ilmu pengetahuan. Segala kejadian yang kerap terjadi dalam ruang sosial kerap berkaitan dengan agama, suku, dan kebudayaan.

Hal ini menjadi isu kontemporer dalam perjalanan kehidupan, khususnya pendidikan. Isu-isu kontemporer tersebut seringkali dijadikan sebagai problematika permasalahan dalam sosial, dikaitkan dengan islam karena arti sebenarnya dari istilah yang termasuk dalam isu-isu kontemporer tersebut merupakan hal yang terkadang bertolak belakang dari ajaran agama islam. 

Berbagai isu-isu kontemporer yang awal mulanya timbul dari bangsa barat yang hingga saat ini masih sering kita dengar, lihat dan saksikan diberbagai media yang tidak jarang berupa buku, majalah, koran, televisi, radio dan media yang sekarang sudah bebas untuk kita akses yaitu internet.

Jika dikaitkan dengan Islam dan isu-isu kontemporer, maka  tidak jarang menimbulkan banyak spekulasi yang bermunculan dari berbagai pihak baik dari ormas-ormas islam yang menolak keras terhadap isu-isu kontemporer tersebut, maupun ulama-ulama besar islam. 

Pemikiran yang bertolak belakang dengan islam malah menimbulkan ke-antian terhadap negeri barat itu karena dianggap bahwa istilah-istilah tersebut berasal dari tradisi-tradisi barat. 

Perkembangan islam di Indonesia memiliki mata rantai yang cukup berliku. Sementara islam di nusantara memiliki kompleksitas persoalan, dan islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak terbentur dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan. 

Dalam perkembangannya, proses reaktualisasi diharapkan dapat menjawab problematika kemasyarakatan dan sebagai manifestasi agama yang rahmatan lil ‘alamin. 

Islam  menjadi sangat dinamis sehingga dapat mengatasi masalah-masalah kontemporer  yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia misalnya Fundamentalisme Islam, Modernisme versus Konservatisme, Islam dan HAM, Ahmadiyah, dll.

Isu-isu kontemporer menjadi isu yang berkembang serta meluas setelah Perang Dingin berakhir pada era 1990-an. 

Pengertian mengenai isu-isu kontemporer terkait erat dengan isu-isu tersebut yang tidak lagi didominasi oleh hubungan Timur-Barat, seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-Leninisme dan diplomasi krisis. 

Masyarakat internasional kini dihadapkan pada isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan “Tatanan Dunia Baru” (New World Order). Isu-isu mengenai persoalan-persoalan kesejahteraan ini berhubungan dengan Human Security antara negara-negara maju (developed) dengan negara-negara berkembang (developing countries) serta masalah lingkungan.

Isu-isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin menjadi suatu “Agenda Global Baru” (New Global Agenda). 

Ancaman dalam bentuk baru ini bukan berupa “serangan militer” yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi lebih keada tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan ditujukan kepada state actor maupun individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (Human Security).

Ancaman tersebut dapat berupa tindakan terorisme atau kejahatan transnasional yang terorganisir (Transnational Organized Crime/TOC), kesejahteraan (kemiskinan), degradasi lingkungan, konflik etnis dan konflik komunal yang berdimensi internasional, hutang luar negeri, dan sebagainya. 

Berkembangnya isu-isu global merupakan akibat dari perkembangan ancaman dan berbagai persoalan kontemporer yang bersifat nonkonvensional, multidimensional, maupun transnasional tersebut. 

Meluasnya persoalan global kontemporer ini juga didorong oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dalam era globalisasi pasca Perang Dingin. 

Dengan demikian, isu-isu global kontemporer dengan sifat-sifat utamanya tersebut telah mengalami transformasi yang menggeser persepsi mengenai ancaman keamanan yang bersifat konvensional.

Berbeda dengan isu-isu global kontemporer yang berkembang setelah Perang Dingin berakhir, ancaman keamanan konvensional sebelumnya telah mendominasi isu-isu politik internasional selama era Perang Dingin dengan hanya berorientasi terhadap ancaman militer atau perluasan ideologis dari persaingan dua negara adidaya dalam sistem internasional. 

Persoalan-persoalan yang dikategorikan sebagai isu ancaman nonmiliter/nontradisional di antaranya adalah: Degradasi lingkungan, Kesejahteraan ekonomi, Organisasi kriminal transnasional, Migrasi penduduk.

Degradasi Lingkungan

Degradasi lingkungan dapat diartikan sebagai perubahan kesepakatan atau perubahan budaya manusia karena polarisasi dan akulturasinya. Buya Syafii (2022) pernah meyinggung perubahan sosial dalam aspek ruang tata lingkungan, “Manusia menjadi subjek sekaligus subjek dalam proses perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, hal ini tidak lepas dari sub epistimologis dan perpaduan pengetahuan yang masuk dan silih berganti.” 

Artinya, ada ruang kosong di dalam sebuah kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari sebuah tatanan epistimologis. Sehingga berdampak pada penentuan sikap atas kehidupan dan lingkungannya.Pendidikan islam memiliki peran dalam hal ini, di mana pendidikan islam dimaknai sebagai episentrum pengetahuan dasar nilai-nilai. 

Islam hadir sebagai jawaban atas polarisasi dan kontruksi budaya yang buntu. Contohnya, peran Wali sanga dan pendahulu islam Nusantara. Pendekatan seni, menjadi jawaban atas proses akulturasi pengetahuan dan tradisi. 

Sehingga islam sebagai nilai dan islam sebagai agama dapat diterima dengan sangat terbuka oleh masyarakat nusantara saat itu, (Agus Sunyoto, 2014). 

Sementara pendidikan islam meramu epistimolgisnya, lembaga pendidikan perlu membangun sumberdaya manusia. Sehingga akan muncul kesinambungan antara peran epistimologis dan axiologisnya. 

Karena guna dari sebuah pengetahuan akan terpaku pada bagaimana pelaku pengetahuan itu sendiri. Pendidikan islam adalah akar rumpun dari nilai yang merujuk pada kata “islam” secara kaffah.

Ud’u ila sabili rabbika bil hikmah” dalamsebuah pemahaman memiliki pengertian, bahwa untuk menuju pada ketauhidan maka dekatilah dengan pendekatan yang penuh pengetahuan, hikmah jika merujuk pada pengertian yang dibangun oleh Kyai Hasyim Asyiari dalam kitabnya adabul alim wal mutaallim, maka berarti “Ilmu yang bermanfaat”.

Pendek kata, pendidikan islam dapat menjawab arus global yang tidak akan pernah tahu pangkalnya, saking dinamisnya maka perlu ada pendekatan dinamis pula dalam menjawab persoalan global tersebut. 

Islam adalah nilai yang dinamis, islam menjadi ruang yang sangat luas untuk menuju pada sebuah pengetahuan dan cakrawala yang purna, tinggal bagaimana pendidikan islam itu dilakukan dan diajarakan.

Kesejahteraan dan Perkembangan Sosial 

Aspek mendasar yang menjadi tujuan dari pendidikan islam adalah kesejahteraan dan perkembangan sosial. Di satu sisi, pengetahuan dapat mengantarkan seseorang menuju ke dalam sebuah kondisi yang memiliki indikasi kesejahteraan. Serta menjawab perkembangan dan perjalanan kehidupan sosial di sisi yang lain.

Pendidikan islam tidak hanya bermuara pada aspek transformasi pengetahuan, tetapi juga penguatan keteguhan hati terhadap Tuhan yang Maha Esa. 

Dengan demikian, kesejahteraan dan perkembangan sosial adalah dampak dari transformasi dan penguatan keimanan yang dibangun melalui pendekatan islam baik sebagai nilai maupun sebagai bentuk pengetahuan atau aturan-aturan.

Jika pendidikan islam dapat bersinergi dan menjawab isu-isu kontemporer yang dinamis, maka dapat dipastikan pendidikan islam dapat berperan dalam menjawab persoalan-persoalan yang muncul. 

Bahkan akan berdampak pada keberlangsungan kehidupan yang disadari atau tidak, selalu beriringan dengan apa yang disebut perkembangan kontemporer.

Hal yang paling Nampak dari pendidikan islam adalah – seharunya motivasi dan kesadaran akan kepekaan sosial yang dapat memberikan ruang antisipasi terhadap sempitnya berpikir dan bersikap. 

Karena sempitnya berpikir perlu direkonstruksi dengan kesadaran-kesadaran yang mengarah kepada kepekaan dan keberpihakan, sehingga keluasan cara pandang dan cara berpikir menjadi dasar dalam pola sosial yang terus berkembang.[]