Sungguh ironis melihat kawan-kawan yang mengikuti ujian tengah semester, pagi pagi sudah datang agar tidak terlambat masuk ujian. Begitu banyak bahan pelajaran yang harus di pegang ketika UTS tersebut , dapatkah mereka memahaminya? Tidaklah mungkin sambil menunggu waktunya masuk ujian, berhamburan orang-orang di depan pintu ruang ujian sambil berpegang selembar kertas yang berisi bahan pelajaran untuk dihafal mati-matian.

Sosok UTS bagaikan momok yang sangat menakutkan, ketika bahan pelajaran yang di tangan tidak di hafalkan maka pengetahuan kita akan hilang, hal ini dapat berpengaruh pada nilai yang didapat. Orang yang dapat menghafal banyak akan mendapatkan nilai tinggi, sementara orang kurang sekali hafalanya tentunya mendapat nilai yang lebih rendah.

Hukum rimba menentukan sekali, siapa yang kuat menghafal dialah yang cepat  menjawab dan cepat keluar ruangan dan tentu mendapatkan nilai yang bagus. Beginikah hasil akhir dari proses pembelajaran di ruang-ruang kelas yang hanya menhasilkan intelektual hafalan? Sambil duduk menunggu pengawas ujian datang di ruang ujian, mantra mantra berkomat-kamit di mulut menghafal serangkaian teks –teks yang tertuang dalam kertas.

Apakah hal ini dapat di katakana sebagai pendidikan? Menurut UU No.20Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencanaa untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaraan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendaliaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketetrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat dan bangsa.

Proses pendidikan juga coba di artikan oleh bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantoro mendefinisikan bahwa pendidikan seharusnya proses untuk memanusiakan manusia yakni pembangunan kesadaran dalam diri manusia dan mengembangkan baik secara jasmani maupun rohani.

Senada dengan ini Humboldt (bapak pendidikan jerman) mengungkapkan salah satu yang terpenting bagian pendidikan adalah pengembangan jiwa manusia. pengembangan jiwa manusia inihanya dapat di lakukan dengan dua hal: yakni berpikir mendalam dan pengamatan yang jeli terhadap dunia.

Dari berbagai definisi yang di kemukan oleh para ahli sungguh sangat  ironis pendidikan kita bahkan masih jauh dari katamencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktuk dalam pembukaan undang undang dasar 1945, Sungguh sangat suram ketika mendengar maupun melihat pendidikan kita, hasil akhir ceritanyacuma mampu memproduksi manusia-manusia yang berjiwa inlander.

Jiwa- jiwa keterjajahan belum bisa dilepaskan dari cengkramaan neo-liberalisme. Pendidikan sebagai tiang Negara dan agen perubahan peradabaan. Negara hanyalah mitos masa lalu, yang ada hannyalah penindasan, pembodohan dan ketergantungan. Pendidikan di Indonesia  secara keseluruhan masih berfokus pada pengetahuan hafaalan dan berorientasi pada nilai. Semua hal dapat di ukur berdasarkan ukuran tersebut. Jika peserta didik tidak dapat menghafal apa yang di ajarkan dosen makaia akan mendapatkan nilai  jelek.

Di lingkungan sekolah (formal), peserta didik dibimbing untuk memperluas bekal yang telah diperoleh dari lingkungan kerja keluarganya berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Bekal yang dimaksud berupa bekal dasar, bekal lanjutan, ataupun bekal kerja yang dapat digunakan secara aplikatif (SMK).

Selanjutnya, di lingkungan masyarakat, peserta didik memperoleh bekal praktis untuk berbagai jenis pekerjaan, khususnya mereka yang sempat memperoleh pendidikan formal. Sistem pendidikan nonformal mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga berkaitan erat dengan semakin berkembangnya sektor swasta yang menunjang pembangunan. Di samping itu, juga dapat memperbesar jumlah angkatan kerja .

Permasalahan aktual pendidikan di Indonesia sebagai berikut. (1) Masalah keutuhan mencapai sasaran. Pendidikan selalu menghadapi masalah karena selalu terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan hasil yang dicapai dari proses pendidikan. Permasalahan aktual tersebut berupa kesenjangan yang pada saat ini kita hadapi dan mendesak untuk ditanggulangi.

Berikut permasalahan yang dihadapi, yaitu beban kurikulum sudah terlalu sarat, pendidikan afektif sulit diprogramkan secara ekspilisit, pencapaian hasil pendidikan afektif memakan waktu sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaaran pendidik, dan menilai hasil pendidikan tidak mudah. (2) Masalah Kurikulum. Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaan.

Permasalahan tersebut meliputi pemilihan materi muatan lokal yang tepat, penyusunan program, koordinasi pelaksanaan, dan penyediaan sarana, prasarana, fasilitas, dan biaya. (3) Masalah Peranan Guru. Tugas guru memberikan ilmu dan memberikan cerminan humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Dalam realisasinya dipandu oleh kurikulum yang selalu disempurnakan. Guru sebagai sumber belajar dan sebagai pusat bertanya.

Guru dituntut untuk memiliki wawasan dan kemampuan yang cukup untuk melaksanakan multiperan tersebut. Namun, (4) Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun. Permasalahan pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun dapat berupa: realisasi pendidikan dasar yang diatur dengan PP No. 28 tahun 1989, kurikulum yang belum siap, dan pada masa transisi para pelaksana pendidikan di lapangan perlu disiapkan melalui bimbingan, penyuluhan, penataran, dll.

Pendidikan yang harapanya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan dapat menciptakaan intelektual organik malah membuat pembodohan terhadap kehidupan bangsa dan menciptakan intelektual robotik, ini yang di kritik Paulo Freire dalam karyanya “pedagogia do oprimido” (1970) serta buku yang membuatnya termashur “pedagogy of the oppressed” yang terbit tahun 1972, Freire membongkar  watak pasif dari pendidikan tradisional yang melanda  dunia pendidikan.

Pendidikan pasif sebagaimana dipraktekan pada umumnya pada dasarnya adalah melanggengkan sistem relasi “penindasan” Freire mengejek  system dan praktek pendidikan yang menindas tersebut,yang disebutnya sebagai pendidikan “Gaya Bank” di mana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi semenara murid dijejali informasi untuk di simpan.

Freire menyusun daftar antagonism pendidikan gaya bank itu sebagai berikut 1 guru mengajar, murid belajar 2 guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa apa 3 guru berpikir, murd dipikirkan dll.karena itu pendidikan gaya bank hanya  menguntungkan kaum penindas dalam melestarikann penindasan terhadap sesamanya.

Paulo Freire mencoba menawarkan solusi penddikan alternative menggantikan pendidikan “gaya bank” yang menguntungkan penindas dalam melestarikan kaum penindas  yaitu dengan pendidikaan Hadap masalah dimana konsep Freire menjadikan manusia sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap masalah , manusia tidak mengada secara terpisah  dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam  dunia dan bersama sama dengan realitas dunia.

Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian di dasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskann diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik, kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilakan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.

Realitas internal pendidikan kita di Indonesia arah dan subtansi susah ditebak arahnya mau ke mana, setiap pergantian tongkat kepemimpinana pasti memiliki kebijakan yang berbeda pula guru, murid dan orang tua merasa bingung kurikulum di experimen kan setiap tahunya demi mendapatkan hasil yang di inginkan oleh pemerintah.

Mestinya harus ada tititk tolak yang jelas dalam menentukan standar dalam menentukan kebijakan kan dan kembali ke pembukaan undang undang bahwa tujuan pendidikan kita itu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memiliki karakter, jangan sampai pendidikan kita di Indonesia hanya menjadi permainana elite demi mengeruk keuntungan semata dan hanya menjadi komersil.

Perbaikan sistem  pendidikan kita dimulai dengan perbaikan struktur pendidikan kita yang carut marut dan seringnya pergantian kurikulum yang menyebabkan guru dan anak didik bingung dengan adanya kebijakan yang berbeda, setiap pergantian memiliki implikasi yang sangat besar terhadap metode serta bahan mengajar kepada peserta anak didik jangan sampai sistem coba coba ini menjadi ajang cari muka yang efeknya negatif.