“Rengganis, gadis manis sepertimu adalah rumput segar bagi domba-domba yang rakus.” Perkataan itu masih diingat betul oleh gadis yang bernama Rengganis itu. Kini, ia adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi yang terkenal di suatu kota besar.
Barangkali hal itu wajar ia peroleh, sebab Rengganis gadis cerdas yang manis. Senyumnya seperti awan jingga di sore hari. Cerah dan sejuk dipandang. Namun, siapa sangka bahwa Rengganis telah menikah, dan ia telah menjadi istri orang. Orang-orang di desa dan termasuk keluarganya pun bahkan tak tahu.
Gadis yang mereka besarkan dengan cinta dan peluh keringat telah menikah. Menikah dengan seseorang yang bahkan tak dikenal oleh keluarganya. Karena Rengganis menikah tanpa ada satupun anggota keluarganya yang mengetahuinya.
Tetapi, sebelum Rengganis menikah, ia adalah gadis yang berasal dari desa, dan seorang gadis desa yang berani keluar ke kota, akan mengalami tiga fase yang berkelanjutan. Pertama-tama, ia akan ditipu, kedua, ia tetap ditipu, dan ketiga, ia akan mulai sadar, bahwa selama ini ia tak sadar bahwa telah tertipu.
Pada awalnya, tujuan Rengganis untuk berkuliah jauh dari rumah adalah untuk lari dari kenyataan bahwa gadis yang baru saja lulus dari SMA sepertinya di desa, akan diberi dua pilihan oleh orang tuanya, yakni menikah atau bekerja. Akan tetapi, Rengganis berbeda, ia enggan terhadap pilihan itu. Ia ingin belajar, belajar, dan belajar, hanya itu.
Rengganis, memang suka belajar dan tersenyum. Namun, setelah ia lulus dari SMA, bibirnya jarang digunakan untuk tersenyum. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk protes terhadap perjodohannya dengan seorang lelaki bernama Qirun, seorang lelaki yang bekerja sebagai pamong desa karena bapaknya Qirun adalah seorang lurah.
Dan satu hal yang membanggakan dari pemuda seperti Qirun adalah ia seorang penjudi sabung ayam yang terkenal. Barangkali ayamnya yang seringkali menang pertarungan demi pertarungan, ayamnya lebih dipuja daripada ayam goreng restoran yang paling enak sekalipun.
Setelah Rengganis mengetahui pengumuman yang menyebalkan itu, dengan rayuan mautnya yang ia pelajari dari sinetron favoritnya. Rengganis bergegas menemui Qirun, meminta izin untuk berkuliah di kota besar, dan menikah setelah wisuda.
Qirun pun menyetujui hal itu, dengan sebuah syarat yang brengsek. Rengganis harus mengecup pipinya yang kasar penuh jerawat itu. “Apa boleh buat, hanya satu ciuman, daripada menciuminya seumur hidup.” Pikir Rengganis.
Dengan bekal seadanya, dan satu bibir yang mengenang trauma, Rengganis berangkat ke kota, berkuliah. Mengenyam bangku perkuliahan, bagi sebagian besar masyarakat desa merupakan sebuah mukjizat yang takkan datang dua kali.
Hal itu serupa harapan yang berupa angin segar di pagi hari yang tak mungkin untuk dilewatkan. Dengan langkah kaki yang masih malu-malu, yang telah terpijak di halaman universitas yang konon telah melahirkan orang-orang hebat, yang kini telah duduk di kursi-kursi gedung-gedung di Senayan.
Pertemuan itu, berada dalam ruangan kelas perkuliahan. Seorang laki-laki paruh baya, dosen senior, yang terkenal ramah dan baik hati, bernama Rendi. Orang-orang disana sangat menghormati pak Rendi, seperti seorang bapak, yang seringkali memberikan wejangan bagi yang membutuhkan.
Termasuk Rengganis, yang saat itu mengalami kampung halamannya mengalami masa paceklik. Lebih tepatnya persawahan yang dimiliki oleh keluarganya. Air hujan yang semula berupa rahmat Tuhan, berubah menjadi malapetaka, akibat aliran sungai-sungai terkontaminasi dengan sampah dan limbah.
Berulangkali memang, manusia menciptakan bencananya sendiri, akibat keserakahan yang tak terkelola. Dengan wajah sedih dan polos, Rengganis menemui pak Rendi, berharap mendapat jawaban atas permasalahan.
Rengganis, ia terancam tak dapat lanjut kuliah, tak dapat hidup di perkotaan. Baginya, solusinya hanya satu, yakni uang. Pak Rendi pun mengerti, memahami kondisi yang sedang dialami oleh Rengganis. Dan ia mempunyai satu solusi jitu.
Seperti pria-pria lain di luar sana, dengan memandang wajah ayu dan tubuh lugu yang dimiliki oleh Rengganis, pak Rendi bagai serigala lapar yang sedang berpapasan dengan domba tanpa penggembala.
Dengan mata yang berbinar-binar, serta otak yang cemerlang. Pak Rendi memberi penawaran kepada Rengganis, bahwa ia akan lanjut kuliah, serta hidup di perkotaan, dengan menjadi istri keduanya, menikah secara siri.
Lalu, dengan pertimbangan yang cukup rumit, Rengganis menerima penawaran menjijikkan tersebut. Segala kebutuhan Rengganis disediakan dengan baik-baik oleh pak Rendi, asal Rengganis menjaga rahasia ini dengan sunyi.
Rengganis, gadis yang ingin berkembang tanpa kekuatan. Terseok-seok dalam kota, sendirian tanpa teman. Kegelisahan pun kerap kali ia bawa tidur, lantas terbangun dengan derita bahwa ia tak sekedar mahasiswi, ia juga adalah seorang istri yang dinikahi secara siri, oleh dosennya sendiri.
Dan pada akhirnya, Rengganis sadar bahwa kehidupan memberi beberapa pilihan. Namun, beberapa pilihan yang datang menghampiri, kadang kala tak sesuai dengan ekspektasi. Pun, bagaimanapun juga, pilihan itu wajib diterima dengan lapang dada.