Nama Iqbal Aji Daryono atau sering disebut Mas Iqbal memang tidak terlalu dikenal oleh banyak orang. Tetapi, bagi sebagian orang yang menyukai dengan dunia menulis atau membaca, Mas Iqbal tentu menjadi nama yang familiar. 

Bukan tanpa alasan. Soalnya ia merupakan sosok yang aktif dalam menulis buku maupun di media daring seperti: Detik, Mojok, Jawa Pos. Umumnya tulisan Mas Iqbal bergenre esai. 

Saya sendiri mengenal sosok Mas Iqbal baru bulan kemarin, jadi kalau dihitung-hitung kurang lebih 1 bulan. Awal mula saya mengenalnya, berawal dari keinginan saya untuk memperdalam dunia menulis. Tetapi, di tengah pandemi seperti ini, mana ada orang yang mau membuka kelas menulis.

Akhirnya saya iseng-iseng untuk membuka Instagram, siapa tahu ada informasi mengenai kelas menulis secara daring. Ya, meskipun sedikit tidak yakin bisa menemukannya.

Namun, sepertinya tuhan mendengarkan keinginan hati saya. Tanpa memerlukan waktu panjang, tiba-tiba saja feed Instagram memunculkan program menulis online.

Karena tertarik dengan kelas menulis online, tentu saja saya coba membuka feed tersebut. Di poster tertulis kelas menulis akan diajarkan oleh Iqbal Aji Daryono. Meskipun dalam hati, bertanya-tanya siapa sih orang itu? Tanpa berpikir panjang, saya coba chat admin kelas menulis online tersebut melalui WhatsApp.

Setelah saya chat, si admin malah menanyakan ke pada saya, “Apakah kakak mengenal Iqbal Aji Daryono sebelumnya?” Lalu saya jawab, “Hanya tahu sedikit, kak, ia merupakan penulis buku.”

Setelahnya, si admin menjawab dengan panjang lebar. Bahwa sosok Mas Iqbal merupakan penulis buku yang salah satu judul bukunya adalah Out of the Truck Box dan juga kolumnis diDetik. Jadi tanpa berpikir panjang saya mengikuti program menulis itu. Sebab, tertarik dengan profil dari sosok Mas Iqbal yang sudah dipaparkan.

Sebelumnya, saya berpikiran kelas menulis akan berjalan sedikit tegang. Alasannya adalah saya memiliki sugesti, jika penulis terkenal pasti nanti akan: galak, sombong, bahkan bersikap semaunya saja.

Akan tetapi sugesti saya ini hanyalah prasangka yang keliru. Soalnya Mas Iqbal merupakan penulis yang bisa dikatakan tidak bersikap seperti apa yang sudah dipikirkan saya sebelumnya. 

Bagi saya, Mas Iqbal merupakan guru yang mau bersikap rendah hati. Meskipun karya-karyanya sudah bertebaran di berbagai media. Bahkan bukunya banyak laku terjual.

Bahkan bisa dikatakan ia bukan seperti guru, melainkan teman. Iya, teman yang mau untuk saling berbagi ilmunya demi kebaikan. Jadi, tidak ada rasa sungkan untuk saling diskusi tentang dunia menulis.

Bisa jadi metode yang dipakai oleh Mas Iqbal merupakan metode belajar secara rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif sendiri menekankan pada proses interaksi secara seimbang. Artinya, tidak ada yang menjadi penguasa dan yang dikuasai.

Adanya proses pembelajaran secara rasionalitas komunikatif akan membuka terjadinya proses diskursus di dalamnya. Yang di mana kondisi diskursus akan berlangsung secara dinamis dengan tidak adanya pihak yang merasa berkuasa.

Kondisi pembelajaran secara komunikatif merupakan salah satu tanda jika memiliki kesadaran arti kemanusiaan; yang di mana setiap orang dilahirkan dengan kelebihannya sendiri. Keadaan semacam itu ditunjukkan oleh Mas Iqbal saat sesi koreksi penugasan berlangsung.

Ia menggunakan bahasa yang tidak menjatuhkan peserta, soalnya sadar bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Bahkan tidak ada rasa pelit untuk memberikan ilmu-ilmu baru semacam: teknik menyusun kalimat, membuat judul, atau bahkan berbagi cerita mengenai media daring. 

Sebenarnya keberadaan guru di sekolah yang bisa bersifat humanis dengan cara menerapkan pembelajaran secara rasionalitas komunikatif bisa dikatakan sulit ditemukan. Meskipun sudah menerapkan kurikulum 2013, nyatanya masih ada saja guru yang berasumsi memiliki kekuasaan di kelas. Sehingga, bisa ditebak kondisi di kelas hanya menempatkan guru yang memiliki segalanya. 

Bukankah guru dan murid pada esensialnya sama saja, sama-sama memiliki kekurangan? Jadi tidak mengherankan apabila Soe Hok Gie pernah mengatakan, ”Guru bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau.”

Bukan hanya itu, Mas Iqbal juga tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang guru. Hal ini terlihat ketika ada salah satu peserta kelas menulis meminta untuk mengoreksi tentang kekurangannya saat menulis, dan saat itu Mas Iqbal sedang ada acara di luar.

Tanpa disangka-sangka ia mengatakan, “Nanti jika sudah sampai di rumah akan saya koreksi, dan ini sudah menjadi tanggung jawab saya.” Cuplikan singkat itu menunjukkan jika Mas Iqbal memiliki etos kerja yang baik. Bukan sekadar ingat dengan haknya, yaitu “bayaran”, tetapi juga sadar dengan kewajibannya.

Ini bisa menjadi tamparan keras bahwa setinggi apa pun ilmu dan pangkat yang dimiliki oleh seseorang, jika etos kerja tidak baik, akan menjadi manusia yang tidak akan dihormati oleh orang lain.

Dan pada kenyataannya masih terdapat orang-orang bekerja hanya memikirkan haknya saja. Sedangkan kewajibannya acuh tak acuh untuk dikerjakannya secara baik. Apabila hal seperti ini dibiarkan, bisa menjadi bumerang bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan bagi orang banyak atau bahkan kehidupan negara.

Karena, orang yang lupa mengenai kewajibannya akan merusak faktor lainnya. Seperti, manajer perusahaan yang lupa kewajibannya akan membuat perusahaannya rugi bahkan bangkrut.

Dari Mas Iqbal kita menyadari untuk menjadi manusia, harus memahami tentang nilai kemanusiaan secara utuh. Agar menjadi manusia yang saling menyayangi, tanpa harus saling mengintimidasi. Sehingga bisa sadar akan fungsinya menjalani kehidupan di dunia ini.