Mungkin kalian pernah mendengar cerita Sunan Kalijogo yang bisa menempuh perjalanan lewat air. Atau Spiderman dengan kelincahannya merayap di dinding gedung-gedung raksasa kota. Atau traveler yang sempat diundang di acara ‘Hitam Putih’ gara-gara hobi nekadnya mengelilingi benua dengan sepeda ontelnya.

Sayangnya yang kusorot kali ini bukan mereka. Sebab, dia bukan traveler (meskipun mengaku suka traveling). Dia seorang perempuan. Berjilbab. Polos sekali orangnya. Pintar berdebat (ssst, karena referensi bacaannya banyak). Sering jadi langganan korban bully-an di kelas. Booming lewat ekspedisinya belajar menggambar alis dan bibir seksi. Dan tentunya masih Jomblo.

Tahu mengapa kata terakhir aku bold plus underline? Karena aku terkekeh setengah minggat mendengar kisah percintaan pertamanya, yang lolos membuatnya betah menjomblo hingga sekarang. Mungkin tak perlu kubeberkan di sini kisah percintaannya. Jika nekad kubeberkan, kelak aku akan dia timpuk habis-habisan dengan batang pensil alis dan bibir seksinya. Hahaha..

Namanya Nuryanti, satu kata saja. Singkat, padat, dan nggak jelas, seperti pemiliknya. Bahasanya medok, asli Madiun. Meski katrok (nulisnya sambil melet) tapi dia memiliki aura menyenangkan dan bersahabat. Kami menyukainya, sangat sangat dan sangat menyukainya. Bahkan jika diijinkan, akan kupeluk dia setiap hari sebagai perwujudan rasa sukaku. 

Mengapa aku tertarik mengulas perempuan pemilik sapaan Putri Alis ini? Karena aku belajar dari kegigihan dan semangatnya yang teramat luar biasa. Terutama mendengar pengalamannya menempuh perjalanan Solo-Madiun dengan menggunakan sepeda ontel.

Perempuan, sendirian, dan berhasil sampai tujuan dalam dua hari satu malam. Bisa kalian bayangkan, mengapa di zaman serba modern ini ada anak kuliahan sekurang kerjaan seperti dia? #thinkagain.

Dengan bawaan seadanya, dimulailah perjalanan mendebarkan untuk kali pertama dalam hidupnya itu. Jalan raya dengan segenap hiruk pikuknya dia terjang. Sepeda ontel berwarna biru tua jadi kawan. Sendirian, tak ada sandingan. Seperti statusnya, lajang. Aihh..

Cerita ekspedisi nekadnya ini seolah menantang adrenalinku, yang notabene suka traveling. Meski aku pernah tidur di emperan satu toko ke toko yang lain saat backpacker-an, tapi tetap saja masih bawa teman. Sedang Nuryanti, nggak malu-malu menempuh perjalanan sendirian.

Takut, ada sih katanya, sedikit. Wajar kan perempuan punya rasa takut, perjalanan jauh dengan melewati jalur yang belum tentu aman, menimbulkan perasaan was-was. 

Jalan yang dilewati juga penuh tantangan. Mulai dari jalanan terang dan ramai, jalanan remang-remang, jalanan gelap dan bertepian hutan, sampai pada pemukiman yang tak dia kenal. Sudah pasti banyak menimbulkan kengerian dan beban batin selama perjalanan. Sekali lagi, karena ini dialami oleh seorang mahasiswi nekad.

Kontan saja pertanyaan "bagaimana" banyak bermunculan. Bagaimana kalau ada penjahat, bagaimana kalau ada pencopet, bagaimana kalau ada begal, bagaimana kalau ada cowok PHP nyasar, mengikutiku kemudian meninggalkanku ? Welaah, terakhirnya pertanyaan drama nggeh!

Lelah menempuh perjalanan seharian, Nuryanti mampir di sebuah masjid dekat kompleks perumahan Prandon, Ngawi. Melepas lelah di malam hari, beristirahat dan memutuskan untuk tidur saja di masjid itu. Tahu kalau yang lelah tak cuma dia, sepeda ontelnya pun merasakan lelah seandainya diijinkan buat ngomong.

Aku tak mampu membayangkan dia makan apa, bagaimana perasaannya, siapa yang diandalkannya, dan sampai di sini, aku semakin mengaguminya. Mungkin juga akibat bermalam di masjid agung tadi membuat Tuhan berbaik hati menjaganya hingga berhasil sampai di rumah esok harinya. Kalau kata salah satu sahabatku, inilah perjalanan yang sangat warbasyak!

Kondisi keluarga Nuryanti hampir sama sepertiku. Sederhana saja, tak kurang dan tak lebih. Kami juga sama-sama mahasiswa bidikmisi di kampus. Senangku berteman dengannya karena dia selalu apa adanya, tak malu-malu dengan latar belakang keluarganya. Tak malu dengan status ke-bidikmisi-annya.

Ia juga tak malu dengan kesederhanaan dan ke-ndeso-annya. Itu yang jadi nilai lebih. Bahkan, terkadang kuakui, justru aku yang jauh lebih amburadul dan ndeso darinya. Meski begitu inilah aku, dan dengan seperti inilah aku tetap nyaman menjalani rutinitasku di kampus.

Aku tak peduli ketika para dosen menertawai ke-ndeso-anku karena tak betah berlama-lama di ruangan ber-AC tiap mengunjungi ruang prodi atau ruang-ruang lainnya. Aku tak peduli dengan ocehan sebagian kawan akibat kebiasaanku ngampus mengenakan baju yang sama dan baru ganti setiap dua hari sekali.

Aku tak peduli dengan style berpakaianku yang serampangan dan tanpa make up seperti mahasiswi lainnya. Aku tak peduli dengan seliweran mahasiswa yang kemana-mana naik kendaraan ketimbang jalan kaki sepertiku. Aku juga tak peduli dengan sepatuku yang bahkan tanpa sadar sudah berventilasi (baca: robek, bolong) dan sempat diprotes Nuryanti.

Bagiku dan mungkin bagi sebagian mahasiswa lain, kuliah tak berkorelasi dengan penampilan. Asalkan nutup badan dan nyaman, itu saja yang harus dipertahankan (inget sabda mbah Gus Dur, ‘Gitu Aja Kok Repot’).

Tak perlu muluk-muluk. Otak kita sebagai mahasiswa saja yang harus diluruskan dan diurus. Meski kuakui penampilan modis meningkatkan pasaran, namun belum tentu menjanjikan kenyamanan. Justru yang sederhana jauh lebih menawan dan menenangkan.

Kemana-mana tak direpotkan urusan dandanan, make up yang ketinggalan, sampai high heels yang ketinggian atau malah kerendahan. Itulah semangat berjuang. Aku belajar banyak dari si pejuang, Nuryanti. Ingat juga kekata Tere Liye: “Kesederhanaan adalah kecantikan yang tidak banyak tingkah.”

Meski belum kurasakan beratnya menempuh perjalanan Solo-Madiun dengan sepeda ontel, setidaknya sudah kurasakan nikmatnya menempuh kost-kampus dengan berjalan kaki. Sebab, di kampus aku banyak menjumpai sesama mahasiswa yang tak lengkap fisiknya, maaf, dalam artian memiliki kekurangan namun semangatnya untuk mengecap bangku kuliah teramat besar.

Beruntung kita yang mampu memiliki kendaraan karena ada yang masih berjalan kaki. Beruntung kita yang mampu menikmati sehatnya berjalan kaki karena ada yang tak lengkap kedua kakinya namun bersemangat sekali menaiki tangga hingga sampai di lantai tiga dengan alat bantu berdirinya. (Ini kisah nyata, pernah jadi salah satu narasumber untuk bahan penelitian kajian etnografi.)

Masih banyak keberbalikan nasib di sekitar kita yang bisa membuka mata hati kita. Semoga kita menjadi hamba Tuhan yang semakin giat memperbanyak syukur dan lebih arif, mau belajar banyak hal dari berbagai sisi kehidupan.