Beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi meresmikan jalan tol Manado-Bitung ruas Manado-Danawudu yang panjangnya 26 Km. Jalan tol Manado-Danawudu ini adalah bagian dari tol Manado-Bitung yang panjangnya 40 Km, yang kelak merupakan tol terpanjang di Pulau Sulawesi.
Membaca berita itu, saya langsung mengerutkan dahi. Bayangkan saja, pulau seluas Sulawesi baru memliliki tol, dan hanya dengan panjang 40 km. Begitulah perbandingan insfrasruktur yang ada di Pulau Jawa dangan Pulau lainnya. Bagai langit dan bumi, kesenjangan insfrastruktur jalan yang terjadi selama ini.
Kesenjangan itu juga pernah saya rasakan ketika perjalanan pulang kampung halaman. Tahun 2004, saat bencana Tsunami menerjang wilayah Aceh, tanah kelahiran saya, saya bersama keluarga yang hidup di Jawa sejak saya masih kecil, harus pulang untuk menjenguk sanak saudara yang terkena bencana.
Pada saat itu, saya sekeluarga pulang melalui jalur darat alias bus. Yah, mana mampu kami membeli tiket pesawat yang harganya selangit. Lagipula saya ingin merasakan sensasi menyusuri Pulau Sumatera dari ujung timur sampai ujung barat. Perlu diketahui, Aceh itu letaknya di ujung paling barat Pulau Sumatera, jadi kami akan melewati hampir semua kota di Pulau Pumatera.
Bagi saya yang diajak merantau orang tua sejak kelas 2 SD, hal ini merupakan pengalaman yang langka. Tahun 2004 saat itu usia saya 19 tahun, dan baru pertama kali diajak pulang ke Aceh. Membayangkan suasana di sana saja, bagai mimpi.
Berangkatlah kami dengan Armada Bus PM Toh kelas ekonomi Solo-Bireuen. Pada saat itu saya sempat heran, kenapa tidak ada bus jalur itu dengan kelas eksekutif. Rute perjalanan untuk Pulau Sumatera kebanyakan hanya ada kelas ekonomi.
Setelah menyeberang Selat Sunda yang menghubungkan Merak dan Bakauheni sampailah kami di Lampung, Propinsi paling timur di Pulau Sumatera. Jalan di Kota Lampung lumayan bagus. Sepertinya keinginan saya menikmati perjalanan yang indah di Pulau Sumatera segera terwujud.
Akan tetapi, keluar dari Kota Lampung, seketika itu hamparan jalan rusak yang kami temui. “Bagaikan jalan di neraka saja”, kata saya dalam hati. Keinginan menikmati panorama indah itu sepertinya akan sia-sia. Hal ini membuat saya lupa perjalanan sebelumnya dari Solo sampai Jakarta terasa bagaikan surga, hampir tidak ada sama sekali jalan yang rusak.
Dan ketika itu juga, pertanyaan saya tadi terjawab. Ternyata hampir semua jalan protokol utama di Pulau Sumatera rusak, hanya di perkotaan saja jalannya bagus. Armada bus pasti berpikir panjang untuk menerjunkan kelas eksekutif busnya di rute itu.
Dalam perjalanan, saya melihat pemandangan yang selama ini tidak saya lihat. Kesenjangan pembangunan yang sangat luar biasa, terutama akses jalan.
Pada saat itu saya berpikir, mbok ya sekali-sekali Presiden lewat jalan sini, biar tahu bagaimana keadaan rakyatnya di bawah, Kemana-mana naik pesawat, kapan bisa tahu kondisi riil rakyatnya.
Pada waktu itu saya merasa apa yang dilakukan oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) ada benarnya. Bagaimana mereka tidak memberontak ketika melihat perbedaan yang sangat mencolok antara Julau Jawa dengan pulau lainnya. Pembangunan tidak merata sama sekali.
Terlepas dari siapa saja yang memerintah, saya rasa pemerataan pembangunan jalan memang perlu diprioritaskan. Karena jalan adalah sarana penting pengembangan ekonomi rakyat.
Pembangunan insfrastruktur jalan dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, karena merupakan salah satu kebutuhan vital yang harus dipenuhi. Jalan merupakan salah satu sarana transportasi yang sangat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat.
Saya termasuk orang yang mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi di bidang pembangunan insfrastruktur. Saya perhatikan pembangunan insfrasrtuktur berupa jalan mulai gencar di pulau-pulau lain selain Jawa. Mungkin dia mendengar kata hati saya, yang menginginkan seorang pemimpin yang melihat langsung kondisi riil rakyatnya di bawah secara menyeluruh.
Dahlan Iskan yang beberapa waktu lalu sempat menjajal jalan Tol Trans Jawa menuliskan pengalamannya. Dalan tulisannya di laman DI’s Way, dia memberikan apresiasi kepada Presiden-Presiden yang berjasa dalam pembangunan jalan tersebut. Dengan pandangan objektifnya, tentu sudah bisa kita tebak, Presiden Jokowi lah yang paling sering disebut.
Sudah ada jalan tol di Sumatera, Kalimantan dan pulau lainnya. Begitu juga dengan pembangunan jalan di pedesaan berkat adanya dana desa.
Di desa tempat tinggal saya saja tahun 2019 kemarin mendapat dana desa sebesar 1,6 M, yang merupakan jumlah tertinggi se-kabupaten saat itu. Dana sebesar itu sebagian besar digunakan untuk pembangunan jalan-jalan yang rusak. Sekarang, jarang sekali kita melihat jalan yang jelek di daerah pedesaan.
Popularitas seorang pemimpin terangkat dengan adanya pembangunan jalan. Lihat saja bagaimana melejitnya nama Jokowi saat pembangunan jalan selesai. Isu kencang “cuma pintar nambah hutang negara”, hanya berhembus pada awal pembangunan saja. Setelah rakyat merasakan manfaat jalan, isu tersebut lambat laun menghilang ditelan masa.
Hal seperti itu juga saya lihat dan rasakan pada kepemimpinan bupati di daerah saya, Kabupaten Sragen. Dulu, saat Sragen di pimpin oleh Untung Wiyono, setelah terpilih sebagai Bupati, beliau langsung melaksanakan program pembangunan jalan di segala penjuru desa.
Hal tersebut mendapat apresiasi yang sangat besar dari masyarakat. Buktinya, beliau dengan mudah melenggang di periode ke-2. Bahkan kinerja beliau dalam membangun jalan di periode pertama tersebut, masih menjadi buah bibir sampai sekarang. Hingga kini, masyarakat masih mengelu-elukan sosok pemimpin yang memikirkan akses jalan bagi rakyatnya.
Pemimpin daerah yang akan ikut dalam PILKADA pada 9 Desember 2020 harusnya memperhatikan betul pengaruh pembangunan insfratruktur jalan terhadap elektabilitasnya. Lebih-lebih Petahana yang ingin maju kembali.
Jangan remehkan peran insfrastruktur jalan untuk menaikkan popularitas. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa jalan memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan popularitas seorang pemimpin. Mulai dari kalangan elit sampai masyarakat awam akan memberikan apresiasi terhadap pemimpin itu.
Kenapa pembangunan jalan memberi dampak popularitas bagi seorang pemimpin? Karena sarana tersebut langsung dirasakan oleh masyarakat. Pemimpin harus bisa mendahulukan kepentingan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan ekonomi mereka.
Jalan merupakan akses penting dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Pemerataan insfrastruktur jalan adalah hal yang harus diprioritaskan negara di seluruh wilayah Indonesia. Itu salah satu hal yang dapat membuktikan bahwa seorang pemimpin memang melaksanakan landasan Pancasila yang berkeadilan sosial. Dan yang jelas, dia pasti populer.