Selama ini industri pertambangan erat dengan pekerjaan yang bergaji fantastis. Hal tersebut bukanlah hal yang muluk-muluk, pendapatan pekerja pertambangan hampir puluhan juta perbulan. Dilansir dari sudutenergi.com, gaji pekerja tambang freshgraduate mencapai 10-40 juta, sedangkan untuk pekerja tambang senior bisa mencapai 150-300 juta perbulan.

Perkembangan Industri Pertambangan Indonesia

Industri pertambangan bisa sangat berkembang karena kebutuhan akan bahan mineral untuk kehidupan manusia terus meningkat. Hal ini sejalan dengan berkembangnya populasi manusia dan perubahan pola kehidupan yang makin berorientasi ke teknologi. Akibatnya peningkatan permintaan pasokan bahan mineral harus diantisipasi, tak terkecuali di Indonesia.

Dunia pertambangan Indonesia menghasilkan Minyak Bumi, Gas Alam, Batubara, Emas, Timah, Tembaga, hingga Nikel. Menurut Dekan FEB UGM, Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D. , Indonesia merupakan negara yang kaya hasil tambang. Namun, ia berpendapat bahwa masih banyak kekayaan alam Indonesia yang masih belum di explore.

kini, hasil pertambangan yang sedang digandrungi adalah Nikel dan Batubara. Berkembangnya industri mobil listrik membuat nikel sangat dibutuhkan sebagai bahan untuk membuat baterai mobil. Pada tahun 2021, Indonesia telah menjadi negara produsen nikel terbesar didunia dan hal tersebut memicu eksploitasi tambang nikel diberbagai daerah di Indonesia.

Sedangkan, Batubara sangat dibutuhkan oleh PLTU sebagai bahan baku pembangkit listrik. Selain itu, batu bara masih merupakan sumber energi paling efisien di Indonesia. Untuk menjaga supaya tarif listrik tetap terjangkau oleh masyarakat, pemerintah sangat bergantung pada batu bara.

Merusak Lingkungan Hidup

Dibalik seksinya industri pertambangan Indonesia, ternyata memunculkan masalah besar, yaitu aspek lingkungan hidup. Berbagai LSM di Indonesia telah mengabarkan dampak buruk industri pertambangan Indonesia yang hanya merusak lingkungan hidup.

Isu lingkungan semakin mendapat perhatian. Apalagi dengan adanya Paris Agreement yang mendorong pengurangan emisi karbon. Kini, berita tentang kerusakan lingkungan akibat industri tambang sering kita lihat di berbagai media.

Menjelang pemilu 2019, masyarakat Indonesia sempat dihebohkan dengan kemunculan video dokumenter “sexy killer”. Dokumenter tersebut memperlihatkan dampak nyata kerusakan lingkungan karena pertambangan batubara dan PLTU. Mulai dari lubang-lubang galian bekas tambang yang tak direklamasi sehingga menimbulkan korban jiwa, air dan udara yang tercemar, hingga konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang.

Tak hanya industri pertambangan batubara yang merusak lingkungan, industri pertambangan nikel pun juga ikut merusak lingkungan. Salah satu tempat yang sangat terdampak aktifitas pertambangan nikel adalah masyarakat di Halmahera, Maluku Utara. Limbah PT Alam Raya Abadi (ARA), PT Makmur Jaya Lestari (MJL), dan Haltim Mining seringkali mencemari masyarakat sekitar.

Sahil Abubakar, pemuda setempat, menuturkan aktivitas PT Haltim Mining kerap merugikan: ada lahan milik warga yang hilang, hutan di perbukitan yang gundul, hingga cekdam milik perusahaan berdekatan dengan sumber air bersih yang dikonsumsi warga.

Padahal, penampungan air itu kerap digunakan untuk kebutuhan primer warga, yaitu dikonsumsi. Alhasil, saat ini banyak warga yang mengandalkan air galon isi ulang. “Jadi ini berdampak banget secara ekonomi dan kesehatan karena orang harus keluar uang lagi, harus beli air isi ulang,” ujarnya.

PT Haltim Mining juga membohongi masyarakat yang katanya akan melakukan reboisasi. Tapi sampai saat ini nyatanya mereka enggak melakukan,” kata Sahil.

Belum lama ini masyarakat Indonesia juga dihebohkan dengan polemik tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. PT Tambang Mas Sangihe (TMS) berencana melakukan penambangan emas seluas 42.000 ha, atau sekitar 57% dari luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya 73.689 ha.

Meninggalnya Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontang yang menolak izin tambang emas di Sangihe membuat rencana penambangan emas tersebut viral di tengah masyarakat tanah air. Hal tersebuat memicu gelombang penolakan dari kalangan masyarakat dan LSM.

Penolakan warga Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara terhadap izin operasi tambang emas dari PT Tambang Mas Sangihe (TMS) karena khawatir akan kerusakan lingkungan. Warga menyebut terjadi kejanggalan ihwal keberadaan perusahaan itu di tanah mereka.

Rafia Paususeke, warga Kampung Lesabe, mengatakan penolakan warga dimulai saat menilai adanya kejanggalan waktu sosialisasi PT TMS. Saat itu, perusahaan sudah mematok harga tanah mereka sebesar Rp 5 ribu per meter.

Rafia yang juga memiliki lahan di Kampung Bowone mengatakan tak tahu menahu soal keberadaan izin itu. Padahal, seharusnya izin usaha pertambangan (IUP) dikeluarkan setelah analisis dampak lingkungan (Amdal) dikeluarkan.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kepulangan Sangihe pun telah masuk ke dalam daerah rawan bencana. Eksploitasi lingkungan ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi alam di sana.

Dampak UU Minerba

Masifnya pertambangan diberbagai wilayah Indonesia tak bisa dilepas dari peran UU Minerba. Lewat undang-undang tersebut, politik desentralisasi membuka celah para kepala daerah memberikan izin usaha tambang, tanpa harus lewat jalur menteri di pemerintah pusat seperti pada masa Orde Baru.

Peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan, revisi UU Minerba pada awal 2020 lalu, memperburuk hak hidup warga di sekitar lokasi tambang. Salah satu yang disoroti adalah Pasal 172B.

Pasal itu berbunyi ”Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya. Menurut dia, pasal itu bermasalah karena Pemerintah akan terus memberikan jaminan entah sampai kapan agar sebuah wilayah pertambangan berlaku tetap, apa pun yang terjadi.

Jika semisal perusahaan tambang yang dianggap sudah mencemari lingkungan dan sudah ada kerusakan, seharusnya wilayah itu tak bisa dianggap sebagai wilayah pertambangan lagi. Harus dipulihkan karena sudah melebihi daya dukung. Tapi UU Minerba yang baru justru, memberikan jaminan bahwa wilayah tambang tak akan berubah.

Perubahan UU Minerba juga semakin mereduksi peran masyarakat yang hidup di sekitar wilayah tambang. Revisi UU Minerba membuat masyarakat tak bisa bisa mengajukan permohonan penghentian sementara kegiatan pertambangan jika dirugikan oleh perusahaan tambang.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah “Jika suatu wilayah sudah rusak karena pertambangan, maka akan sangat sulit untuk dipulihkan dan ongkos kerusakan lingkungan bisa jadi tidak terbayar, dibandingkan dengan kompensasi sebesar apapun. Operasi tambang hanya dapat keuntungan jangka pendek”.

Kini saatnya pemerintah melakukan refleksi atas kebijakan yang pro dengan industri pertambangan yang merusak lingkungan. Masyarakat menanti kebijakan pemerintah yang pro terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Hal tersebut akan berguna untuk bertahan di masa krisis iklim global.