Melihat tumpukkan buku yang ada di samping persis tempat saya tidur, membangunkan kembali pikiran lama, soal harga buku dan daya jual di Indonesia. Sejak dulu sekitar di tahun 2010-an ketika saya masih di masa giat-giatnya membeli buku fisik, uang jajan yang tidak seberapa selalu saya upayakan untuk membeli buku. Saking prioritas utama saya adalah menambah koleksi buku di rak masalah kapan bacanya itu lain soal.

Karena itu, saya memangkas beberapa kebutuhan domestik yang semestinya terbeli. Dengan nominal uang yang hanya sekitaran 250 rb rupiah belum mencukupi jika dipakai untuk membeli semua yang saya butuh dan inginkan. Namun, buku tetap menjadi prioritas utama. 

Bahkan seringnya semua uang jajan saya alokasikan untuk membeli buku. Dari dulu sebenarnya saya selalu resah dengan harga buku -buku yang di Indonesia, meskipun saya masih dalam taraf mampu untuk membeli buku-buku yang mahal.

Dulu, menyuarakan statment 'harga buku di Indonesia relatif mahal' sama seperti sedang memamerkan ketidakmampuan secara finansial dalam membeli buku. Alias bukan salah harga bukunya tapi kemampuan individunya yang kurang mumpuni, hadeuh.... Selain itu juga saya belum bisa membandingkan range harga buku dengan negara lainnya. 

Hingga pikiran itu hanya saya simpan dan mengamini. bahwasanya sayalah sebagai pembeli yang harus menaikkan taraf hidup dari segi materil hanya agar bisa membeli buku setiap bulan.

Semenjak bermukim agak lama di Turki saya bisa memastikan bahwa statement yang dulu teredam di benak, ternyata cukup valid. Membandingkan harga buku-buku di Turki dan di Indonesia memang kiranya kurang apple to apple, sebab ada banyak aspek politik- ekonomi yang memengaruhi, salah satunya yang perlu digarisbawahi, di Turki buku-buku yang dijual itu tidak terkena pajak sepersen pun. 

Artinya ada regulasi untuk menopang daya baca dan literasi. Range harga di Turki setelah beberapa kali saya mampir ke event buku dan toko bukunya sangat bisa diraih oleh kelas sosial mana pun, bahkan buku-buku terjemahan tidak sampai 100 rb bila dikonvesikan ke rupiah. 

Jarang sekali saya temui harga buku yang mencapai 100 rb paling mahal ada di angka 80-95 rb, perlu dicatat semua jenis buku baik lokal maupun non-lokal (terjemahan). Waktu saya mampir ke Kitap Fuarı (book fair) yang selalu diadakan setiap tahunnya di daerah saya tinggal, buku-buku terjemahan dijual dengan harga yang amat ramah terhadap kantong proletar seperti saya. 

Alhasil membawa uang 50 TL (50 rb) saya sudah bisa membeli karya Tolstoy dan Collins. Bahagianya....

Buku-buku yang dijual pun hampir semuanya tidak banyak yang disegel, artinya semua orang bebas melihat isi bukunya tanpa harus membeli. Sudah harganya murah, bukunya pun bisa dilihat dan di foto-foto. (Ini berlaku di toko buku/event buku manapun di Turki) Jargon budayakan membaca buku sepertinya bukan lagi menjadi teriakan ulung tanpa solusi yang konkret jikalau regulasi seperti ini diterapkan di Indonesia. 

Harga-harga buku di Indonesia khususnya di Pulau Jawa bisa mencapai 50-80 rb-an untuk yang lokal, untuk yang terjemahan bisa mencapai 100 rb-an ke atas. Range harga segitu hanya bisa ditempuh oleh kelas sosial menengah yang paling tidak kebutuhan dasarnya telah tercukupi. 

Belum lagi, dibarengi dengan era disrupsi digital yang semakin maju. Kebanyakan orang akan senang bila uang 100 rb-nya dibelikan kuota, ketimbang buku. Sebab dengan berselancar di internet semua informasi bisa dengan mudah terbaca dibandingkan buku yang hanya berisikan beberapa informasi saja. Belum lagi akses kuota yang terbilang cukup inklusif dibandingkan buku bacaan.

Statement yang berdasarkan data dari UNESCO, minat baca di Indonesia sangat memprihatinkan yaitu ada pada angka 0,001% yang artinya jika ada 1000 orang Indonesia yang benar-benar membaca buku hanya 1 orang. 

Bukanlah permasalahan individual atau minat seseorang semata melainkan permasalahan struktural yang menyangkut banyak kebijakan politik; distribusi buku dan hal-hal teknis serta prosedural dalam ruang lingkup perbukuan.

Indonesia krisis membaca buku bisa jadi bukan salah individu-individunya melainkan akar permasalahannya ada pada regulasi pemerintah yang belum ramah terhadap ekosistem perbukuan. 

Bukan salah orang-orangnya yang lebih memilih menonton Tiktok ketimbang membaca buku tapi karena harga bukunya yang sulit dijangkau ketimbang membeli kuota. Bukan salah orang-orangnya yang lebih memilih main gaplek atau bergosip dengan tetangga di sebrang tapi karena di daerahnya tidak ada perpus gratis dan toko buku yang accesable. 

Bagaimana bisa kita menilai suatu kelompok masyarakat gemar membaca buku atau tidak, kalau untuk mengenal buku saja aksesnya amat terbatas?? 

Membaca buku adalah gerbang pertama untuk sampai pada pemahaman literasi yang apik, jika gerbangnya saja susah untuk dibuka dan diakses bagaimana bisa kita menyimpulkan Indonesia sedang krisis membaca buku?? 


Tangerang, 2022