Kasus korupsi yang dilakukan para pejabat publik sekiranya bukan lagu baru di telinga kita. Belum hilang dari ingatan kita tentang berita penangkapan 2 menteri di kabinet Indonesia maju pada akhir tahun 2020 kemarin. Dalam situasi pandemi, dimana semua pihak berfokus untuk mencegah penyebaran virus serta berupaya mengatasi dampak-dampaknya, pejabat-pejabat tersebut justru mencari cara untuk memperkaya diri.
Beberapa kasus pelanggaran hukum yang melibatkan pejabat publik bisa jadi merupakan salah satu bentuk kurang optimalnya sistem pendidikan karakter dalam membentuk manusia Indonesia berkeutamaan. Tindakan korupsi dapat dikatakan sebagai salah satu hasil dari kurangnya penanaman terhadap nilai kejujuran, solidaritas, keadilan dan ugahari di dalam pendidikan terhadap manusia muda.
Realitas yang sering kita temui di tengah kemajuan teknologi saat ini, anak-anak sudah dididik oleh media sosial dan gim daring untuk menjadi pribadi yang individualis dan mencintai diri secara berlebihan. Anak-anak zaman sekarang lebih senang untuk fokus pada telepon pintar-nya daripada menatap mata orang yang mengajaknya bicara.
Anak-anak zaman sekarang juga lebih bangga memasang fotonya dengan barang-barang mahal di media sosialdengan maksud ingin dipuji dan disukai. Disamping itu sekolah seolah mendukung paradigma pendidikan sebagai suatu perlombaan dan dominasi satu sama lain sehingga tertanam sifat individualistik pada anak-anak.
Memahami paideia Platon
Konsep paideia (pembudayaan) Platon yang berhubungan dengan idea Yang Baik dapat dipahami melalui tiga konsep alegori yakni alegori matahari, alegori garis terbagi dan alegori gua. Ketiga alegori ini digunakan Platon untuk menjelaskan episteme (pengetahuan) dan doxa (opini) yang menyelaraskan antara tiga jiwa yakni logistikon (akal budi), thumos (semangat) dan epithumea (nafsu).
Alegori matahari disampaikan Platon untuk menggambarkan jiwa yang diterangi oleh logistikon, karena di sana terdapat idea yang menjadi sumber segala yang baik yang diidentikkan dengan matahari. Alegori garis terbagi yang ditandai dengan garis pemisah horizontal yang tegas berada pada sebuah garis vertikal. Garis tersebut menjadi penanda antara yang sensibel dan intellegibel.
Alegori gua menggambarkan epistemologi dari pandangan Platon tentang jenjang pengetahuan. Singkatnya, perjalanan keluar gua dari seorang tawanan yang bebas keluar menggambarkan upaya jiwa menggapai pengertian. Tawanan yang telah bebas dari gua ini mengalami pencerahan budi sehingga mampu melihat matahari sebagai yang baik.
Negarawan kalos kagathos (berkeutamaan) menurut Platon adalah pemimpin negara yang mencintai pengetahuan dan kebijaksanaan kemudian mampu merealisasikan kecintaannya itu untuk menegakkan keadilan dan mendidik warga. Figur ideal yang dimaksud Platon bukanlah penyair atau orator seperti pemikiran Homeros dan kaum Sofis, pendahulunya dalam memikirkan pendidikan, melainkan seorang raja filsuf.
Platon menganggap bahwa pembentukan keutamaan adalah mencari “karakter” orang-orang untuk dididik menjadi filsuf. Anak-anak dengan bakat menjadi filsuf atau disebut Platon sebagai “filsuf alami” bercirikan memiliki hasrat besar akan kebenaran yang kekal dan menyeluruh tidak memburu kepuasan hidup material, memiliki intelektual yang kuat, berjiwa besar, sangat bersahabat dengan kebenaran, keadilan, keberanian dan keugaharian.
Program paideia Platon dimulai dengan proses pengendalian eros (hawa nafsu) guna membentuk karakter moral “filsuf alamiah”. Bagi Platon eros perlu ditata agar jiwa dapat berkembang optimal, selaras, dan seimbang. Menurut Platon seperti disampaikan oleh Haryanto Cahyadi, eros yang menjiwai ephitumea dan thumos, sejauh ditata dengan formasi yang tepat justru dapat mendukung logistikon dan mengarahakan ketiga jiwa kepada nous guna melahirkan pengetahuan-kebijaksanaan.
Pada usia 10 hingga 18 tahun, setiap anak akan menerima pendidikan musik selama 6 tahun untuk menata mental dan jiwa. Menurut Platon musik ideal adalah musik vokal karena kata-kata mampu menyentuh jiwa dan membentuk karakter manusia. Kemudian pendidikan dilanjutkan dengan olah jasmani (gymnastike) selama 2 tahun untuk melatih daya tahan tubuh yang berhubungan juga dengan latihan kemiliteran. Pendidikan jasmani berperan dalam pembentukan mental anak dalam berperilaku jujur, ugahari dan berani. Setelah 2 tahun akan diadakan seleksi ketat untuk menentukan siapa yang boleh melanjutkan pendidikan.
Pada tahap berikutnya anak yang biasanya dikisaran usia 20-an akan diadakan formasi logistikon (akal budi) untuk membentuk karakter intelektual. Selama 10 tahun, pendidikan akan dipusatkan pada pengetahuan pengantar berupa lima bidang ilmu matematika guna membiasakan berpikir rasional dan logis. Kemampuan ini tentu berguna bagi calon pemimpin negara untuk landasan berpikir strategis saat menjalankan tugas kepemimpinan seperti menghimpun pasukan, menentukan strategi, menata negara agar adil.
Setelahnya akan kembali diadakan seleksi untuk memilih yang benar-benar cerdas untuk melanjutkan pendidikan di tahap tertinggi. Selama 5 tahun mereka akan dididik dengan pendidikan dialektika supaya mengasah untuk berpikir logis, sistematis, menyeluruh, serta cakap dalam menilai realitas. Mereka yang terbukti mampu akan menjadi penguasa negara selama 15 tahun dengan arahan dari mereka yang sudah berpengalaman. Lalu, pada usia 50 tahun, mereka yang terbukti terampil akan dipilih menjadi pemimpin tertinggi negara.
Penerapan Paideia Platon Pada Pendidikan Karakter
Sejalan dengan Homeros (penulis epos Ilias dan Odysseia), Platon juga percaya bahwa pengaruh karya sastra tidak hanya terbatas pada hiburan semata melainkan juga pada pendidikan karakter. Pengenalan terhadap pepatah-pepatah, kisah kepahlawanan, ataupun kisah-kisah lain dalam sastra yang baik akan mampu menciptakan dorongan dalam diri anak untuk meneladani dan mempelajarinya.
Sebagai contoh nilai keutamaan dari pepatah kuno Cina, “orang miskin tidak bisa melawan orang kaya, orang kaya tidak bisa menendang pejabat”, dapat menginspirasi seorang Ahok dalam kiprahnya di dunia politik untuk membantu orang miskin. Anak-anak juga dapat meneladani keberanian tokoh seperti Diponegoro dan Pitung yang melawan Belanda untuk kepentingan orang banyak atau belajar untuk tidak mencontoh watak Hanafi dalam novel “Salah Asuhan” yang berpendidikan tinggi tetapi merendahkan bangsanya sendiri dan banyak lainnya.
Berkaitan dengan formasi eros yakni pembentukan karakter yang berani, jujur, adil dan bijaksana seperti diyakini Platon, dalam pandangan penulis dapat dilaksanakan dengan cara mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengadakan live in beberapa hari di tempat-tempat warga miskin dan melakukan karya sosial. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pemberian teori-teori keutamaan sebut saja seperti pembelajaran anti-korupsi, dalam kurikulum belum cukup untuk pembentukan karakter anak.
Anak-anak harus diajak untuk merasakan dan mengalami kehidupan diluar kenyamanan mereka guna menumbuhkan rasa empati terhadap sesamanya. Seorang anak bisa belajar bagaimana tidak enaknya berpanas-panasan mencari sampah plastik sebagai pemulung, belum lagi ketika mendapatkan hinaan dari orang sekitar. Seoarang anak juga dapat merasakan sulitnya mencari uang dengan mengamen, sehingga ia belajar untuk ber-ugahari.
Pendidikan harus menghasilkan orang-orang yang cakap dibidangnya sekaligus berkeutamaan sehingga ia menjadi orang yang adil, apapun profesinya. Kita tentu menginginkan adanya dokter, ahli bangunan, teknisi, koki yang cakap dan adil lebih-lebih seorang pemimpin negara.
Kita mengharapkan seorang pemimpin yang mampu memikirkan kesejahteraan rakyat dan mengusahakan keadilan sosial bukan memperkaya diri sendiri. Hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kemampuan seseorang untuk berpikir secara rasional dan logis yang terbentuk di sekolah sehingga seorang pemimpin dapat menentukan langkah serta strategi dalam penyelesaian setiap masalah.