Sebagai tuan rumah dari Our Ocean Conference 2018 yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali, Indonesia tentunya diharapkan dapat menjadi pelopor dalam pengelolaan lingkungan di negaranya, terutama mengenai sampah di lautan yang umumnya berupa sampah plastik. Meski tidak dapat dipungkiri, permasalahan sampah plastik merupakan kesulitan utama Indonesia saat ini.
Berdasarkan data dari World Bank per-April 2018, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia (World Bank Documents, 2018) Hal ini terus bertambah dari tahun ke tahun seiring dengan berkembangnya industri dan perekonomian Indonesia. Bukan mustahil, di masa depan Indonesia akan menjadi negara penyumbang plastik terbesar di dunia.
Darurat sampah plastik Indonesia mencapai momentumnya setelah banyaknya hewan yang mati karena keracunan plastik yang tidak sengaja mereka makan. Belum lama ini, seekor Paus Sperma ditemukan mati terdampar di perairan laut Wakatobi dengan 6 kg plastik di dalam perutnya.
Diketahui, plastik tersebut terdiri atas 115 gelas plastik, 4 botol plastik, 25 kantong plastik dan 2 buah sandal. Berita mengenai kematian paus di Wakatobi ini menjadi perhatian dunia dan tentunya menambah citra buruk Indonesia di mata dunia. Apalagi, fenomena ini terjadi kurang lebih sebulan setelah Our Ocean Conference 2018 dilaksanakan.
Segitu banyak masih mau Impor? Masih kurang?
Dengan kondisi yang demikian, Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi darurat sampah plastik. Ironisnya, Indonesia sendiri hingga saat ini masih menjadi negara tujuan ekspor sampah plastik favorit dari negara-negara Eropa dan Amerika. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Cina yang melarang impor sampah plastik ke negaranya, sehingga negara-negara maju mencari alternatif negara lain yang dapat menerima sampah plastik mereka, salah satunya adalah Indonesia. (GATRA, 2018)
Bersama dengan beberapa negara berkembang lainnya, seperti Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filiphina dan Birma, Indonesia berpotensi menjadi negara pengimpor sampah plastik terbesar di dunia. Indonesia menjadi salah satu negara tujuan favorit dikarenakan biayanya yang lebih rendah dibandingkan ongkos daur ulang plastik di negaranya.
Selain itu, peraturan cukai yang belum memberikan tarif ketat terhadap sampah plastik serta minat tinggi dari sektor industri terhadap plastik impor membuat Indonesia semakin digemari oleh negara-negara maju.
Melanggar demi “memulung?”
Lebih ironis lagi, Indonesia ternyata merupakan satu dari 53 negara yang menandatangani dan mengimplementasikan Perjanjian Basel, di antaranya; Basel Convention Competent authority (CA) serta Basel Convention Focal point (FP) di tahun 1993. (Status of Ratifications, basel.int)
Perjanjian Basel ini di antaranya memuat poin-poin yang menekankan pada pengurangan limbah-limbah berbahaya dan promosi pengelolaan limbah berbahaya yang ramah lingkungan, di mana pun tempat pembuangan; pembatasan perpindahan lintas batas limbah berbahaya kecuali yang dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang ramah lingkungan; dan sistem pengaturan yang berlaku untuk kasus-kasus di mana gerakan lintas batas diizinkan (The Convention Overview, basel.int)
Sebagai negara yang meratifikasi dan mengimplementasikan Perjanjian Basel ini, Indonesia harusnya tidak diperkenankan untuk menerima perpindahan sampah plastik melalui impor dari negara luar.
Meski demikian, nyatanya hingga saat ini, Indonesia masih menerima impor sampah plastik dan sampah berbahaya lainnya yang berasal dari bekas limbah negara-negara maju. Bahkan dalam beberapa kasus, aktivitas impor sampah ini bahkan disetujui secara resmi oleh pemerintah melalui surat perizinan yang sah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia menerima sampah plastik secara sukarela.
Selain melanggar perjanjian yang telah disetujui, dengan memberikan izin, pemerintah seolah bertolak belakang dengan slogan lingkungannya yang selama ini digaungkan. Kebijakan impor plastik ini juga turut mengancam industri lokal plastik yang nilai jualnya kalah dengan plastik-plastik impor. Namun yang paling penting, aktivitas ini tentu akan semakin memperburuk kondisi lingkungan di Indonesia yang saat ini sudah dalam kondisi darurat sampah plastik.
Apakah pemerintah harus memulung sampah untuk mendapatkan keuntungan finansial? Atau menjual nama bangsa sendiri sebagai penyumbang sampah plastik terbesar? Bahkan memperparah lingkungan sendiri yang memang sudah parah sejak awal?
Tentunya pemerintah harus semakin memikirkan secara matang dampak lingkungan serta ekonomi akan diakibatkan oleh aktivitas impor sampah plastik ini. Aktivitas ini tentu akan semakin memperburuk kondisi lingkungan di Indonesia yang saat ini sudah dalam kondisi darurat sampah plastik.
Apakah bea impor sampah plastik saja cukup?
Untuk menanggulangi hal ini, pemerintah telah mengusulkan pengadaan cukai terhadap sampah plastik dari luar negeri. Meski pemerintah Indonesia merencanakan peraturan cukai bagi sampah plastik pada tahun 2019 mendatang, namun menurut penulis upaya ini akan tetap sia-sia.
Hal ini tentu karena biaya menjual sampah berbahaya seperti plastik lebih murah dibandingkan biaya pengolahan/daur ulang sampah tersebut. Sehingga negara maju akan tetap cenderung memilih mengekspor sampah plastik mereka, meskipun harus membayar cukai.
Pada akhirnya, hal yang paling tepat menurut penulis adalah benar-benar menegakkan peraturan hukum mengenai pelarangan impor atau perdagangan sampah plastik ke Indonesia, seperti yang dilakukan Tiongkok per-tanggal 1 Januari 2018. Dengan menetapkan kebijakan yang ketat terhadap isu ini, pemerintah tentu dapat mengurangi salah satu sumber sampah plastik yang ada di Indonesia, sehingga dapat berfokus pada konsumsi sampah plastik dalam negeri saja.