Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Myanmar ditandai dengan komitmen untuk mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan, serta keinginan untuk mendorong pembangunan ekonomi. 

Kebijakan ini didasarkan pada komitmen lama Indonesia terhadap kerja sama regional dan perannya sebagai anggota aktif Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). 

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berupaya memperkuat hubungannya dengan Myanmar melalui upaya diplomatik seperti kunjungan tingkat tinggi, perjanjian perdagangan, dan bentuk keterlibatan lainnya.

Dalam hal hubungan politik antara Indonesia dan Myanmar, kedua negara telah menjalin hubungan baik sejak kemerdekaan mereka pada tahun 1945. 

Kedua negara telah menandatangani beberapa perjanjian bilateral selama bertahun-tahun yang mencakup bidang-bidang seperti promosi perdagangan dan investasi, kerja sama pariwisata, pertukaran budaya, ilmiah kerjasama dan kerjasama pertahanan.

Selain kesepakatan tersebut, kedua negara juga merupakan anggota ASEAN yang menyediakan platform penting untuk dialog di antara mereka.

Namun pada saat yang sama ada beberapa masalah yang masih belum terselesaikan antara Indonesia dan Myanmar termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh junta militer yang berkuasa di Myanmar sejak tahun 1962. 

Meskipun masalah ini berulang kali diangkat di berbagai forum internasional termasuk pertemuan ASEAN, hal itu belum juga dibahas. memadai karena kurangnya konsensus di antara negara-negara anggota tentang cara terbaik untuk mengatasinya. 

Akibatnya, Indonesia telah mengadopsi pendekatan yang hati-hati untuk terlibat dengan Myanmar sambil tetap menjaga hubungan persahabatan dengannya di setiap saat.

Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Myanmar juga difokuskan untuk mendorong perdamaian di dalam negara itu sendiri dengan mendukung proses rekonsiliasi nasional yang diprakarsai oleh kelompok masyarakat sipil yang beroperasi di Burma/Myanmar. 

Ini termasuk memberikan dukungan keuangan, pelatihan, bantuan teknis, program peningkatan kapasitas, dan sebagainya sehingga para aktor lokal dapat saling berhubungan dengan lebih baik secara damai tanpa menggunakan kekerasan atau konflik bersenjata. 

Selain itu, Jakarta juga telah mendorong aktor eksternal seperti China, India, Jepang dan sebagainya yang memiliki pengaruh besar atas kebijakan pemerintah Naypyidaw untuk lebih terlibat dalam mencari solusi damai di Burma/Myanmar.

Indonesia telah lama menjadi pemimpin dalam komunitas internasional dalam hal penyediaan tempat perlindungan dan perlindungan bagi para pengungsi. Kebijakan luar negeri Indonesia tentang pengungsi berakar pada komitmennya terhadap hak asasi manusia, kemanusiaan, dan tanggung jawab global. 

Kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip non-refoulement, yang melarang pengiriman pengungsi kembali ke negara asalnya jika menghadapi penganiayaan atau bahaya di sana; penghormatan terhadap hak suaka; dan solidaritas dengan negara lain yang menampung pengungsi dalam jumlah besar. 

Indonesia juga menyadari perannya sebagai negara transit bagi banyak orang yang melarikan diri dari konflik atau persekusi di negara asalnya.

Indonesia menjadi advokat vokal untuk hak-hak pengungsi Rohingya, dan kebijakan luar negerinya tentang masalah ini adalah untuk memastikan keselamatan dan keamanan mereka. 

Sejak tahun 2017, Indonesia mengambil peran yang semakin aktif dalam menangani nasib pengungsi Rohingya melalui upaya diplomatik, bantuan kemanusiaan, dan inisiatif advokasi.

Di tingkat regional, Indonesia telah menjadi pendukung kuat respons ASEAN terhadap krisis di Myanmar. 

Pada tahun 2018, berperan penting dalam mendorong kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN untuk menyediakan tempat penampungan sementara bagi pengungsi Rohingya sambil menunggu repatriasi atau pemukiman kembali. 

Kesepakatan ini dipandang sebagai langkah maju yang besar dalam mencari solusi atas tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung ini.

Selain upaya regionalnya, Indonesia juga telah terlibat dengan negara lain di seluruh dunia dalam masalah ini. 

Pada tahun 2019, menjadi tuan rumah konferensi internasional tentang perlindungan pengungsi Rohingya yang mempertemukan perwakilan dari lebih dari 40 negara dan organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM. 

Konferensi tersebut menghasilkan pernyataan bersama yang menyerukan peningkatan dukungan bagi pengungsi Rohingya dan mendesak semua pihak yang terlibat untuk menemukan solusi jangka panjang yang menghormati hak asasi manusia mereka.

Indonesia juga telah memberikan bantuan keuangan yang signifikan terhadap upaya bantuan yang ditujukan untuk membantu mereka yang terkena dampak krisis dengan menyumbangkan $1 juta USD untuk permohonan darurat UNHCR bagi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar pada tahun 2017.

Sejak saat itu terus UNHCR dan Indonesia memberikan dana tambahan untuk berbagai inisiatif terkait perlindungan pengungsi baik di dalam Myanmar sendiri maupun di seluruh Asia Tenggara secara lebih luas.

Selain itu, organisasi masyarakat sipil Indonesia juga memainkan peran penting: banyak LSM yang memberikan bantuan langsung seperti bantuan makanan atau perawatan medis; yang lain telah bekerja tanpa lelah mengadvokasi atas nama pengungsi Rohingya.

Hal tersebut dilakukan di Indonesia sendiri dan juga di luar negeri melalui kegiatan lobi yang menargetkan pemerintah di seluruh dunia – termasuk mereka yang bertanggung jawab melakukan kekejaman ini terhadap mereka – sehingga mereka dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum internasional.

Secara keseluruhan, jelaslah bahwa kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Rohingya didasarkan pada belas kasih daripada ketidakpedulian.

Indonesia tidak hanya mencari cara nyata untuk membantu mereka yang terkena dampak krisis ini, tetapi juga bekerja keras untuk meningkatkan kesadaran tentang penderitaan mereka di antara khalayak global sehingga tindakan yang tepat dapat diambil lebih cepat daripada nanti.