Dalam studi politik, geografi diyakini sebagai determinan utama yang mempengaruhi identitas, perilaku, dan interaksi suatu negara (David Newman, 2001). Geografi memiliki signifikansi penting bukan saja karena dipersepsikan secara politis, tapi juga memiliki fungsionalitas dalam hal penetapan strategi politik dan pertahanan (Geopolitik dan Geostrategi)), kebijakan ekonomi (Geo-Ekonomi), serta corak diplomasi yang dimainkan oleh suatu negara (Geodiplomasi).

Kiranya inilah yang mendasari keputusan lima negara Asia Tenggara melalui pejabat representatifnya untuk menandatangani Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 silam di Bangkok, Thailand.

Asia Tenggara pada dekade 1960-an tak luput dari pertarungan kepentingan antara AS dan USSR (Perang Dingin). Seperti halnya di belahan bumi lainnya, pertarungan dua kekuatan besar tersebut selalu menimbulkan implikasi negatif. 

Menyadari hal ini, negara-negara kunci Asia Tenggara merespons kondisi tersebut dengan membentuk sebuah wadah kerja sama regional yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian, serta menciptakan stabilitas kawasan. Melalui simpul ASEAN, diharapkan mereka mampu meningkatkan semangat kebersamaan agar mampu memitigasi segala ancaman, utamanya dari eksternal kawasan.

Peran Indonesia

Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan, baik dari aspek geografis, maupun demografis, memainkan peranan penting dalam lika-liku dan dinamika ASEAN, sejak awal berdiri hingga kini. Sentralnya peran Indonesia dalam ASEAN didasari oleh persepsi bahwasanya Asia Tenggara merupakan ruang hidup tempat Indonesia berada. 

Persepsi ruang hidup inilah yang menempatkan negara-negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara memiliki makna penting bagi kepentingan nasional. Terlepas dari fakta bahwa Indonesia juga menjalin dan tergabung dalam beragam kerja sama bilateral, multilateral, bahkan global, kerja sama ASEAN tetaplah yang utama.

Peran sentral pertama Indonesia dalam 50 tahun ASEAN adalah status sebagai founding father ASEAN. Eksistensi dan kontribusi Indonesia dalam pembentukan ASEAN merupakan sebuah keputusan yang didasari oleh pertimbangan yang sangat matang dan filosofis. 

Pemerintah Indonesia pada masa itu memiliki pemikiran bahwasanya kesamaan negara-negara Asia Tenggara dalam hal bahasa, budaya, cara hidup, persepsi terhadap ancaman, terlebih lagi mendiami ruang hidup yang sama, memerlukan legalisasi formal dalam bentuk konstruksi kerja sama kawasan. 

Pemikiran ini tidak terlepas dari sejarah kemerdekaan nasional di mana keinginan untuk hidup bersama dari penduduk di berbagai pulau di nusantara pada akhirnya diikat dalam bentuk proklamasi kemerdekaan yang menjadi wadah bersama untuk mencapai tujuan nasional.

Kedua, Indonesia turut memberikan kontribusi dalam bentuk internalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa di ranah kawasan. Gotong royong sebagai karakter bangsa dan saripati Pancasila sangat kental mewarnai pola-pola hubungan antarnegara Asia Tenggara. Gotong rotong menjadi faktor pendorong utama lahirnya budaya musyawarah mufakat (equal voting dalam bentuk konsensus dan konsultasi) di ASEAN. 

Melalui musyawarah mufakat, setiap anggota ASEAN memiliki konfidensi bahwa apapun perbedaan diantara mereka dapat diselesaikan dengan mekanisme damai dan adil. Indonesia juga sangat mendorong pentingnya mengimplementasikan prinsip kesetaraan dalam komunikasi antarnegara.

Ketiga, meskipun menyandang status sebagai negara terbesar dalam hal atribut nasional, Indonesia menjalankan peran kepemimpinannya dengan ramah, jauh dari spirit untuk menghegemoni. Indonesia benar-benar mempraktikkan pola kepemimpinan yang diajarkan oleh bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. 

Sebagai role model di ASEAN, Indonesia paham benar posisinya untuk selalu memberikan contoh yang baik kepada negara-negara lain (Ing Ngarso Sung Tulodho), membangun semangat regionalisme, bukan unilateralisme (Ing Madyo Mangun Karso), serta mendorong agar selalu maju bersama-sama (Tut Wuri Handayani).

Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut secara empiris dapat dilihat dari kontribusi Indonesia dalam mendorong disepakatinya Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOFPAN), Treaty of Amity and Cooperation (TAC), menjadi tuan rumah dalam berbagai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, menjadi pengusul elemen-elemen pokok ASEAN Community’s Post 2015 Vision, termasuk akhir-akhir ini menjadi mediator yang adil dalam kasus sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan empat negara anggota ASEAN.

Indonesia juga sangat mafhum bahwa khitah ASEAN bukanlah sebagai pakta pertahanan atau aliansi militer strategis seperti halnya NATO atau Pakta Warsawa. Oleh sebab itu, relasi yang dijalin dengan negara-negara anggota lebih dititikberatkan pada aspek low politics seperti ekonomi dan sosial budaya. Ini juga yang menginspirasi negara lain untuk menerapkan pola yang sama.

Hasilnya cukup menggembirakan. Kerja sama ekonomi negara-negara ASEAN mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan. Indikatornya cukup jelas, total Produk Domestik Bruto (PDB) ASEAN pada tahun 2016 mencapai 2,55 triliun dollar AS serta pertumbuhan PDB di kisaran 4,8 persen, jauh di atas PDB global yang berada pada angka 3,1 persen. 

Aktivitas pertukaran pelajar dan ekspedisi kesenian antarnegara ASEAN juga semakin intens dari tahun ke tahun.

Tantangan dan Respons Geopolitik Kawasan

Asia Tenggara tak akan pernah kedap dari pengaruh kekuatan eksternal serta perubahan global. Beberapa capaian yang diraih selama 50 tahun berdiri juga dibayangi berbagai tantangan yang harus dihadapi di masa yang akan datang. 

Tantangan yang dihadapi bisa bersumber dari level kawasan sendiri, juga intervensi dari pihak luar. Kemajuan di bidang teknologi yang menghapus batas-batas geografi secara fisik mengkonversi semua tantangan tersebut menjadi ancaman yang harus disikapi secara serius.

Indonesia dan juga negara-negara ASEAN harus mampu menyikapi ini secara tepat agar eksistensi dan kesinambungan ASEAN mampu menjejak 50 tahun yang kedua. Ketahanan nasional masing-masing negara juga menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mewujudkan ketahanan kawasan.

Dari sisi internal, Indonesia dan negara-negara ASEAN harus mampu mencermati sekecil mungkin ancaman yang dapat memecah soliditas kawasan. Preseden Brexit di Uni Eropa, respons unilateral anggota ASEAN terhadap konflik Laut Tiongkok Selatan, merebaknya terorisme dan radikalisme di beberapa negara kawasan hendaknya dicermati. Negara memang selalu bergerak berdasarkan kepentingan nasional. Namun sekali mengikatkan diri dalam kerja sama kawasan, kepentingan nasional sudah selaiknya diselaraskan dengan kepentingan kawasan yang lebih besar.

Beragam fenomena global di berbagai belahan dunia seperti kemunculan ISIS di Timur Tengah, ketegangan di Semenanjung Korea, keinginan Tiongkok untuk menghegemoni dunia, kebijakan proteksionisme Donald Trump, serta fenomena Arab Spring yang mungkin berdampak pada kawasan sudah semestinya dikalkulasikan dengan sebaik-baiknya. 

Celah terbesar dari kerja sama kawasan adalah masih terdapatnya posibilitas bagi negara-negara anggota untuk terikat pada bentuk kerja sama lainnya. Kondisi inilah yang memungkinkan untuk dipilihnya opsi unilateralisme atau ambivalensi sikap yang dapat merugikan kawasan.

Serumit apapun situasi politik global, Indonesia harus lincah memainkan diplomasinya. Diplomasi Indonesia sudah sepatutnya berpegang pada empat konsensus bangsa dan prinsip bebas aktif yang menjadi kiblat diplomasi. 

Geodiplomasi yang dijalankan wajib bersifat responsif dan antisipatoris dengan mengerahkan segenap instrumen kekuatan nasional. Dengan demikian diharapkan tidak hanya terwujud ketahanan nasional yang tangguh, tapi juga ketahanan kawasan yang kokoh.