Persoalan kemiskinan merupakan salah satu permasalahan mendasar yang terus disuarakan oleh masayarakat dunia dalam pelbagai forum dan kesempatan. Artinya adalah bahwa seluruh manusia yang hidup dan berkembang pada teritorial masing-masing negara sangat menyadari bahwa persoalan kemiskinan ini adalah suatu kenyataan pahit yang perlu disikapi secara serius dan efektif demi terwujudnya kemanan dan kenyamanan dalam menjalankan keberlangsungan hidup di muka bumi.

Sebagai bentuk komitmen dan keseriusan itu dapat dilihat dengan disepakatinya salah satu program yang di antaranya fokus untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan negara-negara di dunia, khususnya negara terbelakang dan negara berkembang. Program tersebut dikenal dengan istilah Millennium Development Goals (MDGs), yang kemudian sejak akhir tahun 2015 disepakati berubah menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) yang memiliki 17 misi utama yang akan dituntaskan sampai pada akhir tahun 2030.

Sustainable Development Goals (SDGs) atau dikenal dengan istilah tujuan pembangunan berkelanjutan adalah agenda besar masyarakat dunia yang ingin mewujudkan 17 tujuan dengan 169 capaian secara terukur dan terjadwal sebagai agenda pembangunan terhadap keberlangsungan hidup manusia di bumi.

Menariknya, dari 17 misi yang menjadi target pembangunan berkelanjutan tersebut, urusan kemiskinan menempati urutan pertama yang menjadi progress dengan skala prioritas untuk segera dituntaskan dan kemudian diikuti terkait penyelesaian urusan kelaparan (pangan), kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Selanjutnya, sebagai bentuk aksi nyata terhadap konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Badan Program Pembangunan PBB atau lebih dikenal dengan nama United Nations Development Programme (UNDP) yang berpusat di New York City, Amerika Serikat dipersiapkan di masing-masing negara terbelakang dan berkembang, termasuk di Indonesia, untuk mendorong percepatan realisasi 17 tujuan pembangunan sebagaimana yang menjadi misi dari SDGs tersebut.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, yaitu apabila cita-cita mulia masyarakat dunia sebagaimana yang terhimpun dalam 17 tujuan SDGs tersebut dapat maksimal direalisasikan, maka output nyatanya adalah di tahun 2030 dipastikan tidak akan ada lagi kita temukan persoalan kemiskinan dan kelaparan di dunia, termasuk di Indonesia.

Pelaksanaan SDGs di Indonesia

Menuntaskan permasalahan kemiskinan tentunya tidak akan pernah usai jika hanya mengandalkan partisipasi UNDP Indonesia melalui pelbagai pelatihan, bimbingan tenaga ahli, dan program kegiatan lainnya. Oleh sebab itu, perlu kerja sama dan aksi nyata, baik oleh pemerintah, swasta maupun seluruh komponen bangsa dalam rangka mendorong percepatan penyelesaian persoalan kemiskinan di Indonesia.

Sebelumnya kita patut mengapresiasi terkait berlakunya sistem otonomi daerah, otonomi khusus, serta dikeluarkannya Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sistem dan dan regulasi tersebut dapat dimaklumi sebagai tindak lanjut sekaligus bentuk komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung terwujudnya SDGs.

Khususnya pengentasan persoalan kemiskinan yang implementasinya diterjemahkan langsung dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk selanjutnya diselaraskan dengan RPJMD masing-masing daerah mulai pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia.

Terlepas dari pelbagai strategi pembangunan berkelanjutan yang sudah dirancang dan dijalankan tersebut, perlu untuk kembali dicermati bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai pada akhir tahun 2017 tercatat sebanyak 26,58 juta orang atau sebesar 10,12%, yang mana didapati bahwa persentase sebarannya cenderung lebih besar di daerah pedesaan (Badan Pusat Statistik: 2017).

Artinya, ada waktu sekitar lebih kurang dua belas (12) tahun ke depan, tepatnya di tahun 2030, untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan ini. Memang tidak ada konsekuensi hukum jika hal ini tidak tercapai, akan tetapi ini akan menjadi salah satu tolok ukur terkait sejauh mana komitmen masyarakat dunia, khususnya bangsa Indonesia, dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan.

Cukup mengkhawatirkan. Karena di satu sisi, Indonesia pada fase ini dihadapkan dengan salah satu persoalan kependudukan, yaitu diperkirakan beberapa tahun ke depan akan terjadinya Bonus Demografi, di mana usia penduduk produktif berjumlah sangat besar, yang tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga sangat memungkinkan menjadi peluang terjadinya peningkatan jumlah angka pengangguran yang erat kaitannya dengan persoalan kemsikinan.

Menyikapi hal demikian, perlu langkah strategis dan konstruktif serta kerja tuntas yang kiranya patut untuk dilakukan, dengan harapan apa yang menjadi tujuan SDGs, khususnya persoalan  pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat diselesaikan pada tahun 2030.

Jika dicermati, pada dasarnya realisasi program SDGs itu sudah diamini dalam muatan RPJMN dan RPJMD masing-masing daerah di Indonesia. Artinya, pada saat ini program pengentasan kemiskinan sedang berlangsung dengan capaian realisasi setiap tahunnya berbeda-beda di masing-masing daerah. Faktanya sampai saat ini masih cukup tinggi kesenjangan ekonomi masyarakat kota dan pedesaan terlebih di wilayah perbatasan.  

Salah satu persoalan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Indonesia pada saat ini khususnya pada level Provinsi, Kabupaten dan Kota, yaitu mulai dari tahap perencanaan (planning), penganggaran (budgeting) dan pengawasan didapati masih berkutat pada urusan adminsitratif. Sehingga hal-hal yang bersifat output dari program dan kegiatan tersebut, termasuk misi pembangunan berkelanjutan (SDGs) itu sendiri, kurang mendapat perhatian dan cenderung terabaikan.

Seluruh pihak yang memiliki kewenangan untuk mengevaluasi termasuk masyarakat umum seolah-olah sedang “dikondisikan” oleh sistem untuk terfokus pada penilaian yang sifatnya angka-angka (realisasi anggaran) dan melulu persoalan adminsitratif.

Alhasil, terbangunlah suatu persepsi publik dimana jika suatu daerah berhasil meningkatkan persentase angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka urusan kemiskinan dan pendidikan sudah dianggap hampir selesai, padahal fakta di lapangan tidaklah demikian. Akibatnya adalah reword yang diberikan pun sebatas penghargaan yang bersifat ceremonial.

Di sini sebenarnya benang merah yang perlu kiranya untuk diperhatikan. Perlu adanya evaluasi yang terstruktur dan terukur yang tidak hanya berfokus pada penilaian realisasi anggaran apalagi terhadap laporan yang sifatnya tertulis, akan tetapi harus ada sistem yang dibangun dengan melakukan penilaian dan evaluasi secara objektif dan ilmiah terhadap out put nyata yang berbentuk impact dari setiap program kegiatan yang dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah, termasuk realisasi dari misi SDGs tersebut.

Jika disampaikan bahwa program pemerintah daerah dalam hal melaksanakan pengentasan kemiskinan sudah sukses dilaksanakan di daerah A dengan anggaran sekian, maka perlu dilakukan konfirmasi secara langsung di lapangan apa implikasi nyata terhadap kehidupan masyarakat yang menjadi objek program tersebut. 

Selanjutnya perlu juga dikonfrimasi dalam bentuk apa program tersebut dilaksanakan, sudahkah masyarakat yang menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan benar-benar diberdayakan dalam jangka panjang serta bagaimana tindak lanjut dari program tersebut dan seterusnya. Hal inilah belum sepenuhnya dilaksanakan.

Pertanyaan dan evaluasi seperti ini harus maksimal dilakukan secara berkelanjutan sehingga adanya kecocokan antara laporan tertulis dengan kondisi real di lapangan, dan komitmen bangsa Indonesia untuk turut mewujdukan misi pembangunan berkelanjutan (SDGs) dapat tuntas diwujudkan sesuai harapan.

Di sisi lain terkait jalannya evaluasi terhadap realisasi program dan kegiatan selalu sebatas memenuhi apa yang menjadi tuntutan pada kata “akuntabilitas”, sehingga berimplikasi terhadap kemungkinan “abai-nya” proses evaluasi pada aspek yang bersifat substantif dari program yang dilaksanakan termasuk urusan pengentasan kemsikinan yang menjadi prioritas pertama sesuai misi SDGs.

Memperhatikan aspek akuntabilitas penyelenggaraan program dan kegiatan dipandang sangat perlu, akan tetapi mengevaluasi substansi dari setiap realisasi program dan kegiatan yang berimplikasi langsung kepada masyarakat itu jangan sampai terabaikan.

Mulai detik ini perlu kiranya hal demikian untuk diperhatikan, sehingga kerja tuntas benar-benar tuntas dalam mengentaskan persoalan kemiskinan. semoga semua pihak yang terlibat baik di dalam maupun di luar sistem kiranya dapat ikut andil dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sesuai yang diharapkan.

Terakhir, akankah misi pembangunan berkelanjutan (SDGs) salah satunya persoalan mengentaskan kemsikinan di Indonesia pada tahun 2030 dapat terwujud? Jawabannya ialah tergantung komitmen dan keseruisan kita semua dalam menyikapinya.