Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu sudah akrab kita dengar sejak dahulu, bahkan anak-anak usia balita pun sudah mengenalnya. Ia sederhana namun memuat makna bahwa bangsa Indonesia diciptakan berbeda-beda.
Perbedaan adalah identitas kita. Ketika bangsa lain membangun kesadaran mereka melalui kesamaan ciri fisik, bahasa, agama, maupun adat, kita justru bersepakat bahwa perbedaan adalah sesuatu yang menjadikan kita keluarga.
Walau begitu, sepertinya ia lebih mudah diucapkan ketimbang dipraktikkan. Saat ini, kita kembali bersedih melihat perbedaan kembali menjadi sumber pertumpahan darah di negeri ini. Belum sebulan kita bersorak gembira menonton kesuksesan Asian Games, kini dunia olahraga membawa luka ketika seorang pria meregang nyawa sia-sia.
Haringga Sirila, nama pria itu, tewas karena serangan sekelompok orang beridentitas suporter klub tertentu. Pemuda itu mungkin tak menyangka bahwa keputusannya berangkat ke Jakarta pada Minggu, 23 September 2018 akan berujung maut. Hal yang ia inginkan hanya mendukung klub kesayangannya, sebuah klub yang kebetulan rival berat dari sekelompok orang yang menyerangnya ramai-ramai itu. Ia tak mengindahkan imbauan untuk tak hadir ke Bandung, namun kecerobohan itu tak pernah layak untuk diganjar oleh hilangnya nyawa.
Di sisi lain, para pemuda yang mengeroyok Haringga ramai-ramai itu mungkin juga tak tahu: atas dasar apa lelaki itu harus dibunuh? Kebanggaan? Tentu saja tidak ada yang dapat dibanggakan dari menghilangkan nyawa suporter klub rival. Merespons provokasi?
Kalaupun Haringga melakukan provokasi, nama klub akan selamanya lebih besar ketimbang provokasi seorang rival yang masuk untuk bertandang. Meresponsnya dengan tendangan dan pukulan balok kayu secara bergerombol adalah cara yang jauh dari kata berani. Kini nasi sudah menjadi bubur, alasan apa pun yang keluar dari mulut mereka tak akan pernah bisa menjadi benar, dan tak akan pernah mengembalikan Haringga ke dunia.
Kasus ini mengingatkan kita pada 2012 silam, ketika seorang suporter lain bernama Rangga Cipta Nugraha tewas dalam kasus serupa. Rangga tewas dikeroyok suporter rival ketika bertandang mendukung klub favoritnya.
Dalam hal ini, Rangga adalah pendukung klub kesayangan para pengeroyok Haringga. Mereka berdua berseberangan, namun kini bersama-sama harus membayar mahal rivalitas kedua klub mereka dengan nyawa. Rivalitas sepak bola yang harusnya menambah keseruan pertandingan, dan cukup berlangsung 90 menit, justru berubah menjadi arena matinya kemanusiaan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kasus keduanya adalah contoh produk kebencian yang dilanggengkan secara turun-temurun, dipropagandakan lewat nyanyian-nyanyian provokatif, kemudian diwujudkan dalam tindakan ketika kita lengah mencegahnya meluber keluar. Namun, itu semua hanyalah gejala, penyakit utamanya adalah kegagalan kita untuk belajar merayakan perbedaan.
Bergeser dari ranah sepak bola, kita melihat banyak insiden-insiden lain yang ironisnya bersumber dari perbedaan yang kita bangga-banggakan. Bagi sebuah bangsa yang mendaku plural dan dibangun atas fondasi keberagaman, hal seperti ini tentu tak dapat diterima.
Apabila kita membalas mata dengan mata, maka dunia ini akan menjadi buta, tutur Mahatma Gandhi.
Memang, menyatukan manusia menjadi sebuah komunitas tanpa identitas adalah sebuah perkara mustahil. Dalam hal ini, agaknya John Lennon harus selamanya menjadi seorang pemimpi.
Secara natural, manusia akan cenderung mengelompokkan dirinya dengan mereka yang dinilai "sama", minimal diawali dari hubungan keluarga. Walau begitu, ini bukan alasan untuk pesimis. Masih ada secercah kabar gembira, karena tak semua perbedaan akan terwujud menjadi kebencian dan tindak kekerasan.
Mengapa kita membenci orang yang berbeda dari kita? Satu hal yang bisa menjelaskan adalah keengganan memahami kelompok di luar kita. Ini menjelaskan tendensi terhadap rasisme, fasisme, atau chauvinisme. Manusia dibekali naluri untuk merasa takut akan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Saat kita tidak mampu melihat orang lain sebagai manusia yang setara, terjadilah proses dehumanisasi. Dari sinilah kita kehilangan rasa iba dan kekerasan pun mendapat pembenaran. Satu-satunya cara memutus mata rantai kebencian ini adalah kembali memahami kelompok luar sebagai sesama manusia yang memiliki hajat hidupnya sendiri. Kita bukanlah pusat gravitasi semesta, individu-individu lain pun memiliki justifikasi yang sama untuk hidup di dunia ini.
Bukan mudah untuk melakukannya. Tanpa sadar bisa saja kita membudayakan pola pikir yang melanggengkan kebencian itu. Di lembaga pendidikan formal misalnya, masih lazim kita jumpai masa orientasi yang berisi doktrin-doktrin tentang bagaimana sebuah komunitas lebih superior ketimbang yang lain. Di forum-forum agama pun demikian, tak jarang pula terlontar ungkapan-ungkapan kecurigaan kepada kelompok agama lain, walau nyatanya amat minim dialog terjadi antara keduanya.
Pembibitan fanatisme skala kecil ini tak berbeda dari kasus suporter sepak bola di atas, karena ia tak jarang berujung pada budaya untuk membenci. Kita terkadang terlalu terobsesi dengan solidaritas kelompok sendiri, namun lupa mempersiapkan diri untuk bersikap bijak tatkala kelompok kita terpapar oleh perbedaan.
Bung Karno pernah berkata bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam taman sari internasionalisme. Inilah pesan mulia bahwa kecintaan akan kelompok sendiri tak boleh menjadi alasan untuk membenci perbedaan. Mencintai A tak harus berarti membenci B, C, maupun D. Keberagaman harusnya menjadi anugerah yang membuat dunia ini berputar. Pola keberagaman damai inilah yang diimpikan oleh para leluhur kita.
Saya yakin, masih banyak dari kita yang rindu akan identitas Indonesia sebagai bangsa yang beragam. Belum terlambat untuk memunculkan gaya hidup yang jauh dari kebencian, merebut kembali Bhinneka Tunggal Ika dari sifat-sifat yang destruktif. Dengan demikian, Rangga dan Haringga bisa tenang di alam sana, berangkulan sambil mengenakan jersey berlogo Garuda, tersenyum menatap negeri ini yang kembali sadar akan hakikat persaudaraan.