Kini tahun 1971, dan Mirek mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. (Milan Kundera, 1978).

Konvensi sosial mengamini bahwa pop, secara bahasa, merupakan singkatan dari kata ‘populer’. Sejak era the Beatles hingga 5 Seconds of Summer; Michael Jackson lalu Bruno Mars; para diva seperti Madonna sampai Taylor Swift, pop identik dengan gemerlap dan glamornya industri hiburan, sehingga direka-bayangkan sebagai simulakrum: suatu fantasi yang malih-rupa menjadi realitas.

Bagaimana mungkin sebuah varian musik yang dijadikan sarana mendulang keuntungan materiil menjadi antitesis terhadap logika kapitalistis dalam arena budaya? Rasanya mustahil hasrat pemberontakan seseorang bisa terbakar ketika mendengar lagu pop nan melangutkan jiwa.

Dalam Rekah: Rekam Jejak Subkultur Indie di Indonesia 1994-2003 (selanjutnya disingkat menjadi Rekah), Adityo mencoba merangkum rekam jejak aktor-aktor subkultur indie di Indonesia sembari mendedah kemunculan dan perkembangan subkultur ini di tanah kelahirannya, Inggris. Sebuah upaya yang awalnya saya pikir terlampau telat. 

Saat menyelesaikan penelitiannya ini, medio 2012-2013, indie telah menjadi kosakata nirmakna nan banal. Beberapa aktor (musisi, promotor, pihak label, dsb) menyikapi kata tersebut dengan sebelah alis terangkat.

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya ajang bernama Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA). Indie melebur (terpaksa dileburkan?) bersama genre dan subgenre lain semisal electro, ska, krautrock, dancepunk, numetal, postrock, postshoegaze, nowave, dsb.

Realitas objektif terkini pun mengafirmasi “dakwaan” saya di atas. Lihat band-band arus pinggir era kiwari yang menjamur di berbagai kota di Indonesia. Sedikit sekali yang masih mau menyematkan kata indie sebagai identitas mereka.

Adityo—saya mengenalnya sebagai pencinta indiepop puritan—mungkin mengalami kegelisahan senada. Seperti konsep distro di negeri ini yang terdegradasi menjadi tempat berjualan busana semata, indie pun mengalami nasib nahas.

Dalam kacamata Bourdieusian, selera adalah konsep signifikan yang tanpa manusia sadari bisa menentukan hidup mereka di dunia. Contoh paling konkret: selera anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah ke atas akan memudahkan mereka di sekolah, karena kebudayaan sekolah adalah kebudayaan kelas menengah.

Arena kebudayaan, seperti sastra atau musik, adalah arena pertempuran. Radhar Panca Dahana dalam esainya (“Integritas dalam Sastra”) menerangkan bahwa dunia sastra sarat dengan pertempuran politis. Saya berani mengatakan bahwa logika yang sama juga berlaku di arena musik.

Britpop: Batu Nisan Subkultur Indie

30 Juli 1997, 10 Downing Street, Inggris. Perdana Menteri yang baru terpilih, Tony Blair mengundang Noel Gallagher (gitaris utama Oasis) dan Alan McGee (pemilik Creation Records; label esensial dengan segudang repertoar ciamik) untuk berpesta.

Selama kampanye, Blair, lewat mata jeli penasihatnya—Alistair Campbell, ini memanfaatkan patriotisme baru yang melanda Inggris jelang pergantian abad. Patriotisme baru itu bernama Cool Britannia.

Telah sepuluh tahun lebih negeri mereka dipimpin Partai Konservatif. Tony Blair, dengan jargon ‘The New Labour’-nya menyemai harapan bagi anak-anak muda Generasi X Inggris. Strategi tersebut berhasil dan ia menjadi Perdana Menteri termuda sejak 1812.

Perkelindanan politik dengan kebudayaan adalah hal jamak. Dunia mengenal Nazi dengan Joseph Goebbels-nya yang memiliki pengaruh besar bagi rezim sang fasis dalam mengangkangi Eropa selama sepuluh tahun lebih. 

Di Indonesia, para seniman kiri dibuat bertekuk lutut pasca tragedi 1965, setelah sebelumnya begitu digdaya karena selaras dengan garis politik Bung Besar (baca: adagium ‘politik sebagai panglima’). Kebudayaan, tak syak lagi, turut berjibaku di palagan perebutan kekuasaan.

Wajar kiranya bila Blair dan Partai Buruh begitu tergiur merangkul seniman. Seluruh negeri sedang dilanda demam Britpop. Lewat karya-karya Suede, Blur, Oasis, Pulp, Elastica, hingga, ehm, Spice Girls, anak-anak muda tak perlu berpaling ke Amerika karena telah memiliki anthem yang memiliki relevansi dan kedekatan kultural kuat.

Dalam penelitiannya, Adityo menerangkan bahwa kematian Britpop (dan subkultur indie secara umum) ditandai secara simbolis ketika McGee menjual lebih dari separuh saham Creation kepada Sony Music. 

Rekah menjadi penting karena Adityo menggali situasi kancah musik Inggris pra-Britpop ketika mereka masih bertungkus-lumus di garis pinggir. Tiga label musik yang menjadi perhatiannya adalah Rough Trade, Factory Records, dan Sarah Records.

Indie adalah semangat dan etos kerja. Meminjam dari apa yang telah diperbuat punk di pengujung 70an, anak-anak muda ini menyadari bahwa musik pop juga bisa dijadikan sarana pemberontakan. Jaket kulit dan piercing digantikan dengan striped t-shirt dan topi pancing: sisanya tak ada yang berubah. 

Jaringan, pola kerja, dan sedikit kesadaran politik membuat indie menjelma sebagai subkultur yang asyik, mudah dijangkau, dan tetap relevan. Subkultur ini juga terbantu oleh sosok seperti John Peel, yang program siarannya tak segan memutar musik-musik “aneh”; kelab-kelab seperti Hacienda (Manchester) dan The Living Room (London); serta para penulis fanzine militan seperti Matt Haynes, Clare Wadd, Alistair Fitchett, Everett True, Bob Stanley, dan masih banyak lagi.

Being weird, young and different is cool. Namun, korporasi raksasa selalu memiliki daya untuk mengooptasi aneka ragam komoditas yang mulanya eksklusif. 

Indie memang sempat kembali meledak di awal millenium lewat aksi-aksi seperti the Strokes, Interpol, Yeah Yeah Yeahs, Franz Ferdinand, atau the Libertines. Gegar itu hanya berlangsung sekejap. Indie dipaksa kembali ke habitat asalnya: garis pinggir. 

Bersamaan dengan itu, anak-anak muda yang dulu terbuai mencoblos Blair dibuat kecewa karena rezimnya berperilaku sebelas-dua belas dengan rezim konservatif Margaret Thatcher dan John Major, terutama karena keputusannya menginvasi Irak. Selama dua periode masa kepemimpinannya, Blair lima kali memaksa negara berperang: terbanyak dibanding perdana-perdana menteri sebelumnya.

Indie Indonesia yang Apolitis

Reformasi 1998 tak hanya menumbangkan Soeharto, sang tiran. Peristiwa ini juga diiringi dengan terbukanya keran kebebasan informasi dan berekspresi. Indie di Indonesia lahir di era ini, jauh sebelum perusahaan rokok L.A. Lights memanfaatkan indie untuk kepentingan bisnis mereka.

Sebelum kata indie dimaknai sebagai genre musik aneh bergaya busana nyentrik, anak-anak muda di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta telah menyemai benih-benih subkultur ini yang pola dan interaksi kerjanya tak hanya menghasilkan rilisan fisik, tapi juga media cetak (majalah seperti Trolley, Ripple, DAB; fanzine seperti Eve, Shine), siaran radio (Outerbeat, Popcircle), tongkrongan (Poster café, BB’s café, PARC, skena IKJ, Senayan Street Britpoppers, Desarupa British Invasion [Jakarta], Studio Reverse, Kintamani, Dipati Ukur [Bandung], Basement Apartemen Sejahtera, Distro VOX, Common People [Yogyakarta]).

Mereka membangun jaringan kerja yang, disadari atau tidak, menabung sebuah modalitas yang Bourdieu sebut kapital kultural. Banyak dari mereka yang terlibat di masa itu menjadi tokoh penting di arena subkultur anak muda hingga saat ini.

Dalam penelitiannya, Adityo menemukan fakta bahwa mereka yang terlibat di skena indie tidak memaknainya sebagai laku politis, namun sekadar pilihan gaya hidup yang mereka comot dari Barat. Kejatuhan Soeharto, oleh mereka dimaknai sebagai prasasti belaka: bahwa masa-masa penuh kekangan telah usai.

Jika kita meninjau, band-band pop bawah tanah yang gemar menyisipkan pesan politis—Efek Rumah Kaca dan Melancholic Bitch, contohnya—pun tidak berasal dari kalangan yang diteliti Adityo. Saya pun menjamin kedua band tersebut akan tertawa bila disebut indie.

Inilah yang mungkin menjadi catatan kritis saya untuk Rekah, karena Adityo mengulas pandangan dan sikap politik tiga label yang memiliki peran signifikan di subkultur indie pra-Britpop; yakni Rough Trade, Factory, serta Sarah. 

Kepada para narasumber dan arsip-arsip, ia tak menggali lebih dalam bagaimana para pelaku subkultur ini menyikapi situasi politik di Indonesia. Satu-satunya yang ia temukan adalah lagu dari Pestolaer—pionir Britpop Jakarta—yang menciptakan “Oempama” sebagai respons terhadap situasi 1998 yang karut-marut.

Indie di Indonesia, apa boleh dikata, sekadar mampir sepintas lalu-selewat dengar. Ia tak seperti punk atau hardcore yang memiliki sensitivitas terhadap situasi masyarakatnya. 

Untuk menguji hipotesis ini tentu kita perlu memasukkan banyak variabel, seperti kesadaran politik yang rendah. Namun bukankah the Smiths, band yang menjadi acuan indie kids sejagat, pernah merilis lagu protes atas monarki—“The Queen is Dead”—yang begitu bertenaga?

Saya teringat pada suatu perdebatan panas di Facebook perihal L.A. Lights Indiefest. Terbagi dua kubu, tentu: pro dan kontra. 

Apakah kita perlu terlibat dalam strategi bisnis perusahaan besar yang rentan menghancurkan apa yang selama ini susah payah kita bangun? Bukankah apa yang selama ini kita perjuangkan merupakan upaya untuk mengencingi logika bisnis industri?

Sikap politik bukan berarti terbatas pada politik elektoral semata. Ia jauh merambah ke hal-hal keseharian dan esensi indie adalah sikap dan etos kerja DIY (do-it-yourself). 

Ingat bagaimana Sarah Records meludahi industri dengan mengumumkan “kematiannya” di majalah NME. Inilah yang memberanikan saya mengutip kalimat masyhur Milan Kundera di awal tulisan. Kekuasaan tak hanya bertakhta di praktik politik legal-formal. Ia, lewat ideologi, juga mengada di ranah kebudayaan.

Ada beberapa label di Indonesia, memang, yang jengah dengan situasi tersebut, seperti Maritime Records (Bandung), Heyho! Records (Jakarta), Paperplane Recordings (Yogyakarta), atau Shiny Happy Records (Depok). Sayangnya, mereka bergeliat di luar cakupan periodisasi penelitian Adityo.

Memugar Bangunan Runtuh

Mereka yang terlibat intensif di periode penelitian Adityo banyak yang menuai hasil positif. Orang-orang yang menjadi narasumber Rekah (Dimas Ario, Dimas Widiarto, Arkham Kurniadi, Petrus Bayu Wibowo, dll) adalah para pelaku penting subkultur ini. 

Namun, sayangnya Adityo tidak memanfaatkan pengalaman dan jaringan yang sudah dibangun sosok-sosok yang lebih senior, seperti Indra Amenk (manajer Rumahsakit dan White Shoes & the Couples Company, pendiri kolektif Ruang Rupa), David Tarigan (pemilik Aksara Records, label musik yang mendongkrak popularitas indie; pengarsip musik) Jimi Multhazam (vokalis the Upstairs, tokoh penting di skena indie IKJ), Eric Wirjanata (penulis webzine Deathrockstar). 

Mengapa? Karena merekalah yang telah memantapkan diri berkarier di ranah subkultur sampai sekarang.

Band-band arus pinggir yang menyemarakkan pensi-pensi SMA atau acara universitas masih memunculkan nama-nama lama, atau nama-nama baru yang diisi aktor-aktor lama. 

Muhammad Hilmi dalam esainya (“Apalagi Setelah Indie?”) mengeluhkan hal serupa. Namun, yang luput dari perhatian Hilmi adalah bagaimana band-band (beserta tokoh-tokoh non-band) yang ia sebut telah menjadi elite di kancah musik sidestream.

Dengan Rekah, Adityo bersama penerbit Dialog Pustaka telah membuka gerbang untuk kajian-kajian selanjutnya. Tanggung jawab mengkaji tentu tak hanya jatuh di pundak para sejarawan. 

Konsep kelas, misalnya, bisa dijadikan alat untuk mengurai pertanyaan Hilmi di atas. Bukankah kajian cultural studies di Indonesia telah dibuat semarak Ariel Heryanto yang meneliti budaya populer (film, dangdut, K-Pop, dsb)?

Penulis buku ini sebenarnya telah lama meninggalkan dunia kesejarahan. Sebuah keberanian besar dari Dialog Pustaka untuk memublikasikan penelitiannya ke khalayak yang lebih luas. 

Sejarah yang Adityo tulis merupakan sejarah kontemporer, di ruang lingkup yang jarang diminati para sejarawan. Tetapi, justru itulah yang menjadi “daya tawar” Rekah. Buku ini patut menjadi tinjauan tak hanya bagi akademisi maupun peminat sejarah, tetapi juga anak-anak muda yang menghidupi hari-hari mereka dengan passion bermusik.

-

Catatan: esai ini merupakan kata pengantar untuk Rekah: Rekam Jejak Subkultur Indie di Indonesia 1994-2003 (2018) yang diterbitkan oleh Dialog Pustaka Yogyakarta.