Perbedaan pandangan dari berbagai teori yang membahas mengenai hubungan antara hukum internasional ke dalam hukum nasional sering kali berbeda dengan praktik negara dalam melakukan implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional.
Proses implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional biasanya dilakukan melalui prosedur ratifikasi menurut undang-undang negara Indonesia, dengan maksud agar hukum internasional dapat mengikat negara Indonesia, ratifikasi ini dilakukan terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Implementasi hukum internasional sebenarnya tidak semata tergantung terhadap kemauan negara melalui proses ratifikasi namun ada juga ketentuan-ketentuan hukum internasional yang langsung dapat mengikat negara tanpa harus mengikuti kemauan negara.
pada konteks masyarakat internasional, Hukum Internasional merupakan sebuah instrument yang kerap kali digunakan oleh negara-negara sebagai variabel dalam mencapai kepentingan nasional, secara langsung maupun tidak langsung, dengan melalui organisasi-organisasi internasional yang ada.
Regulasi global (Hukum Internasional) dalam penggunaannya sebagai perangkat politik memiliki keuntungan mengubah atau memperkenalkan pelaksanaan ketentuan fundamental, pedoman hukum, atau bahkan pengubah konsep.
Negara dapat menggunakan hukum global sebagai alat untuk mengubah atau memperkenalkan, bahkan menegakkan konsep, yang jika konsep ini teratur melalui target audiens yang besar dalam jaringan internasional akan daya ikat.
Pembentukan atau modifikasi kesepakatan global ini membutuhkan sistem yang sangat panjang, ambil contoh; Australia, Jerman, Jepang, dan berbagai negara lain yang membutuhkan modifikasi klub Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United States of America).
Bahkan Jepang dan Jerman sangat tertarik untuk mengubah 2 pasal piagam PBB yang tetap menyebut “negara musuh” mengingat piagam PBB itu sendiri dibuat pada saat dunia baru saja mengakhiri peperangan dengan sejumlah negara internasional.
Negara dalam konteks internasional berkembang sendiri secara teratur menggunakan hukum internasional, perjanjian di seluruh dunia untuk bertukar wajah regulasi euro-sentris.
Selanjutnya, peraturan internasional dalam penggunaannya sebagai alat politik berangkat dari pilihan negara yang hobi nasionalnya untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri berbagai negara tanpa dianggap suatu pelanggaran.
Dalam contoh ini, teknik-teknik yang mencakup ancaman atau kekerasan sekarang tidak dapat dilakukan, atau dilakukan atas gagasan hubungan antara penjajah dan pihak yang ter-jajah.
Cara terbaik untuk ikut campur adalah dengan menggunakan perjanjian internasional (global regulation) yang dibuat dari peraturan internasional, yang dibutakan sedemikian rupa sehingga akibatnya adalah kewajiban bagi negara-negara yang ikut serta.
Maka peraturan internasional suatu pedesaan harus mencerminkan, bahkan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati.
Dalam perjanjian damai yang dibuat antara sekutu dan Jepang yang dilaksanakan dan ditandatangani di San-Francisco pada tahun 1951 dalam pasal-pasal yang ada tertulis bahwa Jepang tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan dan menggantungkan perihal keamanan kepada mekanisme PBB.
dibuatnya ketentuan ini sebagai pencegah bahwa jepang tidak akan lagi menjadi sumber masalah bagi dunia.
Ketentuan dalam perjanjian ini berimplikasi pada kebijakan dalam negeri Jepang di mana Jepang tidak dapat memiliki kekuatan perang dan bergantung pada negara lain untuk masalah keamanannya.
Sama hal nya ketentuan yang diprakarsai oleh sekutu untuk menekan kemampuan italia dengan mengaturnya pada perjanjian perang yang ditandatangani kedua belah pihak.
Cepat atau lambat, tindakan umum memiliki perbedaan menjadi lokomotif perubahan berdasarkan fakta bahwa regulasi global adalah alat politik yang terutama didasarkan pada kenyataan bahwa interaksi global selama negara memiliki pengaruh terhadap perbedaan.
Hukum internasional adalah instrument yang dalam pemanfaatannya digunakan sebagai instrument; menekan atau menolak tekanan dari negara lain.
Menurut pandangan voluntarisme hakikat dan berlakunya hukum internasional adalah didasarkan pada atau tidaknya kemauan Negara untuk tunduk pada hukum Internasional.
Voluntarisme hanya melihat hukum internasional sebagai sebuah perjanjian internasional yang di dasari kesepakatan negara-negara saja, inilah yang menjadi kelemahan pandangan voluntarisme.
Dalam hukum Internasional terdapat pula hukum kebiasaan Internasional dan asas-asas umum hukum yang dapat dijalankan tanpa persetujuan Negara.
Berbeda dengan pandangan voluntarisme tersebut, pandangan objektivisme yaitu hakikat berlakunya hukum Internasional adalah terlepas dari ada atau tidaknya kemauan negara untuk tunduk pada ketentuan hukum internasional.
Akibat dari bertolak belakangnya kedua pandangan tersebut, menimbulkan dua sudut pandang yang berbeda terkait hubungan hukum Internasional dan hukum nasional.
Menurut pandangan voluntarisme melihat hukum internasional dan hukum nasional adalah hukum yang berdiri masing-masing, jika ingin di gabungkan maka harus ada transformasi hukum internasional ke hukum nasional.
Sebaliknya menurut pandangan objektivisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu sistem hukum, berlakunya hukum internasional dan hukum nasional terlepas dari adanya kemauan negara atau tidak.
Membahas hubungan hukum internasional ke dalam hukum positif negara, pada dasarnya membahas adopsi ketentuan-ketentuan hukum internasional ke dalam hukum nasional, atau melihat bagaimana ketentuan-ketentuan hukum internasional ke dalam hukum nasional.
Menurut UUD 1945, menyatakan dan mendukung bahwa penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan, berarti bahwa Indonesian menyetujui atau ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia dengan cara mengikuti hukum-hukum internasional.
Dapat diketahui dari uraian di atas bahwa berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional dapat dikatakan bahwa tidak semua ketentuan hukum internasional mengikat sebuah negara, kecuali terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlakunya tidak memerlukan ratifikasi.
Dengan kata lain hukum nasional tunduk terhadap hukum internasional sebagai hukum yang bersifat koordinatif.