Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change 2021 memperingatkan bahwa peristiwa cuaca ekstrem cenderung menjadi lebih sering sebagai akibat dari perubahan iklim.
Meskipun kebakaran hutan adalah fenomena alam, gelombang panas dan kekeringan yang memecahkan rekor tahun ini telah meningkatkan frekuensi, kekuatan, dan dampaknya.
Pada tahun 2021, sebagian Eropa dan Amerika Utara mengalami musim kebakaran terburuk yang pernah tercatat.
Di Indonesia, Tapanuli Selatan merupakan salah satu bastion terakhir di lahan gambut Pulau Sumatera.
"Kebakaran gambut begitu sulit dipadamkan. Saat lahan gambut dibakar, kami sangat frustasi dengan dampak buruknya terhadap kesehatan kami dan bagaimana menghentikan penyebaran api, ”kata Polaria Derita Sianipar, seorang wanita berusia 50 tahun yang tinggal di Muara Manompas – sebuah desa yang terletak di lahan gambut di Kecamatan Muara Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Sehari-hari ia membantu suaminya merawat kebun sawit seluas 2 hektar yang menjadi sumber penghasilan mereka. Tahun demi tahun, ia melihat bahwa hasil panen menurun, dan banyak pohon palem yang tumbang karena subsidensi gambut.
Pada tanggal 9 Agustus 2020 telah terjadi kebakaran lahan gambut. Sumber api berasal dari area yang berdekatan dengan zona konsesi kelapa sawit yang berlangsung selama 9 hari dan membakar setidaknya 55 hektar lahan gambut di lahan desa.
Lokasinya tidak terlalu dekat dengan perkebunannya, namun, api dapat dengan cepat menyebar ke bawah lahan gambut dan mencapai perkebunannya.
Saat itu, Polaria dan beberapa perempuan memutuskan untuk bergabung dengan kelompok masyarakat dalam pemadaman kebakaran gambut.
Hampir 70% dari luas lahan gambut di kabupaten Tapanuli Selatan telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar yang menerapkan drainase.
Drainase gambut dan konversi menjadi kelapa sawit telah berlangsung selama 30 tahun terakhir, tidak hanya oleh perusahaan swasta, tetapi juga oleh masyarakat. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan risiko kebakaran gambut.
Spesies pohon gambut asli telah digantikan oleh monokultur kelapa sawit, berdampak pada keanekaragaman hayati setempat. Produktivitas kelapa sawit di lahan gambut rendah, banyak sawit yang tumbang sebelum berbuah sehingga mengurangi manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Partners for Resilience (PfR), aliansi Palang Merah Belanda (agen utama), sebuah jaringan global yang terdiri dari sekitar 50 organisasi masyarakat sipil dan jaringannya bekerja di daerah rawan bahaya untuk memperkuat ketahanan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana yang meningkat.
Berdasarkan situasi ini, United Nations Environment Programme (UNEP) dan Partners for Resilience (PfR) memilih lokasi ini sebagai area percontohan untuk Program Restorasi Lahan Gambut Berbasis Masyarakat yang dibiayai oleh European Commission Department for International Partnerships (EC-INTPA).
Program ini berfokus pada peningkatan kemampuan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran gambut, yang dipadukan dengan upaya pemulihan hidrologi lahan gambut, dengan pembasahan, penanaman kembali jenis pohon asli, penghapusan budidaya kelapa sawit secara bertahap, dan revitalisasi sumber daya masyarakat serta mata pencaharian.
Kelompok masyarakat dibentuk dan dilatih dalam pemantauan ketinggian air untuk mengantisipasi dan menilai risiko kebakaran gambut, serta dalam mencegah dan memadamkan kebakaran gambut.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut membuat mereka berhak untuk menandatangani perjanjian bio-rights (pinjaman bersyarat).
Mekanisme bio-rights diterapkan dalam proyek seperti penyediaan pelatihan masyarakat dan pinjaman bersyarat terbatas untuk kegiatan mata pencaharian alternatif, dan berpartisipasi aktif dalam inisiatif restorasi gambut.
Anggota komunitas ikut serta dalam pengukuran muka air gambut dan pembuatan alat peringatan dini, lubang bor, dan sumur celup (sumur pemantau muka air gambut).
Kelompok masyarakat juga diminta menyiapkan bibit untuk penanaman kembali lahan gambut yang terdegradasi dan memelihara pembibitan pohon.
Sebagai imbalannya, mereka akan menerima pinjaman bersyarat tanpa bunga untuk pengembangan usaha skala kecil yang berkelanjutan untuk menghasilkan keuntungan tambahan dan meningkatkan mata pencaharian mereka.
Pinjaman ini akan berubah menjadi hibah setelah kelompok masyarakat mampu mencegah kebakaran gambut di lokasi proyek dan memastikan 80% tingkat kelangsungan hidup tanaman gambut asli yang ditanam.
Belakangan, komunitas mengusulkan inisiatif baru. Sebagai contoh, menanggapi insiden kebakaran gambut pada Agustus 2020, masyarakat mengusulkan untuk membangun 4 kanal besar di lokasi yang rawan kebakaran, untuk memastikan bahwa gambut dibasahi kembali sehingga tidak mudah terbakar.
Sejak Januari 2021, rapat koordinasi rutin dan kegiatan kolektif pencegahan kebakaran dilakukan.
Kemudian, di bulan Maret 2021, masyarakat dengan sumber daya sendiri membangun 11 menara pemantauan lahan gambut untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya kebakaran di musim kemarau mendatang.
Mereka juga membangun 29 unit penampungan air untuk menyediakan sumber air untuk pembasahan gambut sekaligus untuk pemadaman kebakaran.
Sejak kejadian di bulan Agustus, tidak ada lagi kebakaran gambut skala besar yang dilaporkan, karena tim patroli telah mengelola titik panas sejak dini.
Selain kegiatan pencegahan kebakaran dan pembasahan gambut, warga juga melakukan penanaman bibit jelutung untuk revegetasi.
Dalam hal kegiatan penghidupan baru yang lebih berkelanjutan, anggota masyarakat telah menanam tanaman asli Jelutung di lahan target revegetasi seluas 50 hektar.
Jelutung dikenal dengan lateksnya, yang dapat digunakan sebagai bahan permen karet atau produk berbahan dasar lateks lainnya yang diharapkan dapat dipanen lateks 7 tahun mendatang.
Untuk memastikan masyarakat memiliki sumber pendapatan lain sebelum panen lateks, usaha kecil dikembangkan dengan menggunakan dana bio-rights yang disediakan oleh program. 15 usaha kecil dari berbagai jenis sudah berjalan secara individu atau kolektif. Dengan modal awal 100 hingga 150 euro/orang pada tahap pertama, keuntungan yang diperoleh dari bisnis berkisar antara 40 hingga 320 Eur/bulan.
“Kami sangat bersyukur karena kami dapat melindungi lahan gambut kami melalui program ini. Itu berdampak besar bagi kami, di tanah kami, yang terlindung dari api. Kami dapat mengumpulkan simpanan berupa tanaman yang dapat kami panen di masa mendatang, dan dengan pinjaman tersebut kami dapat memulai usaha kecil-kecilan di rumah dan menambah pendapatan keluarga kami”, ujar Polaria.