Kekuasaan Abbasiyah dalam Sejarah Peradaban Islam, memiliki arah kebijakan tentu berbeda dari kekuasaan sebelumnya, yakni Umayyah yang lebih mengedepankan ekspansi imperium Islam dalam segi militer dan perluasan wilayah, di samping terkesan Arab-sentris dalam tata kelola pemerintahan dan struktural jabatan.
Khalifah pertama Abbasiyah, yakni Abu Abbas As-Saffah (750 M) telah meletakan pondasi kuat dalam pembangunan kekuasaan Abbasiyah, yakni ditandai dengan meletakan berbagai kemenangan serta menumpas musuh-musuhnya, di masa ketika transisi kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, sehingga beliau dijuluki As-Saffah (sang penumpah darah).
Pasca diletakannya pondasi yang kuat oleh sang khalifah pertama, praktis hal tersebut berarti membukakan jalan untuk melapangkan berbagai kegiatan, termasuk dalam hal ini arah kebijakannya yang lebih mengedepankan kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta menumbuh-kembangkan tradisi berpikir filsafat-rasional masyarakat.
Melihat perbedaan orientasi Umayyah dan Abbasiyah, konsekuensinya, maka tren lama Umayyah yang selalu mengedepankan Arab-sentris lama-kelamaan mulai redup. Hal ini dipahami, sebab "kebudayaan" sebagai lokus utama arah kebijakan Abbasiyah, adalah barangnya setiap manusia di segala waktu dan tempat yang berbeda.
Kebudayaan, dengan segala wawasan di dalamnya, mutlak dimiliki oleh setiap Bangsa, tidak selalu Arab. Pada kasus ini, setidaknya dimiliki juga oleh ragam Bangsa, sebut saja Yunani, Persia, Mesir dan Bangsa lain Pra Islam-Abbasiyah.
Menandai kebangkitan semangat ilmiah pada masa itu, bermula ketika Khalifah Abu Jafar Al Mansur (754 – 775 M) mengangkat wazir (perdana menteri) dari keluarga Bermakid, Khalid bin Birmak, yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan.
Pada literatur yang lain, Ahmad Syalabi mencatat setidaknya terdapat dua hal yang menandai kebangkitan semangat ilmiah pada waktu itu. Pertama, kegiatan menyusun buku ilmiah.
Era sebelum Abbasiyah, para Imam dan perawi hadist berbicara menurut hafalan mereka, atau meriwayatkan ilmunya dari halaman yang tidak teratur. Sejak masa Abbasiyah, dimulailah penyusunan suatu rangkaian buku-buku yang teratur, baik dari tahap isi ataupun segi penyusunan.
Kedua, proyek penerjemahan karya-karya asing. Perlu diketahui, proyek ini tidak diartikan sebagai editor yang mengartikan karya secara kata/kalimat. Melainkan, gambaran utuh dan berulang tentang koreksian sekaligus kritik karya-karya lama; upaya kreatif penggabungan dan kritikan sehingga terciptalah karya baru yang orisinal.
Bagaimana dengan fasilitas yang mendukung pengembangan ilmu dan pengetahuan, pada masa Abbasiyah?
Upaya menggalakan ilmu pengetahuan, akan berjalan dengan semestinya ketika kekuasaan dengan segala fasilitasnya hadir di sana. Begitu pun pada masa Abbasiyah, umpamanya disediakan balai pertemuan ilmiah Bait al Hikmah (rumah kebijaksanaan) pada masa Al Makmun 813 M. Aktivitas balai itu mencakup tiga kegiatan utama, yakni diskusi ragam kalangan-lintas wawasan, pusat kegiatan terjemahan sekaligus disimpannya catatan/buku tersebut.
Rumah kebijaksanaan (Bait al Hikmah) ruang lingkupnya bertentangan dengan definisi modern tentang yayasan pendidikan. Dalam rumah kebijaksanaan ini; universitas, perpustakaan, badan penerjemahan dan laboratorium penelitian berada dalam satu lokasi. Balai itu, ramai dikunjungi oleh ahli hukum, ilmu, sastra, agama dan bahasa. Mereka berbincang dan bertukar pikiran dalam segala permasalahan ilmu dan pengetahuan.
Praktis dipahami, upaya menggalakan semangat berilmu itu kelak membuahkan hasil yang cemerlang dalam Sejarah Peradaban Islam, yakni bermunculan tokoh-tokoh mashsyur semisal Al Kindi, Al Khawarizmi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd dalam ragam pengetahuan seperti matematika, astronomi, kedokteran bahkan filsafat.
Pertanyaannya adalah apakah ceritanya selalu indah begitu?
Kenyataanya, cerita itu --kemajuan dan perkembangan hebat ilmu pada Masa Abbasiyah, tidak selalu indah, seperti apa yang kemudian dialami Ikhwan As-shafa.
Ikhwan As-shafa, Gejolak dan Relasi
Ikhwan As-shafa (The Brethren of Purity), merupakan sekelompok pemikir yang menghimpun para pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat Islam (filosofi-religius), diperkirakan lahir di Kota Basrah, Irak sekarang. Ikhwan As-shafa muncul pada abad 10 M, ketika kekuasaan Abbasiyah berada pada fase disintegrasi (847 – 1258 M), setidaknya jika merujuk pada tulisan Nasution berjudul Sejarah Peradaban Islam.
Ikhwan As-shafa, sebagai pegiat filsafat Islam, banyak mengemukakan gagasan yang melompat jauh ke depan. Mereka terjun bersama ego sekaligus kegilaan mengambil keputusan, justru dilalui untuk melepaskan diri dari kerumunan yang ramai dan sesak dengan cara yang sunyi.
Terlihat dari istilah yang diangkat Ikhwan As-shafa, yang memiliki arti sebagai “saudara-saudara suci”. Dalam anggapan mereka, rasa persaudaraan antar sesama manusia pada waktu itu telah terkoyak, ta'awun (tolong menolong) telah hilang. Karenanya, mereka –Ikhwan As-shafa, berniat untuk kembali merajut apa yang telah hilang –rusak itu, dengan mengadakan kajian, uji gagasan dan belajar kembali tentang filsafat Islam yang epiphany (mencerahkan).
Nicholson dalam A Literary History of the Arabs mengatakan, meski Ikhwan As-shafa merahasiakan identitasnya, diketahui beberapa nama seperti Abu Sulaiman, Mashar Al Bayusti, Abu Hasan Ali, Al Anjani al Mihranjani, Al Awfi dan Zayd bin Rifai adalah orang yang disebut-sebut sebagai pendiri kelompok pemikir yang menamakan diri sebagai Ikhwan As-shafa.
Siapa mereka? Penulis sampai saat ini belum menemukan catatan memadai mengenai ketokohan mereka. Hanya, beberapa literatur terkait, selalu menyebut beberapa nama di atas sebagai pendiri, selalu disebut ketika Ikhwan As-shafa hadir sebagai lokus utama dalam sebuah tulisan.
Namun, yang pasti Ikhwan As-shafa diketahui “ada” pada masa itu didasarkan pada catatan tertulis yang mereka himpun dalam sebuah buku berjudul Rasail Ikhwan As-shafa, –merupakan suatu kumpulan risalah yang berjumlah sekitar 50 kajian dari ragam ilmu-lintas kebudayaan, terutama dipengaruhi oleh arus pemikiran Yunani.
Risalah itu terbagi dalam empat kelompok utama, yakni matematika (ar-riyadiyyat), ilmu kejiwaan (an nasaniyyah al aqliyyah), ilmu kealaman (al jismaniyyah at thabiyyah) dan ilmu ketuhanan/tafsir keagamaan (an namusiyyah al ilahiyyah wa asy syariyyah ad diniyyah). Karya klasik itu bertahan sampai saat ini, baik dalam bentuk digital ataupun manuskrip terjemahan, umpamanya yang diterbitkan oleh daarus shadir beirut. Dalam Bahasa Indonesia, bahkan ada terjemahannya berkat kerja sama Kementerian agama dan editor in Chief Prof. Mulyadhi Kertanegara.
Relasi politik (kuasa) atas keberadaan Ikhwan As-shafa yang diawal kita sebut sebagai cerita yang tidak melulu indah, adalah peristiwa pengangkatan orang-orang Turki dalam struktural jabatan kerajaan, yang mana paham mereka adalah bermahzab sunni. Dan, karenanya tidak jarang ada penekanan-penekanan terhadap kelompok lain, terutama dalam hal ini ditujukan pada para pemikir mu’tazilah dan syiah.
Selain itu, sejak era Al Mutawakkil 847 M, upaya melanjutkan tradisi berpikir mulai redup. Masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya, sehingga timbul persaingan tidak sehat dalam relasi kuasa-politik. Bahkan, menjurus pada timbulnya dekadensi moral.
Ikhwan As-shafa, dalam kaitanya dengan relasi tersebut adalah menyembunyikan identitasnya. Sebab, belakangan diketahui mereka memiliki kecenderungan paham syiah ismailiyyah yang mengakui adanya makna ekstorik (zhahir, bentuk) dan esoterik (batin).
Malah, diindikasikan Ikhwan As-shafa sebagai pengagum mu’tazilah, hal ini nampak dalam sebutan mereka Ikhwan As-shafa wa Khullan al wafa’ wa ahl adl wa arbab al haqo’iq wa ashab al maa’ni (Ikhwan As-shafa sahabat setiakawan, penegak keadilan dan pemelihara kebenaran serta pemilik makna).
Jelas, hal tersebut merupakan pengaruh dari mu’tazilah yang bangga dengan sebutan ahl at tauhid wa al adl (Penegak tauhid dan keadilan Ilahi).
Dengan begitu, Ikhwan As-shafa yang lahir justru dikerumunan sunni sebagai arus utama, di samping adanya pelarangan tradisi berpikir filsafat-rasional oleh penguasa, kemudian membuat Ikhwan As-shafa lebih memilih untuk menyembunyikan identitasnya (taqiyah).
Konsep ini (taqiyah: bersembunyi) dipergunakan apabila ada bahaya, baik dalam bentuk ancaman seseorang atau ketika berada dalam lingkungan yang umumnya bermusuhan.
Karenanya, sebagai kelompok yang membina dengan metode pengkaderan dan bukan berbasis massa ini lebih memilih untuk tetap menyembunyikan identitasnya. Dan, betul kiranya demikian, sebab catatan tertulis mereka yang tertuang dalam Rasail Ikhwan As-shafa wujudnya pun masih kita temui sampai hari ini.
Ini menandakan bahwa mereka memang benar “ada”, bukan?