Ijtimak Ulama III, yang diadakan pada Rabu (01/05/2019) lalu, meninggalkan beberapa catatan mendasar, baik dari segi subjek dan juga objektivitas.

Dari segi istilah yang dipakai, meskipun terkesan islami, namun tidak bisa dikatakan bahwa itu mewakili dari Islam keseluruhan atau umat muslim Indonesia secara khusus.

Pertanyaan pertama: apakah yang mengikuti ijtimak tersebut adalah benar-benar mereka yang masuk kategori ulama, seperti yang diberitakan Alquran dan Hadis?

Ulama dalam pandangan Alquran (35:28) adalah mereka"yang hanya hamba-hamba yang takut kepada Allah". Sementara memberi vonis apakah peserta Ijtimak Ulama III seperti yang tertera dalam ayat di atas sama sekali bukan wilayah logis. Tentu saja karena hal itu terkait intuisi (perasaan) yang tidak bisa dianalisis.

Akan tetapi, dalam tinjauan hadis Nabi saw, ada penjelasan mengenai karakter ulama yang sebenarnya. Sekaligus di sisi lain dapat digunakan untuk memberikan perspektif untuk konteks Ijtimak Ulama.

Ulama dalam pandangan hadis adalah mereka yang mewarisi keilmuan dari para nabi (waratsatul anbiya'). Lihat H.R At-Turmudzi nomor: 2682.

Keilmuan dalam hal ini, tentu yang paling pokok adalah keilmuan agama, namun juga tidak bisa menafikan ilmu-ilmu lain di luar agama yang saat ini makin berkembang. Misalnya ilmu politik (siyasah), penghitungan (hisab), dan sosial kemasyarakatan (ahwal al-mujtama').

Ilmu-ilmu tersebut, meski tidak bersumber langsung dari pokok agama Islam, namun menyelisihinya adalah sebuah kebodohan di tengah-tengah manusia.

Ijtimak Ulama dari yang I hingga ke-III, sejauh ini, tidak menonjolkan sisi keilmuan. Sayang sekali, di antara mereka tidak ditemukan ahli atau profesor bidang ilmu sosial-politik, juga ahli bidang statistik. Dua ahli dalam dua bidang tersebut seharusnya masuk dalam lingkaran Ijtimak Ulama, akan tetapi itu tidak terjadi.

Oleh sebab itulah otoritas keputusan ijtimak yang menghasilkan lima keputusan sangat tidak bisa dibenarkan, terlebih diyakini. Di sisi lain, kebanyakan peserta Iijtimak itu belum diketahui kehebatan ilmu agamanya. 

Banyak di antara mereka adalah tokoh nanggung yang belum layak mendapat kepercayaan di tengah masyarakat nasional. Juga ada profesor yang kredibilitasnya sudah jatuh jauh ke dalam jurang politik.

Ibnu Abbas mempunyai pandangan bahwa ulama yang sebenarnya ialah mereka para fuqaha' yang ahli dalam hukum Islam (Ibnu Mulqin, Syarh Al-Bukhori, vol. 3, hal. 328). 

Adakah di antara peserta Ijtimak itu sosok yang terpercaya dalam hal hukum Islam, misalnya telah mencapai standar seorang guru besar? Publik sepertinya tidak bisa seratus persen yakin akan adanya. 

Tentang bagaimana dengan Habib Rizieq Syihab yang dianggap sebagai Imam Besar yang mengomandoi arah gerakan Ijtimak tersebut. 

Memang benar bahwasanya yang bersangkutan adalah alumni program doktoral Universitas Sains Islam Malaysia, dengan fokus kajian ushuluddin. Akan tetapi, karier akademis sekaligus gerakannya sering mendapatkan kritikan (tersirat/tersurat) dari para ulama mayor di Indonesia.

Rizieq Syihab boleh jadi mendapat predikat ulama dengan gelar akademiknya. Jika dihubungkan dalam konteks Ijtimak Ulama III, maka artinya hanya ada satu ulama dalam gerakan tersebut, itu pun masih menyisakan penasaran terhadap kontroversi si ulama tadi yang hingga kini belum selesai (kasus asusila)

Problem lain Ijtimak Ulama adalah adanya pendiskreditan terhadap ulama lain. Informasi yang beredar menyebut bahwa Ijtima' Ulama III tiga tidak mengundang ulama lain yang sudah menjadi "cebong". Dari sini dapat dilihat bahwa Ijtimak yang telah diagendakan itu merupakan bentuk eksklusivitas, memisahkan diri (iftiraq).

Di samping minimnya keterlibatan mayoritas ulama Indonesia, pada dasarnya Ijtimak Ulama itu telah melanggar larangan Alquran agar umat Islam tidak berpecah (Ali Imran: 103). Namun, kenyataannya, yang terjadi adalah perpecahan itu sendiri sangat mungkin terjadi justru akibat adanya Ijtimak Ulama.

Dari pelbagai bahasan tersebut, masyarakat Indonesia pantas meragukan otoritas wacana Ijtimak yang syarat akan tujuan politis tersebut. Alih-alih membahas terobosan hukum Islam agar kompatibel dengan kondisi kekinian, mereka malah mendaku sebagai ulama tanpa hak dan mencoba mengintervensi sistem politik negara.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi yang sepertinya mendapatkan umpan silang politis dari Ijtimak Ulama III itu sangat disayangkan bila malah membuka diri untuk turut menggaungkan wacana yang digulirkan oleh Ijtimak Ulama III.

Ditinjau objektivitas Ijtima Ulama III, lima keputusan yang dihasilkan cenderung klise dan nol besar.

Poin pertama Ijtimak yang memutuskan bahwa telah terjadi kecurangan pilpres secara sistematis, masif, dan terstruktur adalah kesimpulan yang terlalu dini. 

Sejauh ini, kecurangan (baca: kelalaian KPU) memang ada, akan tetapi signifikansi hal itu tidak cukup memadai secara hukum positif untuk diserukan di masyarakat. Yang terjadi adalah Ijtimak Ulama seolah-olah telah memberikan tuduhan tanpa dasar kepada penyelenggara pemilu.

Poin-poin lain semacam dorongan agar KPU hingga Bawaslu dan masyarakat "mendiskualifilasi paslon 01 (Jokow-Ma'ruf)" atau framing "amar-ma'ruf dan nahi-munkar terkait keputusan pilpres yang dianggap curang" tidak bisa dibenarkan secara moral. Alasannya sederhana, mekanisme keputusan terkait pemilu diatur dalam konstitusi. Sementara tindakan di luar konstitusi seperti Ijtimak Ulama itu adalah upaya yang salah sambung yang dipaksakan.

Terakhir, ada sebuah pepatah: tong kosong berbunyi nyaring. Seperti itulah kelihatannya Ijtimak Ulama III.