Kalau suami-istri lupa menjadi suami-istri. Minimum ia tidak lupa menjadi bapak-ibu buat anaknya. Dengan demikian, prahara perceraian jauh dari kamus hidupnya. Keluarga bisa tetap berjalan dengan aman dan terkendali. Kita bisa melihat anak-anak kita tumbuh dewasa tanpa menyimpan lubang (cacat) di dalam jiwanya.

Menjadi suami-istri juga jangan terlalu berlebihan. Kebanyakan, suami-istri terlalu ngotot dan muluk-muluk terhadap ke-suami-istri-annya, akhirnya timbul kebosanan dan ketidak-puasan. Dan terjadilah: memutuskan berpisah dan cari pasangan lain.

Kalau ditanya alasannya apa, jawabannya (klise), "Sudah tidak cocok." Padahal pernikahan itu bukan tujuan utama hidup manusia. Ia cuma alat untuk menjadikanmu sebagai sesuatu. Mengenai sesuatu ini sangat relatif dan berbeda-beda--tergantung definisi setiap orang atas hidupnya masing-masing.

Yang jelas, sesuatu yang saya maksud di sini adalah kebutuhan aktualiasi diri, ialah puncak tertinggi kebutuhan manusia---kalau dalam bahasa teori hierarki kebutuhannya bapak psikoanalisis, Abraham Maslow. Contohnya Harry Tanoe, istri cantik, keluarganya harmonis, pengusaha, harta berlimpah, hidup bermewahan, tapi kenapa mau jadi politisi; mau jadi presiden?

Itu karena ada kebutuhan lain yang lebih tinggi dari semua yang sudah dia miliki itu---ialah kebutuhan aktualisasi diri; kebutuhan terhadap sesuatu yang cuma dia dan Tuhan yang tahu. Nah kembali lagi soal rumah tangga, pernikahan itu bisa berjalan dan langgeng sampai akhir hayat bukan karena hanya cinta suami terhadap istri atau istri terhadap suami, tetapi bisa lebih luas dari itu.

Bisa karena cinta suami/istri kepada anak, cinta suami/istri kepada keluarga pasangan, cinta suami/istri terhadap orangtua sendiri atau terhadap mertua, cinta suami terhadap saudara, sepupu, kerabat istri (?), cinta suami/istri terhadap tetangga (??), dan atau sebagainya, dan seterusnya.

Dalam kebudayaan saya sebagai orang Kei, Tual-Maluku Tenggara. Pernikahan itu dimaknai bukan hanya sebagai bersatunya sepasang lelaki dan wanita. Tapi lebih dari itu, ialah bersatunya dua mata-keluarga besar, dua klan, atau dua budaya. Maka kendatipun sepasang suami-istri telah bercerai; hubungan antar keluarga besar sebisa mungkin dijaga agar tidak ikut terputus.

Dalam perjalanan berumah tangga, pasangan menyukai orang lain itu bukan barang baru dan tabu. Namanya manusia itu makhluk yang berperasaan maka wajar jika ia menyukai atau bahkan jatuh cinta terhadap orang lain. Dan jika terjadi perceraian hanya karena faktor yang demikian maka, duh, kau masih terlalu diri-sendiri dan masih kuat egosentrisme di dalam dirimu.

Kalau ada kejadian yang seperti itu (baca: orang ketiga), maka jadikanlah cintamu yang lebih luas itu sebagai pertimbangan utama untuk memertahankan keutuhan rumah tanggamu. Sekali lagi (ingat), cinta itu luas, bukan hanya ikhwal antar pasangan. Dan tentu yang paling mendasar dan fundamental dari semua itu adalah komunikasi. Dengan komunikasi, saya haqul yakin, segala hal bisa diperjelaskan dan dicari jalan keluarnya.

Syahdan, begitulah yang saya terapkan dalam rumah tangga yang saya bangun belum sampai satu dekade ini. "Bangke lu, usia pernikahan baru seumur jagung udah sok berpetuah soal rumah tangga." Heuheu ... sebenarnya saya menulis ini buat diri saya sendiri. Untuk menjadi sugesti positif dalam membentengi keutuhan keluarga saya. Perkara nanti bagaimana itu misteri.

Tak ada manusia yang luput dari khilaf. Dan bukan berarti saya orang yang antiperceraian atau orang yang "proselingkuh saja yang penting rumah tangga utuh". Tapi melihat demografi orang-orang Indonesia yang senang personal attack, alangkah lebih bagusnya masalah-masalah seperti ini dijaga agar tak menjadi bumerang di kemudian hari.

Bilkhusus buat orang yang cita-citanya menjadi pejabat publik, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Tapi sepenting apakah sebuah rumah tangga sehingga harus mati-matian dipertahankan? Yah, kembali lagi ... semua tergantung definisimu tentang hidupmu sendiri. Wong bahkan tidak menikah seumur hidup sekalipun tak jadi masalah. Hidup, hidupmu dewe. Selama tak mengganggu kehidupan orang lain.

Yang terpenting, hidup itu harus punya prinsip. Tidak seperti netizen yang hidupnya hanya diombang-ambingkan oleh (sekadar) gossip. Ups, sorry!