Kemarin sore, sembari menunggu buka puasa, saya iseng membaca artikel-artikel di media sosial yang berhubungan dengan jurusan kuliah di perguruan tinggi seperti tips lolos masuk jurusan favorit sampai jurusan apa saja yang banyak diminati mahasiswa. Saya juga membaca berbagai komentar yang kebanyakan dilontarkan remaja baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Banyak dari mereka sakit kepala hanya untuk memilih jurusan kuliah.
Saya hanya membaca sekilas artikel-artikel tersebut karena saya pikir saya tak terlalu membutuhkannya. Yang menjadi perhatian saya malah komentar-komentar yang menanggapi artikel-artikel tersebut. Saya asyik membaca komentar tersebut. Sesekali saya cekikikan menahan tawa.
Dari berbagai macam komentar, pedas, pahit, manis, asem, ada satu komentar yang membuat saya berpikir sejenak. Ada salah satu remaja perempuan yang berkomentar dengan nada optimis. Intinya, dia bilang ingin masuk jurusan X agar bisa berkontribusi untuk negara. Remaja perempuan tersebut rupanya membayangkan bagaimana menjadi mahasiswa yang idealis. Saya merasa De Javu; saya pernah berada di posisimu, dek.
Masa-masa SMA, terutama memasuki semester akhir masa sekolah, peserta didik selalu diberikan gambaran-gambaran idealis oleh pendidik. ‘Kuliah nggak sama dengan sekolah’, ‘Jangan sampai salah pilih jurusan’, kamu harus memilih jurusan kuliah yang pas buat kamu’, dan sebagainya. Doktrin-doktrin ini yang membuat beberapa peserta didik merasa terbebani. Mereka menganggap jika salah memilih jurusan, nasibnya akan hancur.
Dalam benak remaja SMA, masa transisi menuju jenjang yang lebih tinggi adalah waktu yang paling krusial bagi kehidupan mereka. Mereka menganggap hidupnya dipertaruhkan pada waktu itu. Tak ayal tak sedikit yang berlaku ekstrim. Namun, setidaknya ada idealisme saat masa transisi tersebut; mereka ingin yang terbaik.
Mereka juga melihat bahwa mahasiswa adalah sosok pejuang yang pantang takut, persis yang digambarkan di layar kaca saat terjadi demonstrasi mahasiswa. Mahasiswa adalah sebuah status yang didambakan. Mereka hanya tidak tahu yang terjadi secara pasti di dunia kemahasiswaan. Yang tergambar di media massa kadang tak bisa dijadikan generalisasi kehidupan mahasiswa sesungguhnya.
Dulu, ketika saya berada pada posisi mereka, saya juga seperti itu. Berusaha maksimal untuk lolos di jurusan kuliah yang saya inginkan. Saya belajar tak kenal waktu. Saya berdoa sepanjang hari. Satu hal yang saya harapkan adalah menjadi mahasiswa dengan jaket almamater kebanggaan, masuk jurusan yang pas buat saya, dan bisa berkontribusi untuk negara dengan karya-karya saya.
Idealisme, yang dipahami sebagai suatu patokan kebenaran di dalam pemikiran dan cita-cita sebenarnya ada pada diri masing-masing individu. Menurut saya, orang yang idealis adalah orang yang berani memperjuangkan cita-citanya tanpa tunduk oleh intervensi-intervensi yang menggoyahkan. Mereka mengaggap ide tersebut ideal bagi kehidupannya.
Ketika sudah menjadi mahasiswa, realita tak sepenuhnya sama
Saya sudah berada di jurusan yang saya inginkan saat SMA. Saya juga masih ingat apa mimpi saya ketika saya meninggalkan bangku SMA. Bayangan-bayangan idealis sebagai mahasiswa perlahan sirna setelah beberapa tahun merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi mahasiswa.
Ketika dulu impiannya adalah berbuat yang terbaik untuk negara, nyatanya kehidupan mahasiswa lebih banyak disibukkan untuk memikirkan nilai-nilai ujian. Kalau nilaimu jelek, pilihannya hanya dua; tidak lulus atau mengulang dengan konsekuensi lebih lama mendekam di kampus dan tentunya membayar biaya lebih banyak. Mahasiswa yang bernapas dengan beasiswa harus lebih extramile dari mahasiswa ‘biasa’.
Tak ada waktu untuk melakukan yang terbaik untuk negara (oh, beberapa dosen sih berkata bahwa mendapat nilai bagus adalah salah satu cara melakukan yang terbaik untuk negara). Mahasiswa disibukkan dengan hal-hal yang berbau administratif; pengurusan berkas yang bejibun dan pembayaran biaya pendidikan yang membuatmu tak lulus jika tak bisa membayarnya. Sadar atau tidak, dunia perkuliahan lebih banyak disibukkan dengan urusan-urusan seperti itu.
Esensi lembaga pendidikan tinggi semakin memudar karena sudah diinvasi oleh logika pasar. Tak heran mahasiswa-mahasiswa yang tadinya berpikir idealis; ingin melakukan yang terbaik untuk negara, tiba-tiba salah arah. Hanya sibuk mengurus nilai yang jelek dan mengulang mata kuliah yang diampu oleh dosen ‘jahanam’, tanpa benar-benar paham tentang materi yang (harusnya) diajarkan. Tujuannya hanya satu; bergegas lulus dari kampus.
Mau tidak mau, kebijakan yang ada harus dituruti, jika tak mau mendekam di kampus lebih lama dan membayar biaya pendidikan yang membengkak. Kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa yang realistis dengan hidupnya. Jika tidak boleh realis, maukah kita membiayai kehidupannya?
Terlalu naif beranggapan bahwa semua mahasiswa adalah aktor idealis bangsa. Realitanya tak demikian, bung! Meski ada beberapa mahasiswa yang berprestasi dan menciptakan karya yang bernilai tinggi, apakah semua mahasiswa seperti itu? Jika Tan Malaka pernah berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki mahasiswa, beberapa mahasiswa mungkin enggan ‘hidup mewah’ seperti kata Tan tersebut.
Pada akhirnya, menjadi idealis atau realis bukan urusan saya. Pun ketika ada yang memilih untuk menjalani hidup secara idealis-realis. Semuanya tergantung kepada mahasiswa itu sendiri, juga sistem pendidikan yang ada. Penting atau tidaknya menjadi idealis tergantung kepada keyakinan masing-masing. Yang perlu diingat, tugas mahasiswa bukan hanya belajar. Jika hanya belajar, orang tak bersekolah juga bisa melakukannya.
Semoga, para calon mahasiswa yang nantinya ingin menjadi mahasiswa idealis tidak hanya memiliki bayangan utopis. Pun dengan calon mahasiswa yang sejak awal ingin ongkang-ongkang sikil. Menjadi idealis atau tidak adalah hak seluruh mahasiswa.