Berawal dari komunitas ibu peduli sampah keluarga, saya berkenalan dengan life style yang satu ini. Gaya hidup minimalis. Sungguh bersyukur bisa mengenalnya. Ada yang berbeda dengannya.
Saya mulai perlahan mencari tahu. Kemudian mencoba memahaminya : cara berpikirnya dan caranya menjalani hari-harinya. Sepertinya saya menemukan chemistry dengannya.
Gaya hidup ini membuat saya sebagai wanita yang ditakdirkan juga sebagai seorang ibu kini menjadi lebih tenang. Dulu kala, sering kali saya tergoda kalau lihat bando imut, pita yang gemes atau hijab cilik yang trendi. Kepengen belikan buat anak cewek. Pasti dia tambah lucu kalau pakai itu. Pernak-pernik anak cewek begitu menggoda.
Tambah lagi pas lihat diskonan tanggal kembar di lapak online, meski asli nya kurang butuh sama barang yang lagi promo, kayaknya eman kalau tidak klik tombol beli. Pas barangnya datang, hati senang. Sekejap kemudian kebingungan menyimpannya dimana dan buat apa juga. Wah..wah..
Godaan kayak begitu datang bergiliran dan terus bermunculan. Bingung juga kan?.
Bela beli ini itu juga penting lah.., kan bisa dipakai nanti atau jaga-jaga kalau pas butuh. Tidak perlu pinjam barang ke sana sini pas ada acara keluarga, atau arisan dan sebagainya. Pun, eman murah kalau tidak beli. Manfaat nya buat anak dan suami juga.
Duh, begitulah. Aneka pemakluman digelontorkan. Sampai kemudian lahirlah slogan : Beli dulu menyesal kemudian.
Bingung sekali juga ketika mau ke kondangan, bingung pakai outfit yang kece badai. Alhasil beli dan beli lagi. Koleksi bertambah dan terus bertambah.
Duhai diri, kapan tobatnya?. Bisik hati yang mulai resah dan gelisah. Bukan karena mendengar lagu Betaria Sonata, lho ya..
Sampai kemudian, saya mendengar penuturan seorang sahabat. Dia terbiasa mendonasikan baju yang sudah tidak terpakai tapi layak pakai ketika dia mendapatkan baju gratisan alias seragam baru dari tempat kerjanya.
Dia juga memperlihatkan satu-satunya sepatu yang dimilikinya. Sepatu yang multi fungsi versinya. Sepatunya berwarna hitam karena memang aturan di tempat kerja harus memakai sepatu warna itu. Sengaja dipilihnya sepatu flat, sehingga bisa dia pakai kemana-mana bahkan ke pasar juga. Kok bisa ya? Pikir saya yang masih begitu cinta dengan baju dan pernak perniknya.
Dengan penuturan sahabat saya itu, hidayah untuk tobat mulai menyapa lembut di telinga. Belum di hati. Duh..duh..
Ya, berawal dari komunitas ibu peduli sampah, mulai terbuka sedikit demi sedikit apa itu gaya hidup minimalis. Penjelasan yang runtut dari wanita yang usianya dibawah usia saya.
Dengan gaya hidup minimalis, kita memilih untuk menjalani hidup lebih ringan. Kita akan lebih fokus dengan hal yang penting-penting saja. Mencoba menyederhanakan hidup. Hidup itu sebenarnya nggak ruwet amat, tuturnya. Baiklah, saya mencoba mengunyah penjelasannya.
Seorang ibu perlu belajar gaya hidup minimalis ini lho. Secara bawaannya, seorang ibu memiliki kecendrungan suka mengoleksi barang-barang, juga kenangan. "Ah, jangan dibuang, sepeda itu kenangan saat kamu pertama kali bisa bersepeda". Begitu ucap ibu saat berat melepas barang yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan lagi
Gaya hidup minimalis ini memprovokasi ibu untuk menciptakan rasa 'cukup' di dada. Bukan menjadikan belanja sebagai mood boaster. Perlu latihan untuk menaklukan tantangan untuk tidak gampang terpesona dengan rayuan berbagai varian perkakas rumah tangga yang terus update, baju kekinian, mainan anak- anak yang ngetren, atau apapun itu.
Gaya hidup ini juga mengajak ibu untuk lebih memilah dan memilih mana yang perlu dibeli segera atau ditunda atau bahkan tidak perlu membelinya. Secara naluri, ibu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak tercinta
Pas jaman anak masih belum bisa jalan, ibu berencana membelikan stroler buat jalan-jalan sore keliling kompleks. Padahal umur penggunaan stroler tak lebih dari tiga tahun. Pun, penggunaan stroler tidak setiap hari juga. Begitu juga dengan berbagai mainan anak. Ada jenis-jenis mainan yang tidak dipakai lagi ketika anak beranjak besar.
Maka, bolehlah ibu melirik alternatif selain membeli. Misalnya, dengan menyewanya di tempat penyewaan barang-barang kebutuhan anak yang sekarang sudah menjamur. Dengan begitu, rumah tidak terasa sesak dengan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Ibu hanya menata dan merawat barang yang penting dan berharga.
Tugas ibu sebagai 'house keeper' semakin ringan. Tingkat stres ibu juga jauh berkurang. Ditambah bonus berupa penghematan sekian rupiah yang bisa di gunakan sebagai tabungan. Jadinya, 'less spending, more saving'. Senangkan kalau tabungannya menggendut?
Ketika ibu memiliki gaya hidup yang demikian, maka sejatinya ibu telah menjadi contoh nyata pada anak-anaknya. Anak akan meniru kebiasaan-kebiasaan ibunya. Anak akan belajar merawat dan menjaga barang-barang pribadinya.
Tak ada lagi drama pensil, penghapus atau buku yang hilang di sekolahnya. Anak juga mengimitasi perilaku ibu dalam berbelanja. Mereka belajar melihat mana yang penting dan tidak untuk dimiliki. Meniru gaya ibunya yang bijak berkonsumsi. Tidak menjadi pribadi yang konsumtif.
Seistimewa itu seorang ibu. Pesona dan gaya hidupnya akan memancar ke sekitarnya : anak, suami dan lingkungan sekitarnya. Mari ibu, belajar menerapkan gaya hidup minimalis ini di rumah kita.