Upaya Ibn Rushd merehabilitasi nama Aristoteles memiliki dampak ganda. Pada satu sisi, kerja kerasnya itu membantu orang untuk mengerti filsafat Aristoteles secara benar dan memisahkan mana yang Aristoteles dan mana yang Pseudo-Aristoteles.
Pada sisi lain, Gereja menganggap usahanya itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi iman dan masa depan kekristenan. Dengan mengajarkan Aristoteles secara murni berarti menjauhkan ajaran-ajaran filsuf agung itu dari kekristenan. Dalam Aristoteles yang belum ditafsirkan, Kristen tak memiliki tempat.
Konsekuensi selanjutnya bergulir sangat liar. Aristoteles lewat Ibn Rushd menjadi orang berbeda dari yang selama ini dikenal Gereja. Sejak Santo Augustine, Gereja cuma mengenal satu Aristoteles, yakni Aristoteles yang berkompromi terhadap ajaran-ajaran Gereja.
Tak ada pertentangan antara doktrin Aristoteles dengan ajaran Kristen. Jika pandangan Aristoteles bertentangan dengan Gereja, maka para rahib dan pendeta akan menafsirkannya sedemikian rupa sehingga tak ada pertentangan. Kristen memiliki banyak ruang dalam Aristoteles.
Di tangan Ibn Rushd, Aristoteles menjadi dirinya sendiri. Dan ini menyusahkan Gereja. Ibn Rushd telah mengacaukan hubungan harmonis antara Aristoteles dan kekristenan yang telah dibina ratusan tahun.
Menjelang akhir abad ke-13, dunia Kristen di Eropa terbelah dua. Pertama, orang-orang yang mendukung Ibn Rushd dan merasa berterima kasih kepadanya karena telah mengenalkan Aristoteles yang aseli kepada mereka. Kedua, para tokoh Gereja yang merasa terancam dengan pengetahuan baru yang bisa meruntuhkan otoritas mereka.
Kelompok pertama dimotori oleh sarjana-sarjana kritis seperti Siger Barabant dan Boethius Dacia. Kelompok kedua diwakili oleh para penguasa Gereja seperti Etienne Tempier, Uskup Paris. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok pertama dikenal dengan sebutan Averroist dan pemikiran-pemikirannya disebut Averroisme.
Yang membuat Gereja resah (dan marah) sebetulnya bukan hanya upaya Ibn Rushd menceraikan ajaran-ajaran kekristenan dari Aristotle, tapi beberapa pandangan Ibn Rushd yang diikuti kaum Averroist sungguh sangat berbahaya. Salah satu ajaran yang dianggap berbahaya itu adalah apa yang kemudian dikenal di dalam sejarah filsafat Barat sebagai “kebenaran ganda”.
Secara singkat, kebenaran ganda berarti adanya dua kebenaran yang bisa diterima manusia, yakni kebenaran yang datang dari kitab suci (wahyu) dan kebenaran yang datang dari akal pikiran. Pandangan ini tidak bisa diterima.
Selama berabad-abad, Gereja hanya meyakini satu kebenaran, yakni kebenaran yang datang dari Allah (wahyu). Di luar itu adalah kebenaran semu yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Akal manusia tak bisa diperhadapkan dengan kitab suci. Jika ada pertentangan antara keduanya, kitab suci harus dimenangkan.
Pandangan semacam itu sebetulnya bukan hanya milik Gereja. Di dunia Islam, paradigma pemikiran yang mendominasi kesarjanaan Islam juga seperti itu. Tak ada yang bisa melampaui kebenaran kitab suci.
Para ahli hukum Islam (fuqaha) dengan tegas menempatkan akal pikiran (qiyas) berada di posisi ketiga atau keempat dalam sumber pengambilan hukum, setelah Alquran dan Sunnah. Hampir tak ada yang mempertanyakan superioritas kitab suci ini. Jika Ibn Sina tak tertarik mengusik kemapanan itu, jangan berharap pada al-Ghazali.
Ibn Rushd menjelaskan posisinya dalam melihat peran akal dan wahyu dalam berbagai karyanya. Namun, penjelasan yang paling gamblang dia kemukakan dalam sebuah buku tipis yang lebih menyerupai makalah, berjudul Fasl al-Maqal wa Taqrir ma Bayna al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal (kata putus tentang harmonisasi antara agama dan filsafat).
Buku ini tidak termasuk dalam daftar buku-buku yang diterjemahkan di Toledo, tapi besar kemungkinan para Averroist menerima pandangan-pandangan Ibn Rushd tentang akal dan wahyu dari membaca terjemahan Ibrani atau dari guru-guru mereka yang mempunyai akses langsung ke buku tersebut.
Fasl al-Maqal ditulis dengan bahasa yang cukup mudah dan agaknya memang didedikasikan Ibn Rushd untuk pembaca awam. Buku ini ditulis sebagai respons meningkatnya “fundamentalisme” dan meruyaknya gerakan anti-akal di dunia Islam.
Sejak al-Ghazali menerbitkan buku polemisnya, Tahafut al-Falasifah, keberadaan filsafat makin terancam. Para ulama berlomba-lomba mengeluarkan fatwa haram mempelajari filsafat.
Kaum fundamentalis melarang buku-buku filsafat. Beberapa dari mereka bahkan bersikap ekstrem dengan membakar buku-buku tersebut, termasuk yang mereka lakukan kemudian: membakar buku-buku Ibn Rushd.
Sebagai seorang faqih, Ibn Rushd cukup cerdik menjawab persoalan status mempelajari filsafat. Menurutnya, pengharaman filsafat tidak dilakukan lewat kajian yang mendalam. Tapi, sebaliknya, dilakukan secara tergesa-gesa dan tak berpijak pada metode yang benar.
Menurutnya, status hukum dalam fikih bukan hanya halal dan haram, tapi ada kategori lain, yakni mubah (boleh), mahdzur/makruh (tak dianjurkan), nadb/sunnah (dianjurkan), dan wajib (diharuskan). Memilih status haram adalah tindakan gegabah yang tak berpijak pada prinsip kehati-hatian yang dianjurkan Islam dalam setiap memutuskan perkara.
Setelah meneliti berbagai dalil dan menelisik kemungkinan-kemungkinan yang didapat orang dari belajar filsafat, Ibn Rushd berpendapat bahwa mempelajari filsafat itu bukan haram hukumnya, tapi wajib atau—paling tidak—sunnah.
Selain berpegang pada alasan rasional, Ibn Rushd juga merujuk pada ayat-ayat Aquran yang intinya menganjurkan kaum Muslim untuk berpikir dan menggunakan akal pikirannya, seperti yang termaktub secara gamblang dalam surah al-Hasyr (59:2), al-A’raf (7:184), al-An’am (6:75), dan Ali ‘Imran (3:191).
Menurut Ibn Rushd, akal dan wahyu tak bisa dipertentangkan. Kedua-duanya harus dihormati dan dijunjung tinggi. Akal adalah alat untuk memahami ayat-ayat Allah. Tanpa akal, ayat-ayat itu tak ada artinya. Akal dan wahyu tak boleh dipertentangkan, tetapi harus diharmonisasikan. Jika ada pertentangan antara keduanya, maka wahyu harus ditafsirkan.
fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika, wa idza kana mukhalifan thuliba ta’wiluhu (jika ada persetujuan [antara wahyu dan akal], tak ada yang perlu dikatakan. Tapi, jika ada pertentangan, maka wahyu haruslah ditafsirkan) (Fasl al-Maqal, hal. 35).
Jelas sekali pembelaan Ibn Rushd terhadap akal pikiran. Jika ada ayat-ayat Alquran yang bertentangan dengan akal pikiran manusia, bukan akal yang harus ditundukkan, tapi ayat-ayat itu yang harus dita’wilkan.
Menurut Ibn Rushd, Allah menggunakan simbol-simbol dalam menyampaikan pesannya. Seluruh bahasa dalam Alquran adalah simbol yang bisa ditafsirkan.
Implikasi pandangan Ibn Rushd sangat besar bagi dunia Kristen, tapi tak banyak berpengaruh bagi dunia Islam. Untuk mengantisipasi pengaruh Ibn Rushd yang makin meluas, para petinggi Gereja melakukan berbagai upaya, termasuk mengeluarkan fatwa (edict) haram mempelajari Ibn Rushd.
Pada Desember 1270, Etienne Tempier mengeluarkan pengumuman tentang ajaran-ajaran heretik, termasuk pandangan Aristoteles dan Ibn Rushd di dalamnya. Siapa saja yang melanggar fatwa itu akan dihukum berat.
Tapi, para pengikut Ibn Rushd (Averroest) tidak tinggal diam. Alih-alih takut dengan ancaman sang uskup, mereka justru makin bertambah militan. Seperti diceritakan oleh Renan, para pengikut Ibn Rushd itu melakukan berbagai macam cara untuk menyebarluaskan dan menyelundupkan buku-buku Ibn Rushd.
Agar bisa survive, mereka mengadopsi pandangan Ibn Rushd tentang akal dan wahyu menjadi doktrin “kebenaran ganda”. Kepada Gereja, mereka mengakui kebenaran wahyu; dan kepada filsafat dan sains, mereka mengamini kebenaran akal pikiran.
Meskipun mengalami tekanan yang luar biasa dari Gereja, kaum Averroest sebenarnya sedang membangun jalan ke masa depan Eropa yang gemilang. Dua abad setelah persekusi yang mereka alami, akal pikiran memenangkan pertarungannya dengan Gereja.
Dimulai oleh gerakan Renaisans di Italia, kebenaran non-wahyu (sains) makin luas diterima. Dan perlahan tapi pasti, Eropa menjadi makin rasional.