Lampu jalan mulai menyala satu-satu menerangi jalan-jalan sepi kota, menyertai hati-hati sunyi yang kembali ke peraduan. Di jalan, dua tiga kendaraan melintas. Satu di antaranya dikendarai perempuan yang setiap pagi terburu berangkat untuk menyalurkan tenaganya pada orang yang jauh lebih kaya dan jauh lebih ringan kerjanya karena orang itu pemilik modal, demi upah tak seberapa yang dengan penuh sabar mesti ia terima tanpa berharap sesuatu yang terlalu jauh, atau simpelnya perempuan itu biasa disebut buruh, seorang buruh perempuan.

Buruh itu kembali mengeluh setelah sedari pagi menahan dan mengacuhkan keluhannya. Sembari menatap jalan dan menarik gas motor, rasa yang beban itu mengalir begitu saja bersama embusan udara dan asap knalpot.

Di jalan itu, ia puas-puaskan meletupkan segala ratapan, gelisah, dan tidak terimanya pada mimpi yang mesti kuat-kuat ia lupakan. Sebab di rumah, ia sudah harus kembali jadi sosok yang lain.

Maka sore itu, jalan memang sepi, namun hati buruh itu riuh sendiri oleh protes yang hanya mampu ia sampaikan pada lampu-lampu jalan yang remang di sudut-sudut kota.

Sembari berkendara dengan motor yang tak lagi bisa melaju kencang karena usia, ia mengingat-ingat kembali beberapa tahun silam ketika jalan belum sehalus ini, ketika motornya belum seusang kini, ketika tanggung jawab tak seberat sekarang, ketika suami masih di sisi, ketika cinta masih tentang kata dan kebersamaan tanpa tuntutan, ketika hidup belum sehampa dan semuram ini.

Beberapa tahun silam jalanan masih batu pedel. Di banyak titik lumpur dan becek sehabis hujan selalu menghambat perjalanan. Dulu, ia tak sesering sekarang melalui jalan ini, ia hanya melewati jalan ini jika ada keperluan penting seperti ke pasar, ke kantor kecamatan atau ke alun-alun. 

Namun kini, setiap pagi dan sore ia lewat jalan ini. Memang sudah enak dan lancar, namun dulu selalu ia lewati dengan antusias dan penuh keceriaan, bersama bapak waktu kecil dan di kemudian tahun ia lewati jalan ini bersama lelaki yang kelak menjadi suaminya. Tak seperti sekarang, ia lewati jalan ini dengan penuh ratapan kekesalan.

Selalu membahagiakan melewati jalan ini dulu, jalan yang tak terlalu bagus, namun karena jalur satu-satunya untuk sampai di pusat kota. Sebenarnya ada jalan lain, namun akan jauh lebih susah dan memakan waktu, tak ada batu pedel, hanya jalanan tanah di tengah persawahan.

Cerita menarik akan selalu ia bawah setelah dari pusat kota itu, dan di rumah ibunya akan ia cecar dengan ceritanya. Betapa ia selalu takjub melihat kerumunan orang dengan keperluan yang berbeda-beda lalu lalang di pasar. 

Ia juga takjub pada orang-orang di kantor camat yang ruangannya luas namun senyap, mereka bekerja dengan sedikit bicara atau mungkin tak mereka tampakkan, ia tak terlalu peduli tentang itu tapi tetap takjub. Juga pada orang-orang di persimpangan alun-alun kota yang selalu ramai di padati berbagai macam orang. Cerita tentang mereka selalu menarik bagi ibu meski berkali-kali ia ceritakan.

Memang begitulah ibu, ia selalu menyediakan telinga bagi cerita-cerita anaknya. Bahkan saat anaknya dewasa, cerita-cerita ceria yang perlahan berganti dengan cerita cinta, sedih dan dosa yang diceritakan anaknya sambil terisak dan penuh permohonan maaf, ibu selalu ada untuk cerita-cerita itu.

Tak peduli esok atau lusa anaknya kembali di malam hari dengan cerita yang hampir sama, tentang kebodohan perihal cinta, sedih yang jadi luka, dan dosa. Ibu akan tetap tabah menjadi sandaran anaknya. Banyak mendengar sambil mengingatkan dan memperingatkan. 

Dan kini ia sudah menjadi ibu dari dua anak. Waktu begitu cepat, sesuatu yang dulu hanya kita bayangkan tak terasa kini sudah berada di sana dalam hal yang dulu hanya terpikir namun kini lebih dari itu. Menjalani memang selalu lebih sulit dari memikirkan. 

Di beberapa waktu kita sering sebal terhadap ibu kita untuk beberapa hal, kita pikir tak seharusnya seperti itu ibu kita. Namun saat telah menjadi seorang ibu, kita baru paham dan mengerti sikap ibu terhadap kita dahulu. Pembelajaran memang butuh waktu, terkadang waktunya terlampau jauh, menunggu kita melakukannya baru kita bisa paham.

Lamunan terus berlanjut, ingatan terus berkelebat tak terasa motornya hampir sampai di desanya. Desa di ujung pusat kota. Kota namun masih bernuansa desa. Ia senang tinggal di sini. Di desa di mana rumahnya berdiri menaungi keluarga kecilnya. 

Tempat  beristirahat di mana waktu dibiarkan melambat, saat lelah penat ia rebahkan sejenak dengan khidmat sebelum esok ia kembali dengan tekat yang kuat-kuat ia genggam erat demi mimpi. Bukan mimpinya, namun mimpi lain yang coba ia hidupkan sebagaimana dulu orang tuanya menghidupkan mimpi itu dalam dirinya.

Mimpinya sendiri sudah lama ia kubur, setelah kekecewaan berturut-turut datang. Ia berharap dari mimpi yang ia pendam akan tumbuh mimpi lain lewat anak-anaknya.

Ia sudah masuk jalan desa. Ia teringat anaknya, tak terasa air mata ternyata sudah membasahi kedua pipinya.

Maka sesampainya di halaman, setelah ia parkir motornya, ia usap sisa keringat dan air mata yang bercampur sedikit debu jalan di wajah dengan ujung kerudungnya.

Dua anaknya sudah menyambutnya dengan tawa dan rengekan. Dan dengan sendirinya senyum terlukis sempurna di bibirnya menyambut uluran tangan anak-anaknya. Satu menarik-narik tangannya, satu lagi menendang-nendang di gendongan.

“Buk, tumbas es krim.” Kata Si Kecil sambil mengencangkan rangkulan di lehernya.

“Adek satu, aku satu, Buk, nggeh.” Mata anak yang memegangi kakinya itu membesar saat dilihatnya.

“Enggeh mbenjeng. Pon dalu iki. Mundak pilek.” Coba menyanggupi, tanpa tau apa bisa ia perbuat lebih dari itu.

Keduanya tertawa. Ia juga. Lupa akan segala beban yang ia punya. Mereka masuk rumah, berbahagia bersama sementara selagi bisa.