Pertengahan tahun 2017, saya menerima ajakan oleh kawan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat di Sulawesi Selatan untuk terlibat dalam penyusunan rencana bisnis pabrik veneer di Kabupaten Luwu Timur. 

Pendirian sebuah pabrik veneer merupakan salah satu agenda aksi organisasi untuk membantu masyarakat Luwu Timur yang sebagian berprofesi sebagai petani kayu agar mendapatkan harga pembelian layak, sebab struktur pasar perdagangan kayu di daerah ini cenderung monopsonistik. Petani tidak memiliki banyak alternatif ketika ingin menjual kayu, sehingga mereka menerima harga rendah (price taker) yang ditentukan oleh pihak perusahaan (price maker).

Ketika berkunjung pertama kali ke pabrik veneer yang berlokasi di Kecamatan Tomoni, Kabupaten Luwu Timur, saya menyaksikan besarnya potensi komoditas kayu rakyat ditanam diatas hutan tanaman rakyat seluas ratusan hektar. Hutan kayu tersebut merupakan sumber penghasilan utama sebagian masyarakat Luwu Timur yang kepemilikanya pribadi dan beberapa hektar merupakan hak pengelolaan diberikan oleh negara kepada masyarakat melalui skema perhutanan sosial.

Hak pengelolaan hutan melalui mekanisme perhutanan sosial merupakan salah satu program pemerintah dibidang kehutanan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang bermukim disekitar hutan. Mereka dibolehkan untuk mengambil manfaat ekonomi dari hutan dengan menanam beberapa komoditas, salah satu diantaranya kayu.  

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, dari tahun 2007 hingga 2018 total luas lahan perhutanan sosial sudah mencapai 1.760.405 Ha, terdiri dari enam skema pengelolaan yaitu Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, dan Hutan Adat.

Kabupaten Luwu Timur hanya satu dari sekian banyak daerah dengan potensi hutan kayu rakyat tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Mereka menjadi pemasok bahan baku untuk industri olahan kayu seperti veneer, kayu lapis, papan partikel, dll. 

Semakin bertambahnya program perhutanan sosial, terutama melalui skema Hutan Tanaman Rakyat, akan memperbesar produksi kayu bulat di Indonesia dan merupakan mitra strategis industri kertas di Indonesia ditengah tantangan deforestasi dan kerusakan lingkungan.

Tingginya permintaan kertas dari dalam dan luar negeri, tentu menjadi kabar baik bagi seluruh industri kertas domestic. Meski teknologi infromasi berkembang, nampaknya manusia belum bisa melepaskan ketergantunganya terhadap kertas, sehingga alih-alih turun, kebutuhan kertas dunia justru bertambah setiap tahunya. 

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia mengekspor kertas dan barang dari kertas senilai US$7,26 miliar atau naik 15,1% dari tahun sebelumnya sebesar US$6,30 miliar. Tingginya permintaan kertas dan barang dari kertas bukan cuma menghasilkan devisa bagi Indonesia dan menyerap tenaga kerja serta memberi profit bagi perusahaan, tapi juga memunculkan biaya lingkungan yang tidak sedikit.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan berbagai lembaga non pemerintah internasional menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi paling parah di dunia. Forest Watch Indonesia dalam publikasinya tahun 2001, menguraikan bahwa laju kehilangan hutan Indonesia semakin meningkat. 

Pada tahun 1980-an Indonesia kehilangan rata-rata sekitar 1 juta Ha hutan per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta Ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an.  Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta Ha per tahun. 

Meski tahun 2018 laju deforestasi dilaporkan menurun, namun secara akumulatif, Indonesia sudah kehilangan jutaan hektar hutan akibat bencana alam dan ekspolitasi berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit, pengolah kayu, dan industri kertas dan bahan dari kertas. Hal tersebut diperparah dengan minimnya aktvitas konservasi setelah aktivitas ekspoitasi oleh perusahaan, meski pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk memerintahkan perbaikan hutan.

Rainforest Action Network menjelaskan kaitan antara pulp and paper industry dengan tingginya laju deforestasi hutan Indonesia. Lembaga ini menyebut beberapa perusahaan kertas terbesar di Asia seperti Asia Pulp and Paper (APP) and Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) yang secara historis telah melakukan aktivitas eksploitasi hutan alam di Indonesia sejak lama. Oleh karena itu, industri kertas dituding sebagai salah satu faktor penyebab tingginya laju deforestasi.

Ditengah desakan dari berbagai pihak untuk menurunkan laju deforestasi dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, cepat atau lambat industri kertas harus mulai berbenah. Aktivitas produksi kertas dan bahan kertas lainya yang selama ini diambil dari hutan alam, perlahan harus dikurangi tentu tanpa mengurangi pasokan bahan baku industri. 

Agar mengurangi eksploitasi hutan alam, sumber bahan baku industri kertas harus dialihkan dari hutan alam ke hutan rakyat melalui skema kerjasama pemberdayaan. Pencarian sumber kayu alternatif juga sesuai dengan amanat UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 6, dimana pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan.

Kolaborasi antara pemerintah, pemerintah daerah, industri kertas, dan petani hutan kayu merupakan prasyarat penting jika berniat menurunan laju deforestasi dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup, namun tetap mendukung pertumbuhan aktivitas produksi. Skema kerjasama permberdayaan dapat dilihat dari gambar dibawah ini.

Gambar

Skema Kerjasama Antar Stakeholder

Pemerintah, melalui program perhutanan sosial, memungkinkan petani hutan yang dulunya memiliki lahan garapan terbatas, dapat meningkatkan produksi kayunya, tapi tetap menekankan kelastarian hutan. 

Dalam definisi pemerintah, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Menurut definisi ini, masyarakat diperbolehkan untuk mengambil manfaat ekonomi tapi juga harus terlibat langsung dalam upaya-upaya pelestarian hutan.

Sebelum dijual, pemerintah harus memastikan bahwa kayu yang diproduksi petani tidak berasal dari aktivitas illegal. Dengan tujuan itu, maka kayu milik petani harus melewati SVLK (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu). Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. 

Fungsi dari sistem ini adalah memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan, sehingga konsumen di luar negeri tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia, unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya, dan industri berbahan kayu yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Sebagian besar usaha pertanian kayu, terutama hutan rakyat (kebun milik pribadi dan skema perhutanan sosial), sudah melewati SVLK.

Pada level daerah, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup provinsi, seharusnya berperan sebagai fasilitator pada dua hal, yaitu memastikan bahwa kayu rakyat bisa melewati SVLK dan memafilitasi kerjasama antara petani kayu rakyat dengan industri kertas. Melalui kelompok tani kayu rakyat, pemerintah provinsi dapat menjembatani kerjasama antara industri kertas dan petani kayu rakyat. Ini menjadi poin penting dalam skema ini, sebab peralihan sumber bahan baku kayu dari hutan alam ke hutan rakyat merupakan tujuan utama dari kerjasama ini.

Tahun 2011, hutan rakyat Indonesia dilaporkan mampu memproduksi kayu bulat sebanyak 2.828.038 M3 berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Delapan tahun kemudian, jumlah produksi kayu rakyat tentu bertambah karena program perhutanan sosial telah memberikan izin pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan total luas 1.760.405 Ha (dari tahun 2007-2018) yang terdiri dari 433.345 Ha Hutan Kemasyarakatan, 940.159 Ha Hutan Desa, 270.413 Ha Hutan Tanaman Rakyat, 74.947 Ha Kemitraan, 19.377 Ha Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, dan 22.164 Ha Hutan Adat. Jika bekerjasama dengan industri, hutan rakyat bisa menjadi pemasok alternatif bahan baku menggantikan hutan alam.

Kerjasama antara industri kertas dan kelompok petani kayu rakyat bukan hanya mendatangkan keuntungan ekonomi bagi kedua belah pihak, tapi juga manfaat ekologis. Sebagai mitra strategis, perusahaan membantu petani untuk meningkatkan produktivitas dengan cara memperkenalkan teknologi, cara produksi baru, atau pengetahuan baru berkaitan dengan produksi kayu. Ketimbang membayar ongkos lingkungan akibat aktivitas penebangan kayu di hutan alam, tentu jauh lebih murah jika perusahaan bermitra dengan petani kayu rakyat.