Di zaman yang serba canggih ini manusia semakin kebingungan menemukan jati dirinya. Keterbatasan waktu, tuntutan penyelesaian masalah yang harus diselesaikan secara instan, dan gencarnya informasi membuat kita tak lagi punya kesempatan berefleksi tentang siapa aku. Masyarakat modern cenderung tidak menanyakan “hakikat” mengapa ia hidup. Kita mungkin bisa menerka bahwa tidak penting kiranya menanyakan hal yang tidak ada feadahnya.
Manusia di era modern terlalu banyak menggunakan tanda seru, terlalu banyak memerintah. Lupakah kita untuk selalu bertanya? Bertanya tentang hal yang seolah-olah sudah mapan. Bertanya tentang diri kita sendiri? Tanda seru dan tanda tanya menyiratkan sesuatu yang berbeda.
Tanda seru menandakan keteguhan, memberikan keyakinan, menyuguhkan suatu pemecahan yang tuntas, menyingkirkan setiap kesangsian. Dunia tanda seru seperti saat ini adalah dunia yang baku, terorganisir, kaku dan tertutup.
Di dunia ini terdapat kebenaran dan kepastian yang tidak tergoyahkan. Sebaliknya, dunia tanda tanya yang sudah mulai hilang saat ini berusaha membuka jendela yang tadinya tertutup. Dunia tanda tanya adalah dunia yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru, dunia yang tidak membekukan, dunia yang reflektif.
Sudah jadi kebiasaan manusia sedari kecil untuk bertanya. Masih ingatkah kita ketika kecil selalu mempertanyakan ini dan itu, membuat orang tua kita pusing tak bisa memjawab karena kita terus bertanya dan bertanya. Manusia semula sudah memliki bakat filosofis, secara spontan dan polos.
Manusia adalah makhluk yang bertanya (Weij, 1988, p. 7) bahkan manusia menanyakan tentang dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya tidak mampu bertanya tentang “keakuannya”, itulah salah satu alasan mengapa manusia lebih tinggi kedudukannya dari makhluk hidup lainnya.
Manusia yang bertanya akan menyadari tentang keberadaannya dan menyadari bahwa dirinya sebagai penanya. Jadi, ia mencari dan terus mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya.
Sejarah perkembangan humanisme diawali dengan pertanyaan, Siapakah aku ini? Apakah kemungkinan-kemungkinan saya dan manusia pada umumnya? Apakah makna dari kehidupan saya? Apakah saya mampu memaknainya? Mari kita telisik lebih lanjut apa jawaban yang telah didapatkan manusia sejak dari zaman Yunani Klasik sampai zaman Pertengahan.
Zaman Yunani Klasik dan Zaman Pertengahan
Pada masa Yunani Klasik, humanisme ini mewujud dalam paideia, suatu sistem pendidikan pada zaman itu yang dimaksudkan untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal. Humanisme secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yakni humus (tanah/bumi). Dari kata tersebut muncul kata homo (manusia) dan humanus (membumi dan manusiawi) (Samho, 2008, p. 2). Istilah yang sepadan dengannya adalah kata Latin humilis (kesederhanaan dan kerendahan hati).
Prespektif humanisme pada masa Yunani Klasik berangkat dari pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia. Namun, perspektif humanisme pada Abad Pertengahan berangkat dari keyakinan dasar tentang manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati. Perspektif etimologis dan historis dalam memaknai kata humanisme menunjukkan bahwa inti persoalan humanisme adalah manusia itu sendiri.
Kembali ke Yunani Klasik, paideia secara struktural memang dipahami sebagai setem pendidikan dengan visi yang jelas, yaitu mengupayakan manusia ideal. Manusia yang ideal pada masa itu adalah manusia yang mampu menyelaraskan jiwa dan badan, suatu kondisi di mana manusia mencapai eudaimonia (kebahagiaan).
Dalam kurikulum tradisional Yunani Klasik dikenal dengan istilah artes liberales atau liberal arts, ada tujuh bidang pelajaran yang diajarkan dalam menccapai arete (keutamaan, kebajikan). Ketujuh bidang pelajaran itu adalah tata bahasa, retorika, logika, matematika, geometri, astronomi, dan musik.
Dalam tahap awal filsafat Yunani tampak semata-mata berurusan dengan dunia fisik (upaya memahami rahasia alam/unsur pembentuknya). Otomatis pada tahap awal ini pemikiran masyarakat Yunani belum “antoposentris”. Maka gagasan seputar pentingnya keselarasan jiwa-badan pun belum ada.
Itulah sebab awalnya mengapa kita perlu berterima kasih kepada Socrates yang membumikan filsafat pada tataran permasalahan manusia. Manusia pada masa itu sebagai mikrokosmos (bagian kecil dari alam semesta) karena manusia merupakan bagian dari makrokosmos (alam semesta yang besar).
Permenungan Sokrates yang berangkat dari persoalan eksistensi kodrati manusia. Sokrates membuat analisis yang menentukan sifat-sifat dan merumuskannya dalam kategori sebagai berikut: kebaikan, keadilan, kesahajaan, kejujuran, dan seterusnya (Samho, 2008, pp. 22-23).
Bagi Sokrates, manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya, yakni cara berpikir dialektis. Artinya, manusia dapat memahami dirinya dan sesamanya melalui relasi intersubjektif dengan manusia lain.
Seperti yang dituliskan Plato dalam Republik, Sokrates meyakini bahwa menanamkan kebenaran jiwa kepada seseorang adalah sama sulitnya dengan memercikkan kebenaran kepada seseorang yang buta sejak lahir.
Dalam perspektif Sokrates ini, kebenaran pada hakikatnya adalah pemikiran dialektis. Pandangan yang menghendaki pentingnya interaksi, kerjasama terus-menerus antarsubjek yang saling bertanya jawab, yang oleh Sokrates disebut teknik/seni kebidanan.
Plato juga memberikan sumbangsih kepada humanisme Yunani Klasik. Ajaran Plato tentang manusia sebagai mikrokosmos dalam sejarah filsafat yang dinamakan “dualisme” memiliki dampak yang besar. Menurut Plato, tubuh dan jiwa bukan merupakan satu kesatuan.
Plato menganggap bahwa jiwa adalah pusat dari kepribadian manusia. Namun, jiwa ini terbagi menjadi tiga bagian: pertama, bagian rasional yang dikaitkan dengan kebijaksanaan; kedua, bagian keberanian dikaitkan dengan kegagahan; ketiga, bagian keinginan dipahami sebagai kehendak. Peyeimbang ketiganya adalah keadilan (Samho, 2008, p. 25).
Pandangan Aristoteles tentang jiwa berbeda dari gurunya, Plato. Dalam traktatnya De anima, Aristoteles menampilkan pandangan yang berbeda terutama tentang kebakaan jiwa. Pertama, Aristoteles menganut dualisme dengan menganggap jiwa bertentangan dengan tubuh, sama seperti Plato.
Kedua, ia menekankan kerja sama antara jiwa dan tubuh, dimana tubuh merupakan alat yang dipergunakan oleh jiwa. Ketiga, ia melukiskan jiwa sebagai entelekheio tubuh; kesatuan jiwa tubuh sangat ditekankan; jiwa tidak lagi dianggap bersifat baka.
Perbedaan Aristoteles dengan Plato yang mencolok adalah gagasan tentang kebakan jiwa yang diimani Plato namun ditolak Aristoteles (Samho, 2008, p. 26).
Pada abad Pertengahan paradigma humanisme berubah. Augustinus, filsuf dan teolog Kristiani memulai loncatan pandangan mengenai manusia. Menurut Augustinus, manusia tidak sekadar makhluk kodrati, tapi juga adikodrati. Pandangan yang baru muncul pada abad pertengahan, tidak ditemukan pada masa sebelumnya.
Augustinus tidak hanya berhasil mengangkat citra manusia ke tataran adikodrati atau transenden, tapi juga meletakkan dasar bagi kerangka berpikir pada Abad Pertengahan dan dogmatik Kristiani tentang manusia (Samho, 2008, p. 29). Dalam karyanya Confessiones, kita dapat memahami pandangan Augustinus tentang rasionalitas sampai pandangan teologis.
Menurutnya, semua filsafat sebelum munculnya Kristus rentan terhadap suatu kesalahan dasar. Alasannya adalah karena semua filsafat sebelum hadirnya Kristus dipengaruhi oleh paham bidah satu sama lain, yakni: pengagungan rasio sebagai daya tertinggi manusia.
Menurutnya, rasio tidak bisa menunjukkan jalan pada manusia menuju kejelasan, kebenaran, dan kebijaksanaan. Arti rasio sendiri kabur, asal-usulnya terselubung dalam misteri, yakni misteri yang hanya bisa dijawab oleh wahyu kristiani.
Thomas Aquinas juga memberikan sumbangsihnya dalam humanisme ala Abad Pertengahan. Aquinas jika dibandingkan dengan Augustinus lebih menyukai daya rasio manusiawi, meskipun ia juga yakin bahwa manusia tidak akan mampu menggunakan daya rasio dengan benar tanpa dibimbing dan diterangi oleh rahmat Illahi.
Dalam karyanya Summa Theologiae, Aquinas menjelaskan hakikat sejati Tuhan sebagai yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Batas akhir yang diketahui manusia tentang Tuhan adalah mengetahui bahwa dia tidak mengetahui Tuhan, karena Tuhan mengungguli semua hal yang dapat dipahami mengenainya (Samho, 2008, p. 32).
Daftar Referensi:
Samho, B., 2008. Humanisme Yunani Klasik dan Abad Pertengahan. In: B. Sugiharto, ed. Humanisme dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan. Yogyakarta: Jalasutra, pp. 1-40.
Weij, D. P. v. d., 1988. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. 1 penyunt. Jakarta: PT Gramedia.