Beberapa waktu lalu, penulis mengikuti sebuah diskusi menarik yang diadakan komunitas ‘Ngukus:Ngumpul Diskusi”; salah satu kelompok diskusi mahasiswa di kota Pematangsiantar. Tema yang dipilih adalah soal pro-kontra hukuman mati. 

Tema ini dipilih terkait wacana (berlarut-larut dan menahun) soal keinginan pembaruan hukum pidana Indonesia dengan (masih) digodoknya RUU KUHP baru di mana dalam penggodokan ini pun terjadi pro-kontra penerapan hukuman mati di tingkat lembaga legislatif.

Layaknya perdebatan pro-kontra di tingkat lembaga legislatif soal ini, dalam forum diskusi pun turut terjadi dikotomi pendapat: menolak dan menerima hukuman mati. Penulis sendiri bisa merangkum dan menyimpulkan hasil pediskusian adalah sebagai berikut:

Berdasarkan literasi bacaan yang dijadikan referensi di forum tersebut, sejarah penerapan praktik hukuman mati pertama kali dilaksanakan pada awal abad ke-18 SM di masa Kerajaan Babylonia (Raja Hammurabi). Selanjutnya, Imperium Kekaisaran Romawi juga menerapkan hukuman mati pada abad ke-12 masehi. Bentuk hukuman mati pada masa Imperium Romawi sendiri cenderung bervariasi, yakni penyaliban, dilempari sampai mati, dan lain sebagaianya.

Untuk konteks Indonesia, berdasarkan referensi forum, hukuman mati sudah diterapkan (abad-15) jauh sebelum Indonesia merdeka. Salah satu contoh adalah penerapan hukuman mati di Tanah Batak, di mana penerapan hukumannya dilakukan melalui pemancungan kepala.

Adapun catatan mengenai bentuk penolakan terhadap hukuman mati pertama kali ialah peristiwa Jean Calas, seorang pedagang yang dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi di Touluse, Prancis. Ternyata kemudian ia tidak bersalah.

Voltaire, yang dikemudian hari dikenal sebagai filsuf dan penulis satire telah menggugatnya dan meminta supaya diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, di mana dinyatakan bahwa Jean Calas tidak bersalah dan putusan pertama dibatalkan. Tetapi nyawa Jean Calas tidak ada lagi. 

Di samping itu, penentang keras selanjutnya ialah C. Beccaria yang menghendaki agar dalam penerapan pidana lebih diperhatikan kemanusiaan.

Dalam konteks keindonesiaan, sistem hukum pidana di Indonesia sendiri melegalkan penerapan hukuman mati. Landasan hukum penerapan hukuman mati diatur pada: 

  1. KUHP; dimuat pada pasal 10, 11, 12, 38, 47, 67, 78, 84, 104, 444, dll;
  2. KUHAP; dimuat pada pasal 56, 64, 65, 271, dll; 
  3. KUHM; dimuat pada pasal 114, 133, 135, 137, dll;
  4. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, antara lain pada pasal 59, 74, 114 ayat (2); 
  5. UU No. 15 tahun 2003 tentang Terorisme;
  6. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Namun, hal ini justru menjadi sebuah paradok bagi kubu kontra. Karena penerapan peraturan tersebut semacam menjadi sebuah kontadiksi atau pertentangan peraturan terhadap ketentuan yang lebih tinggi, yakni UUD 1945 sebagai grandnourm di Indonesia sebagaimana tertulis di dalam pasal 28A UUD 1945 bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal ini mengakomodir hak hidup sebagai hak hakiki setiap manusia. Singkatnya, kubu kontra memberikan tafsiran terhadap pasal 28A UUD 1945 tersebut sebagai pasal yang mengeliminasi penerapan hukuman mati.

Selain itu, penerapan hukuman mati dari sudut psikis juga berdampak negatif, di mana hukuman mati berpotensi mempengaruhi kondisi batin para keluarga si terpidana, maupun tekanan psikologis yang juga mempengaruhi para eksekutor.

Lebih jauh lagi, kubu kontra mengatakan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara penerapan hukuman mati dan berkurangnya tindakan kejahatan. Bukti riil adalah negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat yang menghapuskan hukuman mati dalam sistem pemidanaan mereka, namun tingkat kejahatan di sana justru minim.

Kasus klasik juga sudah mengungkapkannya. Di mana diceritakan, bahwa pada saat terjadinya eksekusi mati terhadap para penjahat yang dilakukan dan dipertontonkan di depan publik tersebut, toh tidak menyurutkan niatan jahat terhadap adanya aksi pencopetan di situ.

Lebih jauh, juga dikatakan bahwa proses putusan penjatuhan hukuman yang dilakukan oleh hakim tidak terlepas dari sebuah kekeliruan (human error); bilamana dijatuhkan hukuman mati, maka tidak akan dapat mengembalikan nyawa si terpidana mati tersebut.

Kubu pro sendiri membantah argumen tersebut. Menurutnya, proses penjatuhan hukuman mati itu dilakukan sangat hati-hati dan interval dilakukannya eksekusi mati juga bisa dilaksanakan setelah bertahun-tahun.

Selain itu, juga dikatakan kita harus mengakui hukum positif yang berlaku yang memang mengakomodir hukuman mati; persoalan penegakan peraturan ialah persoalan hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum), bukan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum). 

Kemudian, berbicara hak hidup sebagai hak hakiki manusia, kubu pro mengatakan bahwa UU sendiri tidak mutlak mengakui hak tersebut. Ada pengecualian terhadap perbuatan atau kasus-kasus yang berdampak luas terhadap stabilitas negara dan kejahatan luar biasa, seperti narkotika, terorisme, dll, sebagaimana yang diatur berdasarkan putusan MK No. 60/PUU/2003.

Pun demikian, kubu pro juga mengakui bahwa sistem hukum juga tidak boleh kaku dan terpasung pada penerapan hukuman mati. Konsep hukum pidana tidak boleh terpasung tujuan retributif (pembalasan) belaka saja, namun harus melangkah ke arah yang utilitarian (tujuan dan kemanfaatan). Mengutip pendapat Immanuel Kant, "Kita seharusnya menjadikan manusia sebagai tujuan bukan sebagai alat."

Kubu pro juga tidak sepakat bahwa pemberian hukuman itu mencegah terjadinya kejahatan, sedangkan hukum itu sendiri hadir setelah terjadinya pelanggaran atau kejahatan tersebut.

Berdasarkan hasil perdebatan tersebut, penulis sendiri bisa memaklumi terjadi dikotomi tajam antara pro-kontra terhadap penerapan hukuman mati ini di mana kedua-duanya memiliki argumen yang kuat dan benar. Ini tidak terlepas dari sudut mana kita memandangnya. Toh, mazhab besar hukum sendiri juga sudah terkubu: Mazhab Hukum Alam dan Positivisme. Jadi, tidak mengherankan bahwa argumen yang pro-kontra itu sama-sama memiliki dasar yang kuat.

Namun, secara pribadi, penulis sendiri tetap kontra terhadap hukuman mati. Ada sisi menarik yang coba penulis uraikan terhadap fakta yang penulis dapat di pediskusian yang menguatkan pendirian penulis untuk berdiri sebagai pihak yang kontra terhadap hukuman mati.

Penulis melihat, konsep pemidanaan itu sudah bergeser dari pemberian efek jera -- dengan pembalasan -- dan perlindungan kepentingan umum, ke konsep pembinaan yang juga turut mengakomodir kepentingan terpidana.

Sistem hukum pidana yang beradab tidak lagi berkutat pada aspek retributifnya (pembalasan), namun mengarah ke arah utilitarian (tujuan dan kemanfaatan). Negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat menjadi kasus terang benderang terhadap hal ini.

Sistem hukum pidana kita sendiri dirasa harus dituntun mengarah ke situ. Bukan malah mengalami dekadensi dan pendegradasian. Hukum pidana Belanda sendiri juga sudah menghapus hukuman mati. Indonesia yang notabene mengadopsi hukum pidana Belanda justru rigid dan stagnan. 

Penulis sendiri memaklumi hal dan kenyataan tersebut di mana sebahagian besar masyarakat Indonesia sendiri cenderung mendukung pemberlakuan hukuman mati. Spekulasi penulis, kecenderungan mendukung ini tidak terlepas dari aspek religi yang memiliki peran signifikan bagi masyarakat di berbagai lini kehidupan pada umumnya. Seperti diketahui, beberapa keyakinan mapan di Indonesia ini memang ‘mengamini’ praktik hukuman mati. 

Hal ini juga selaras jika kita tilik dalam skala global, bahwa negara-negara yang menerapkan hukuman mati adalah negara yang secara komposisi, aspek keyakinannya ‘mengamini’ praktik hukuman mati, serta memiliki peran signifikan sebagai sumber utama dalam sistem aturannya.

Tentu ada sebuah dilema bagi kita ketika menentukan sikap jika suatu aturan itu bersumber pada ‘tafsir’ agama, seperti misalnya “pengiyaan” terhadap penerapan hukuman mati. Pun demikian, penulis tetap berpegang teguh pada apa yang dinilai selaras dan baik bagi peradaban.

Penulis memahami apa yang ditulis dalam agama hendaklah dipahami secara kontekstual dan selaras kebutuhan serta kepentingan umum, bukan sekadar tekstual-redaksional belaka. 

Pada titik ini, penulis juga sepakat bahwa pada dasarnya pembaruan sistem hukum yang selaras dengan peradaban haruslah didahului pembaruan mental dan pemahaman keyakinan yang konservatif menuju arah yang inklusif dan sekuler. Pada akhirnya, penulis berharap ke depan sistem hukum pidana di Indonesia telah menghapus hukuman mati sebagai pidana pokok di dalam KUHP-nya.