Cintamu Sepahit Topi Miring
Putih layu bara mendekat
Tarikan nafasku membaui ruang tulismu
Dopamin mengusir yang aku ragu
Nikotin di bibirku melumat pantai mu
Kesendirian ini beranjak memukulku
Di ujung lautan asbak pukul tiga pagi
Cemas mengintip di balik batin
Menyulut gairah paling pribadi
Saat aku mengunjungi persilanganmu
Di banyak jalan biasa
Kulihat kau kembali utuh
Lembut dan renyah dibuai gurauan rindu
Dalam heningnya kuil Byzantium
Merasai aku sesaat angin hujan
Merangkak dari sisa anggur semalam
Memunggungi apa yang hendak kau katakan
Wibawa Asmara
Ingin kubawa engkau kembali
Ketika langit sedang perak
Menelanjangi apa yang ada di benakmu
Lantas bercerita soal rahasia yang kusimpan di nadimu
Dendam tak mesti dilunasi
Marah bisa menyenangkan untuk dituruti
Demikian hadir sesal buta
Seperti penutup saga Mahabarata
Bibirku selalu cemburu
Pada merah di balik pipimu
Saat berdua bicara semesta
Cukup satu babak Zarathustra
Sariputra
Di balik pelepah kelapa akan selalu ada sebiji matahari
Biru tinggi dengan coklat lincah yang jeli
Begitulah air muka yang ingin ku susuri
Sampai ke hilir putih tulangnya
Dengan sebilah nampan dan sepasang pisau
Kubelah dadamu rapi, tapi tak kutemukan jantung
Lagi hanya semangka hijau yang buyar
Basi dan merah busuk di alam budi ku
Cinta deritanya tiada akhir
Romansa masokis putus suka
Yang bisa menikmati sakit sebagai pilihan kasih
Tanpa mencicip sedikit bijaknya duka
Matahari Kata
Kamu adalah kata
Ucap sebarang yang majemuk
Menunggal terbuang dari kumpulannya
Mana lagi yang paling kau tidak tahu
Kata-kata riang bocah lapar
Terik sesal di kota Jakarta
Dibuang ke tempat sampah
Mati di atas meja dan bangku sekolah
Hijau Kejauhan
Aku terpanah tatapan tajam, sempit bulan sabit
Dagingku sengit, cemburu pada merah darah bibirmu
Kilaunya helai mawar di atas perak salju
Masihkah adinda, belum bertuan doa mu?
Jadilah bintang fajarku
Arah di mana aku berpuasa
Memalingkan muka dari jagat buana
Mengakhiri perang abadi di balik dada ini
Usirlah kesendirianku pada tiap syair mu
Lewat angka atau kata, makna juga yang maya
Akan kusajikan sekeping koin, anggur, roti dan puisi
Bila kau datang ke beranda ku malam ini
Bola Mata
Dahulu aku melihat dunia dari kedua bola matamu
Cahayanya semenjana mengisi ruang kalbuku
Tidurku tak lagi nyenyak, dusinku tak lagi harum
Sejak kepergianmu, aku ingin hitunganmu keliru
Kudoakan kau dalam sunyi yang khidmat
Terlahir kembali!
Baik dalam kelabu rinai atau sepasang kepik emas
Juga keringat yang mengucur kembali pada tuannya
Takzim rinduku tak pernah mati
Segala yang pergi akan kembali dalam bentuk yang lain
Bercerita soal ziarah abadi tentang cinta
Seperti getar indah bunga melati di balik bening bola matamu
Perpisahan
Maafkan aku kasih
Lama sudah selalu aku menyantap pikiranmu
Kepergianmu membuat tiada yang bisa kumangsa selain pikiranku sendiri
Alam pikir pandora yang rupa bencana kosong
Kosong pikiran membuatku mudah jatuh cinta pada siapa juga
Bahkan pada iblis sepertimu
Kau kah iblis itu?
Aku tak punya lagi kesempatan untuk bertanya padamu
Aku mencintai pikiranmu
Memperkosanya adalah dosa besarku selama ini
Teka-teki hebat seorang perempuan
Yang bahkan lebih putih daripada sebulir nasi
Avontur
Mentari menerabas sisir kelapa, kenari menyambut suka
Terang pagi jatuh ke tanah bersama laba-laba gunung yang hendak melepas puasa
Batinku termangu di dalam buah kelapa
Tiada memikirkan apa, tiada berbuat apa, tiada makna
Pagi menanti sore lantas menanti malam
Itu hanya untuk menyaksikan duka
Luka melahap pikiran semua makhluk bumi
Sebelum benar-benar mati abadi
Surgaloka, bukan itu yang kucari
Pun Samsara, ada atau tidak tak bisa kuberi
Aku hanyalah debu
Das Ding an Sich
Pergilah Pergi
Aku tak ingin jadi penjara
Aku tak ingin jadi sangkar untukmu
Biarlah aku jadi angin
Ruang untuk kau terbang
Biar aku mengisi juga membaui bulumu yang keemasan itu
Ketika fajar membelokkan sedikit sinarnya
Pada ranting yang tak utuh lagi
Juga pucuk-pucuk hijau yang tumbuh semi
Kembalilah pada tiga babak elegi
Kujadikan kau adagium kasih
Perihal apa yang tak sampai
Abadi dalam rupa terkenang cinta
Epilog
Kita pernah bersekutu sebelum tumpas jadi abu
Kau dan aku pernah sebiru laut sebelum putih ludah pelaut
Kau pernah sehijau Kaktus sebelum coklat daun Jati
Aku pernah seputih kapas sebelum menghitam upas
Nadimu dan nadirku pernah berbagi sudut bak sendok dan garpu
Meski pada akhirnya saling menjauh seperti kapal yang beranjak dari dermaga
Aku tak tahu apa yang kau cari, kau tak membiarkanku menghentikan pencarianku
Naluri petualangku tumpul sejak aku mengenalmu, namun kau demikian tidak
Kau semakin haus akan tantangan
Sekalipun berujung derita, kau tetap melangkah ke sana
Merah bibirmu, pekat jantungku tak lagi satu
Getarnya terpisah dalam abu yang kau tabur