Kita, tampaknya sedang diserang wabah baru pasca New Normal—yakni sebuah kebanalan paradoksal yang tumbuh di sana-sini, luruh bersama ini dan itu juga tampak dalam setiap fenomena kebangsaan kita.
kebanalan itu adalah soal lumrah yang telah kita hadapi hari-hari dalam kaitannya dengan cara beragama kita. kebanalan itu sering dituduh sebagai yang “Radikal”. Tentu saja ini adalah suatu pencemaran terhadap kata yang berakar pada Radix yang di peradaban Yunani nan megah itu adalah tentang kedalaman suatu pikiran.
Radikalisme itu mengemuka sebab soal-soal remeh yang sebenarnya bukan agama itu sendiri. Ia menyangkut pada perbedaan-perbedaan kecil dalam tata cara dan bukan dalam soal sujud-sembah di hadapan Yang AdiKuasa. Jadi paradoksnya ada pada penamaan golongan ini sebagai yang “radikal” sembari menutupi segala ketidak-mampuan kita dalam membina perspektif yang terbuka, moderat dan inklusiv untuk segenap warga negara.
Digunakanlah segala macam perangkat hukum, ditundukkanlah berbagai serikat, dan diadakanlah segala seminar, demi membincangkan diri kita sebagai yang benar sementara mereka yang berbeda sebagai yang radikal. Tuduhan itu sekaligus adalah jalan pintas, untuk menutupi kebanalan, dengan kebanalan yang sama (meski tak serupa). Sialnya kita tak cukup awas dengan sejarah.
Marx yang komunis itu telah berkhotbah tentang sejarah. Dipengaruhi Hegel, ia mengatakan bahwa sejarah serupa lingkaran yang berulang. Di dalamnya ada kita yang saling memakan, ada ide yang saling berbantah, ada kelas yang silih berganti. Ia memandang sejarah sebagai siapa yang mendominasi siapa.
Marx ternyata benar soal lingkaran sejarahnya. Ketika RUU HIP didengar publik, terjadi lah kekisruhan yang seakan-akan berakar pada perbedaan Ideologi. Kita secara terburu-buru melabel mereka yang berselisih sebagai Komunis-Islamis-Nasionalis.
Jika pada kasus Radikalisme kita menuduh mereka yang islamis sebagai yang tidak pancasilais, sekarang berbalik lah peran itu. Yang membosankan dari dunia peran itu adalah adegannya yang tak berubah. Semua dipertontonkan dengan gaya saling tuduh. Siapa komunis, siapa pula khilafah.
Yang unik adalah bahwa semua yang berselisih, mendaku paling nasionalis dan cinta tanah air. Dulu dalam perdebatan ideologi antara Bung Karno, Soepomo, Sjahrir, juga berbagai tokoh islam yang sungguh peduli, Nasionalisme itu adalah jalan untuk bersatu. Kini nasionalisme menjadi dalih untuk bercerai. Itu kenapa saya menyebut berbagai perdebatan itu hanya “Seakan-akan” atau “Seolah-olah” tentang ideologi.
RUU Haluan Ideologi Pancasila ini sebenarnya sama dangkalnya dengan tuduhan radikal maupun tuduhan komunis. Ia memaksa Indonesia bersatu di dalam satu kerangka perspektif, memapak narasi kepancasilaan itu ke dalam terjemahan ala Marhaenis. Padahal jauh-jauh hari sebelum Di Bawah Bendera Revolusi milik Bung Karno itu ditulis, segala firqah telah bersepakat pada Pancasila yang bebas tafsir, yang demokratis dan penuh dengan semangat kerakyatan.
Jika dalih pembentukan Undang-Undang ini ada di seputaran urgensi pembinaan idelogi pada rakyat, itu artinya para perumus undang-undang merasa paling paham soal Pancasila. Sialnya, pemahaman tentang Pancasila di Gedung parlemen itu telah menimbulkan sejumlah kekisruhan. Mulai dari UU KPK, RUU Omnibus, hingga RUU HIP ini. Jadi Pancasila yang agung itu, diterjemahkan dengan kebanalan dan arogansi parlemen, hasilnya adalah kekacauan dan perselisihan.
Yang paling menarik dari HIP ini adalah soal Ekasila yang dipandang sebagai substansi dari keseluruhan sila. Eka sila itu adalah gotong-royong. Tentu saja ini suatu semangat yang baik dan optimistik. Pada soal gotong-royong ini lah kita akan segera melihat paradoks ribuan dimensi yang tak akan mungkin kita bendung meski dengan 10 anak muda serupa Rocky Gerung.
Pada dimensi pertama adalah soal pertentangan ide yang di awal tadi telah saya sebut sebagai yang seolah-olah ideologis. Saya sebut begitu, karena akar perselisihannya bukan lagi ide, logika, kalkulasi fisika maupun penelitian ilmu sosial, melainkan ia semata-mata berakar pada sentimen sejarah dan golongan.
Dimensi berikutnya ada pada level aplikasi Pancasila itu sendiri yang terpatri dalam berbagai prilaku para pejabat negara. Saya tidak ingin aplikasi Pancasila yang ideal serta penghayatan yang demikian dalam, sebagaimana yang kita harapkan, kita bebankan tanggung-jawabnya pada rakyat yang bekerja, berusaha, banting-tulang juga sibuk untuk bertahan hidup. Sebagaimana pesan caknur sebelum ia meninggal, ia telah berkata demikian;
“Hendaknya para pemilik kuasa, pemangku kebijakan, juga pejabat negara agar menerapkan pola hidup sederhana.”
Pesan Caknur ini kini menjadi sangat relevan. Pasalnya rakyat kehilangan rasa percaya dan pemerintah kehilangan legitimasi, bersebab pada kesenjangan berbagai hal yang kian lama kian menganga. Kita kehilangan keteladanan. Semua pejabat negara, bahkan para wakil rakyat hanya bicara tanpa pernah memberi teladan.
Tumbuh suburlah watak pamer kekayaan itu di kalangan para pejabat negara sementara rakyat hanya menonton juga bosan mengutuki nasib di hadapan apa yang mereka tonton. Jadi gotong-royong yang pada level kelas atas itu diterjemahkan sebagai prilaku filantropi, dilakukan dengan semangat pamer ala sosialita.
Pada soal lain, saya cukup menyesalkan situasi kampus hari-hari ini. Representasi ilmuan yang diwakili Rektor dan wakil-wakilnya juga Dekan dan wakil-wakilnya, kini berubah. Wajahnya adalah wajah birokrasi, wajah kuasa, wajah pejabat negara yang sama dengan yang kita bicarakan di paragraf sebelumnya.
Saat Uang Kuliah Mahasiswa yang kita sebut dengan UKT, yang berprinsip pada semangat saling bantu dan saling subsidi itu ternyata gagal uji di hadapan pandemi Covid19, Rektor dan Dekan malah diam. Mereka hanya bicara untuk mensosialisasikan keputusan menterinya masing-masing (Kemenag dan Kemendikbud). Tak satu suara pun kita dengar, dimana rektor berteriak keras pada pemerintah, bahwa potongan 10% atau sekian persen itu tak adil dan tak relevan bagi mahasiswa.
Mereka juga mendadak gagap bicara tentang keterbukaan. Perguruan Tinggi Islam di bawah kementerian Agama misalnya, bertahun-tahun mengkampanyekan islam inklusiv, islam moderat, islam terbuka dan islam yang ramah, menjadi gagap bicara soal keterbukaan informasi menyangkut peruntukan UKT yang telah mereka bayarkan dan tak terpakai sepanjang Maret-September? Ayat-ayat tentang kejujuran dan keadilan telah bergema di kelas-kelas Gedung kuliah, tapi mengaplikasikannya dalam kehidupan kampus, bahkan sekelas profesor masih harus belajar lagi.
Lagi-lagi, mungkin yang sering kita bicarakan bukanlah kehendak Tuhan, bukan pula Pancasila atau Keadilan dan Kerakyatan, tapi kita bicara tentang diri kita yang pengecut—yang tak pernah berani berkata jujur bahwa kita masih ingin mempertahankan jabatan dan meraup keuntungan lebih besar dari berbagai adagium kerakyatan yang masyhur.