Mahasiswa baru tentunya akan menghadapi masa transisi dari sekolah menengah atas menuju perguruan tinggi yang lebih kompleks dan penuh tantangan (Dayle, Francis, & McDaniel, 1987 dalam Stoever, 2001; Sharma,2012). Masa transisi ini berkaitan dengan sistem pembelajaran dan lingkungan sosial yang baru. 

Mahasiswa baru yang menjalani sistem baru tentunya akan menemui beberapa masalah seperti, masalah institusional, tuntutan akademis yang lebih besar, tuntutan dalam relasi sosial, serta perubahan dalam hal peran dan tanggung jawab (Credé & Niehorster, 2012; Fischer, 2007). 

Sharma (2012) mendeskripsikan masa transisi sebagai sebuah “culture shock” yang melibatkan pembelajaran kembali terhadap masalah sosial dan psikologis dalam menghadapi hal baru. 

Hal baru yang memengaruhi culture shock tersebut adalah pengajar atau fasilitator selama proses belajar mengajar, teman baru dengan beragam nilai dan berbagai keyakinan, kebebasan dan peluang baru yang didapatkan, serta tuntutan akademik, personal, dan sosial yang baru. 

Pada tahap ini para mahasiswa baru akan di hadapkan dengan berbagai macam permasalahan yang lebih kompleks, lebih banyak tekanan dan perubahan yang berdampak pada ketidakstabilan emosional.

Kecerdasan emosi didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam memahami diri dan perasaan orang lain, memberikan motivasi diri, mengontrol emosi dengan baik pada diri sendiri maupun saat dengan orang lain. Kecerdasan emosi merupakan faktor penting dalam penyesuaian diri sehingga perlu dikembangkan lebih mendalam. 

Tahun pertama perkuliahan menjadikan seorang mahasiswa baru memiliki banyak sekali tuntutan-tuntutan serta masalah-masalah di lingkungan barunya seperti tuntutan akademik, non akademik, dan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. 

Pada proses penyesuaian diri ini mahasiswa baru dituntut untuk dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada secara mandiri karena itu lah hal ini menjadi pondasi atau acuan dasar apakah mahasiswa baru dapat mengatasi masalah yang ada atau malah menimbulkan kecenderungan stress dan perasaan tertekan. 

Proses ini dianggap sebagai pembuktian diri sebagai orang dewasa yang mandiri dan tangguh dalam menghadapi semua rintangan. Sistem perkuliahan membentuk mahasiswa baru untuk memiliki kendali penuh atas keputusan yang akan diambil (Credé & Niehorster, 2012; Fischer, 2007). 

Proses ini dianggap sebagai usaha pembuktian kualitas diri sebagai orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat keputusan (Santrock, 2005). Kesempatan mengambil keputusan membuat mahasiswa baru memiliki kesempatan untuk mengembangkan pribadinya. 

Akan tetapi, mahasiswa baru juga akan mengalami kesulitan dalam beberapa hal. Kesulitan tersebut antara lain, perbedaan sifat pendidikan antara sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, kesulitan mengatur waktu, finansial, dan menjalin relasi dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi maupun di lingkungan tempat tinggalnya(Gunarsa & Gunarsa, 2001). 

Setelah melewati proses penyesuaian diri mahasiswa baru tentunya harus bisa mengatur waktu. Mengatur waktu disini di definisikan sebagai mahasiswa baru dituntut untuk bisa manajemen waktu antara belajar untuk kuliah, berorganisasi untuk menambah pengalaman serta relasi dan waktu untuk bersantai sejenak dari semua kegiatan-kegiatan harian yang cukup menguras waktu dan tenaga.

Dalam proses ini banyak sekali mahasiswa baru yang kurang bisa memanajemen waktu antara waktu untuk belajar dan waktu untuk bermain. Hal ini tentunya menimbulkan masalah baru yakni tuntutan akademik yang tidak dapat di capai dengan hasil yg memuaskan. 

Dalam hal ini sebenarnya mahasiswa baru harus pandai-pandai dalam memilih pergaulan pertemanan yang harus di usahakan dalam mengikuti pergaulan tersebut mengarah ke hal-hal yang positif dan dapat mendorong semangat nya dalam mencapai akademik yang diharapkan. 

Mahasiswa baru tentunya juga di hadapan dengan masalah lingkup pergaulan yang baru juga. Disini para mahasiswa baru harus bisa memilih pergaulan yang baik yakni bisa mengarah ke hal positif dan bermanfaat serta tidak menjerumuskan ke hal negatif sehingga tuntutan akademik yang ada bisa dicapai dengan semaksimal mungkin dengan hasil yang memuaskan. 

Mahasiswa baru sebagai seorang individu diharapkan bisa terus mengontrol kecerdasan emosi yang dimiliki membentuk pribadi yang mudah beradaptasi, gigih, dan tekun. 

Karena seorang mahasiswa baru telah mencapai pada masa-masa menjadi orang dewasa dengan segala permasalahan yang ada yang tentunya lebih kompleks dan rumit. 

Kecerdasan emosi akan sangat membantu individu dalam menentukan sikap ketika menjalin kontak dengan lingkungan maupun dengan orang lain. Kemampuan mengelola emosi menjadi hal penting untuk membantu individu dalam mencapai kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologis. 

Gohm dan Clore (2002) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dan kebahagiaan individu sangat ditentukan oleh perubahan atau pengalaman emosional yang dialaminya. 

Ketika individu lebih banyak mengalami dan terjebak dalam emosi negatif seperti kecewa, sedih, marah, dan perasaan negatif lainnya maka individu cenderung diliputi suasana psikologis yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan bagi individu tersebut. Hal ini menyebabkan individu tersebut menjadi sulit merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan. 

Penyesuaian diri mahasiswa baru dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki hubungan yang erat maka para mahasiswa sangat perlu mengembangkan kecerdasan emosional nya serta dapat berpikir lebih luas lagi dan lebih kritis dalam mengambil sebuah keputusan karena sangat berpengaruh untuk kedepannya.