Sebelum saya menulis, pertama-tama kita harus sepakat bahwa hoax belum tentu kebohongan, sementara kebohongan sudah pasti hoax. Salah satu unsur hoax adalah pencitraan, apakah pencitraan adalah kebohongan? Tentu bukan. Pencitraan adalah melebih-lebihkan peran dan charisma seseorang untuk kepentingan tertentu. Rasionalisasi juga termasuk hoax, begitupun dengan generalisasi, propaganda, agitasi, dan sederet penafsiran-penafsiran untuk mempengaruhi persepsi publik untuk tertuju pada suatu kepentingan, biasanya politik dan ekonomi. Dengan begini kita bisa bertanya-tanya, apakah iklan-iklan di TV juga bagian dari unsur hoax? Silahkan dipikir.
Sebenarnya kebohongan bukanlah sesuatu yang berbahaya selama itu jelas terlihat kebohongannya, dengan begitu mudah disanggah. Tapi jika ada sesuatu yang benar dan factual kemudian dipelintir penafsirannya untuk tujuan-tujan mempengaruhi publik, ini yang bahaya. Kenapa bahaya? Karena publik sama asekali tidak menyadari kalau dirinya sedang dipengaruhi atau sedang diarahkan.
Secanggih apapun teknologi penangkal hoax seperti yang diluncurkan oleh sebuah komunitas anti fitnah dan SARA melalui media social, tak akan pernah bisa memverifikasi secara klinis tafsir-tafsir pemelentiran fakta, karena pada dasarnya fakta itu benar, hanya saja dipelintir. Butuh kemampuan intelektual sundul langit untuk melakukan pemelintiran penafsiran seperti ini.
Ruang Publik adalah Ruang Deliberasi
Jurgen Habermas, seorang filosof asal Jerman yang memeiliki tradisi intelektual deliberative mengatakan, “Ruang publik adalah ruang deliberasi, yaitu ruang di mana orang mengartikulasikan kepentingan dan aspirasinya dalam suasana demokratis, namun masalah yang kemudian datang akibat deliberasi itu adalah soal afirmasi, emansipasi, hingga verifikasi motivasi dari beredarnya sebuah gagasan.”
Bagi Habermas, problem utama demokrasi dan keterbukaan ruang publik bukanlah moral/akhlaq, tapi kemampuan nalar masing-msaing individu untuk membaca motif di balik perilku demokratis itu. Sekarang kita dengan mudah melakukan apapun sebebas apapun atas nama demokras. Para pengkritik yang lebih cenderung bernada sinis dan nyinyirpun bisa menyebut dirinya mengkritik karena negara kita adalah negara demokratis. Pokoknya semua hal sekarang ini adalah buah dari demokrasi. Sebetulnya jika jiwa kita mau menerima, saat ini kita hidup dalam ruang deliberasi kebohongan. Tentunya bukan kebohongan verifikatif, tapi kebohongan hasil pemelintiran kebenaran.
Karl Marx pernah mengungkapkan kekecewaannya dengan kondisi politik saat dia hidup. Dia melihat betapa naifnya umat manusia, mau-maunya diajak perang dengan kecintaan pada negara, padahal itu abstrak. Negara yang mengajak rakyatnya untuk perang sejatinya hanya ingin memperluas jajahan dan eksploitasi ekonomi. Dia menyebut kesadaran manusia-manusia naïf itu sebagai kesadaran palsu.
Di satu sisi Marx juga melihat betapa Agama hanya digunakan sebagai ekstase (alat penenang) untuk manusia-manusia naïf lainnya yang terancam punah akibat perang dan eksploitasi ekonomi, tidak ada gerakan sama sekali. Agama cenderung membuat umatnya hanya pasarah kepada sesuatu, yang menurut karl marx, tahayul. Dari sinilah dia menyebut Agama sebagai candu.
Itulah hoax, tujan utamanya bukan untuk membohongi tapi untuk mempengaruhi dan merubah cara berpikir. Bukan juga untuk mengingkari fakta, tapi menafsirkannya sesuai dengan kepentingan.
Islam sudah mengajarkan “Qulil haq Walau Kana murron” Katakanlah kebenaran walaupun pahit. Mudah sebenarnya bagi kita untuk mengatakan kebenaran, asalkan tidak pahit, tidak pahit untuk kita sendiri. Di titik kepahitan inilah biasanya pelintiran-pelintiran itu muncul. Sehingga yang susah bukan mengakui atau mengatakan kebenarannya, tapi menerima kepahitannya.
Menjelang pemilu kali ini, para politisi saling adu data dalam setiap perdebatan, no data is hoax katanya. Nyatanya dalam perdebatan itu setiap data yang ditampilkan para politisi selalu bertendensi mengalahkan lawan debatnya, bukan bertujuan mencari kebenaran. Katakanlah data-data yang mereka bawa benar-faktual, tapi mereka pasti memilih dan memilah data yang menguntungkannya sekaligus untuk menyerang lawannya. Ada pemelintaran di sana.
Jiwa-jiwa Cantik
Factor apa yang menyebabkan data yang sebenarnya faktual menjadi tidak bernilai valid? Marx menyebutnya sebagai jiwa-jiwa cantik (beautifull soul). Jiwa-jiwa cantik adalah jiwa yang merasa paling bersih dan paling benar, dia menolak kebenaran lain. Bagi jiwa-jiwa cantik, kebenaran adalah apa yang ada di pikirannya. Bagi jiwa-jiwa cantik, masalah selalu datang dari sana, bukan dari sini.
Akhirnya, sang jiwa cantik akan kesulitan beradaptasi dengan kebenaran-kebenaran yang tak pernah terpikirkn olehnya.Orang dengan karakter jiwa cantik seperti itu akan sangat mudah dipengaruhi asalkan wacana yang dikembangkan sesuai dengan orientasi jiwa yang dimilikinya. Dari posisi ini hoax (pencitraan, agitasi, propaganda, dan promosi) akan mudah merasuk .
Karakter jiwa cantik semacam ini biasanya tumbuh di kalangan yang mengkultuskan doktrin. Proses pendidikan yang mereka jalanin terlalu banyak berjejalan doktrin tapi minim sekali asupan-asupan kritis. Pada akhirnya kebenaran bagi mereka adalah doktrin itu. Di beberapa lembaga pendidikan yang ada, sering para guru menghimbau pada muridnya bahwa yang penting adalah bagaimana tekun belajar dan mendengar, soal paham atau tidak nanti belakangan.
Setali tiga uang, saya juga menyoroti banyaknya ustadz-ustadz baru yang secara genealogi keilmuan kurang bisa dipertanggungjawabkan. Banyak sekali agamawan-agamawan senior yang mengeluhkan munculnya ustadz-ustadz instan ini karena dia artis. Yang sangat mengkhawatirkan adalah ustadz-ustadz artis ini membawa doktrin yang dinilai intoleran dalam dakwahnya. Boleh dibilang artis-artis yang mendadak jadi ustadz adalah fenomena jiwa-jiwa cantik yang sudah merasa suci dan pantas berdakwah. Jiwa-jiwa cantik inilah sumber sekaligus sasaran hoax yang sebenaranya.