Semua orang sepakat bahwa hoaks adalah "kebohongan", sesuatu yang terdengar sederhana, sesuatu yang memberikan rasa ketidakpercayaan masyarakat tentang keberadaan suatu hal yang memang seharusnya tidak ada dan tidak terbukti.

Tapi coba baca definisi sebenarnya hoaks di wikipedia sebagai berikut: Berita palsu atau berita bohong atau hoaks (bahasa Inggris: hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.

Lihat kalimat terakhir yang coba saya kutip ulang: "tetapi dibuat seolah-olah benar adanya." Kalimat ini sudah cukup mengindikasikan bahwa hoaks memang melibatkan sebuah niat yang terencana, digunakan dengan mekanisme terperinci agar si korban terperangkap dengan beritanya. 

Berbeda dengan kebohongan pada umumnya, hoaks bahkan didefinisikan sebagai berita bohong kepada publik dengan meyakinkan mereka bahwa berita yang mereka dengar dan lihat benar adanya. 

Hoaks bukan kabar burung atau gosip. Hoaks adalah tentang meyakinkan seseorang bahwa berita itu benar. Dan agar hoaks dapat dipercaya, si pembuat menggunakan logika yang dibentur-benturkan, ataupun fakta yang juga dapat dibentur-benturkan. Jadi, gampangnya, hoaks tidak selalu kebohongan murni.

Contoh kejadian tsunami di Sulawesi dan Maluku waktu lalu, menggunakan berita faktual kemudian dihidangkan dengan fakta lainnya. Contoh kecil yang sering kali saya perhatikan tiap hari di media sosial, ada sebuah berita screenshot yang diambil dari media ternama merd*ka. It's a simple tricky. Sebagai orang yang sering mengotak-atik Photoshop, mengganti kalimat atau sekadar menempel tulisan (font) bukanlah hal sulit.

Adapula hoaks yang lebih tricky, berita screenshot yang dihidangkan asli, tapi ia menuliskan postingan dengan kurang lebih opini pribadi yang lagi-lagi membenturkan fakta-fakta yang sebetulnya mengada-ada dan hanya buah hasil prasangka. Misalnya gempa terjadi karena pemimpin munafik, atau gempa terjadi karena maksiat terlalu banyak. 

Ini adalah kekeliruan. Siapa yang bisa menghitung maksiat? Siapa yang bisa tahu bahwa pemimpin munafik bisa mengakibatkan gempa? Ini keliru, tidak akurat, dan malah terkesan membodohi masyarakat. Bahkan lebih parahnya membawa nama agama, tapi dibawa-bawa untuk hal yang sifatnya malah politis.

Selain hoaks, kita selalu bertemu dengan kalimat "provokasi". Provokasi artinya perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan.

Sekarang, kenapa definisi tersebut ada kata "membangkitkan"? Saya akan sedikit mengungkap rahasia misteri di balik provokasi.

Manusia adalah makhluk yang berakal, tapi sepenuhnya manusia tidak sering menggunakan akal mereka sama sekali. Kenapa? Manusia pun adalah makhluk imajiner atau pengkhayal, yaitu seorang yang memiliki imajinasi tinggi tentang hal-hal yang sebetulnya tidak nyata tapi ia meyakininya sebagai kenyataan dalam otaknya.

Imajinasi itu meliputi impian, harapan, rasa takut, amarah, dan segala bentuk emosi yang dibangkitkan oleh kesadaran imajinernya. Maka dari itu, manusia adalah makhluk yang juga dikendalikan emosi dan membangkitkan imajinasinya yang kadang kala: semakin emosional, semakin tinggi pula imajinasinya.

Inilah yang kadang bisa dipakai untuk memanipulasi akal manusia lewat alam bawah sadar mereka, yaitu imajinasi mereka. Ketika manusia takut, maka seseorang bisa memanipulasi rasa takutnya dengan provokasi tentang imajiner-imajiner yang berbahaya, seperti halnya PKI, antek asing, Cina, Yahudi, dan lain-lain. 

Dan ancaman palsu yang diproduksi oleh pikirannya sendiri juga bisa terjadi ketika seseorang ditinggalkan di tengah kuburan di malam hari. Dan tentu saja dengan meyakini 100% bahwa orang tersebut akan mulai membayangkan hal macam-macam, membayangkan sosok hantu atau sekadar suara angin yang kadang membuat sosok itu terasa nyata.

Inipun bisa dimanipulasi melalui sifat amarah manusia. Misal, ketika manusia mudah disulut amarah, ketika ia adalah seorang fanatik, entah suporter bola maupun fanatik agama.

Respons imajinasi terhadap emosi jauh lebih cepat dan tiba-tiba respons akal manusia menjadi turun. Serasa emosi dan akal manusia tidak selalu mampu berjalan seimbang. Hal ini tidak aneh, karena saya pribadi pun pernah mengalami pengalaman memercayai orang yang saya cintai dan kagumi, meskipun pada akhirnya kenyataan membuktikan bahwa semua hanya manipulasi pikiran kita terhadap emosi dan imajinasi. 

Meskipun orang-orang di sekitar saya telah meyakinkan saya akan pilihan saya yang tidak tepat, tapi otak saya dimanipulasi sedemikian rupa, seolah orang tersebut sempurna, tanpa cacat, dan yakin bahwa dia adalah orang yang baik dan patut dikagumi. Ini semua bisa dikaitkan pada jatuh cinta pada anak, kekasih, pemimpin, saudara, ataupun teman.

Nah, di sinilah peran sang provokator. Dan saya yakin provokator tidaklah benar-benar provokator yang sengaja berperan sebagai otak pengadu domba. Meski saya yakin orang seperti ini ada, dan niatnya selain untuk bisnis online terkait istilah populernya click-bait, atau juga bisa merupakan kesenangan tersendiri melihat orang bodoh dan bigot berkelahi.

Imajinasi ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh diri sendiri, kemudian imajinasinya yang tidak empiris mengeluarkan prasangka-prasangka. Itulah kenapa orang yang kurang berilmu lebih banyak berprasangka meskipun akhlak dan keimanannya sangat baik, cepat mengambil kesimpulan tanpa menimbang-nimbang asal-usul beritanya. 

Mereka menggunakan nalar imajinasi mereka. Bahkan tidak jarang saya sering mendengar kata, "Saya heran deh...", "Kok begitu sih...", kemudian setelah menyodorkan pertanyaan penuh keheranan itu, bukannya malah mengonfirmasi tentang asal-usul kebenarannya, justru yang digunakan adalah simplifikasi nalar dan logika dipertemukan dengan imajinasi (prasangka) lalu terbentuklah kata-kata berikut: kafir, sesat, bid'ah, liberal.

Salah satunya yang bisa saya singgung adalah masalah bendera tauhid. Simplifikasi dasar kata-katanya adalah "Islam kok memusuhi Islam". 

Terdengar kontradiktif dan provokatif, sebagaimana kalimat itu jatuh pada prasangka-prasangka murahan, bagaimana kendali pikiran lebih mencerna hal-hal yang tak masuk akal, dan tidak pernah alasan-alasan terkait "kenapa", "bagaimana", "siapa", "untuk apa" sebagaimana kita perlu menganalisis sebab-musababnya, bukan sekadar akibat isu yang ditimbulkan.

Kebanyakan memang orang lebih suka mempertanyakan hal-hal untuk mempersulit jawaban mereka sendiri yang sebetulnya bisa dicari titik temu masalahnya secara mudah. Karena manusia lebih memprioritaskan imajinasi, logika, dan narasi yang sesuai dengan otak yang mampu diterima emosinya, bukan kepada hal yang bersifat fakta yang akurat.

Baca Juga: Vox Hoax Vox Dei