Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI sebagai sebuah organisasi yang lahir dalam suasana pergolakan pemikiran (ideologi) yang begitu kuat di Indonesia pada masa-masa itu, tahun 1966-67. Hal tersebut membuat HMI mau tidak mau harus muncul dengan ciri khas yang berbeda untuk merespon dinamika kebangsaan yang saat itu begitu menegangkan. 

Kondisi itu berakar dari perseteruan ideologi dunia, utamanya kapitalisme dengan sosialisme-komunisme. Kemudian di Indonesia memunculkan kelompok kiri dan kanan, dan sampai pada konflik antara kelompok Pancasilais versus PKI. Gejolak pun terjadi, dan menjadi sejarah kelam bangsa ini, pembantaian terjadi dimana-mana, puncaknya dari itu kita kenal dengan peristiwa G30S-PKI.

HMI yang adalah organisasi mahasiswa yang pro Pancasila sebagai ideologi negara saat itu (sampai sekarang) juga turut terbawa-bawa dan menjadi bagian dari musuh PKI. Dimana kelompok PKI selalu menuntut untuk HMI harus segera dibubarkan. Pilihan HMI untuk anti-komunis merupakan pertanggung jawaban sejarah, perjuangan dan komitmen kuat membangun masa depan negara bangsa.

HMI jika dianalisa dari semangat kelahirannya, sangat terlihat jelas bentuk komitmen keislaman dan keindonesiaannya. Bahwa tujuan HMI dibentuk adalah mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. 

Artinya, HMI paham betul apa yang menjadi kebutuhan bangsa Indonesia saat itu, yakni negara dan agama perlu dijaga, dirawat dan dikembangkan di tanah air Indonesia.

Ikhtiar besar HMI di awal-awal kelahirannya sangat sejalan dengan perjalanan sejarah bangsa ini, dimana Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang tidak bisa terlepas pisahkan. Memisahkan keduanya adalah sesuatu yang ahistoris.

Antara keislaman dan kebangsaan di Indonesia ini dari sejak dahulunya sudah mencapai titik temu yang di dalamnya tidak ada lagi perdebatan. Kita bisa melihat titik temu pada dasar negara Indonesia yakni Pancasila.

Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar negara. Hampir seluruh anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan), memilih bentuk republik.

Namun setelah diskusi panjang tentang posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para pendiri bangsa (the founding father) itu berhasil mencapai kesepakatan bahwa Negara Republik Indonesia bukanlah sebuah Negara Teokrasi, melainkan negara yang di dalamnya Islam dan kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat terhormat dan dilindungi sebagaimana
tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945 (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2002: vii-viii).

Indonesia adalah negara yang jumlah penduduknya sebanyak 275.361.267 jiwa dan penduduknya menganut beberapa kepercayaan (agama), diantaranya: Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat Terdapat 238,09 juta jiwa atau 86,93% penduduk Indonesia yang tercatat beragama Islam pada akhir 2021. 

Dengan demikian mayoritas penduduk di Tanah Air adalah Muslim. Sebanyak 20,45 juta (7,47%) penduduk Indonesia yang memeluk agama Kristen, sebanyak 8,43 juta jiwa (3,08%) beragama Katolik, dan 4,67 juta (1,71%) beragama Hindu. Ada pula 2,03 juta jiwa atau 0,74 juta jiwa penduduk di tanah air yang beragama Buddha, terdapat 73,63 ribu jiwa (0,03%) memeluk agama Konghucu, serta terdapat 126,51 ribu (0,05%) yang menganut aliran kepercayaan.

Sebagai bangsa, Indonesia berada pada posisi yang sangat beragam. Sedangkan sebagai negara Indonesia, merupakan negara dengan penduduk beragam suku, agama, etnik, dan golongan. Diantara semuanya menjadi satu dalam rumpun Keindonesiaan karena mengalami nasib
yang sama yakni nasib karena ditindas dan dijajah bangsa kolonial pada zaman penjajahan.

Dari status Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dan negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia, tidak kemudian membuat umat Islam berbesar kepala dari pemeluk agama-agama yang lain.

Begitupun sebaliknya, agama-agama lain tidak merasa mereka minoritas dalam menjalani kehidupan sosial masyarakat. Semua orang adalah sama, punya persatuan dari beragam perbedaan yang dibangun dengan semangat kebhinekaan yang kuat.

Dua Nilai

Indonesia merupakan negara yang punya identitas tersendiri sebagaimana tercermin dalam dasar negaranya yakni Pancasila. Di dalam pancasila itulah ada beragam nilai yang akan kita sebut nilai-nilai keindonesiaan kita. Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah pandangan hidup, sumber dari kehidupan bernegara. 

Seperti Soekarno yang mengatakan bahwa Pancasila philosophische grondslag” atau “Weltanschauung" yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Soekarno meyakini bahwa Pancasila adalah falsafah yang mempersatukan dan mengikat Indonesia menjadi satu kesatuan.

Misalkan, pada kehidupan politik kita yang semakin maraknya politik identitas, sebaiknya nilai Pancasila mesti diaktualisasikan sebagai basis kultur untuk menghadapi suasana keberpolitikan di Indonesia. 

Dimana dinamika politik kita di Indonesia dengan mudah membuat masyarakat terpecah belah. Menjadikan Pancasila sebagai pemersatu seluruh kepentingan anak bangsa dengan tujuan menghindari perpecahan itu.

Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna; Historitas, Rasionalitas dan Aktualisasi Pancasila menjelaskan bahwa sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.

Sehingga Pancasila dan nilai keindonesiaan kita itu selalu hidup serta tetap berfungsi sebagai fondasi negara yang kokoh. Dari situlah Pancasila tidak lagi menjadi simbolistik sebuah negara, tapi lebih kepada substansi Pancasila yang terus dipraktekkan.

Di sisi lain, adapun nilai-nilai Islam. Kajian keislaman yang dikembangkan oleh HMI bukanlah kajian yang bersifat dogmatis, melainkan kajian kritis dan transformatif atas berbagai dinamika dalam pemikiran Islam yang berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. 

Sebab, Islam yang dipahami oleh HMI adalah agama yang sangat terbuka-inkulsif bagi perkembangan pemikiran. Sehingga Islam mesti terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Nurcholish Madjid memandang Islam yang hakiki bukan semata merupakan struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme masyarakat (Budhy Munawwar Rahman, 2011: 357)

Kritik terhadap perkembangan Islam, perjalanan peradaban Islam, dan kejumudan yang dialami oleh umat Islam di Indonesia dan dunia, adalah kajian yang paling sering dilakukan dalam rangka menemukan pola-pola gerakan intelektual untuk membangkitkan kembali kekuatan umat Islam supaya tidak hanya menjadi buih di dalam masyarakat dunia. Umat Islam yang jumlahnya banyak ini namun tidak berdaya secara politik dan ekonomi (Yusdi Usman, 2021).

Kita akan melihat bagaimana antara nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan itu tidak saling bertolak belakang. Nilai-nilai keindonesiaan itu terdapat pada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Dalam Pancasila itu juga sangat terilhami dari ajaran-ajaran Islam yakni yang terdapat dalam Al-Qur'an.

Dalam pancasila terdapat semangat toleransi antar umat beragama yang ada pada sila pertama yakni Ketuhana Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Islam banyak sekali pesan-pesan suci akan hal itu, seperti, Tidak ada paksaan dalam (menerima) agama (Islam) (QS. Al-Baqarah: 256). Sila-sila yang lain dalam pancasila juga demikian, sangat sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Itu artinya, sekali lagi, perpaduan keislaman dan keindonesiaan masih relevan untuk menuju masa depan Indonesia.

Ikhtiar HMI

Menjaga dan merawat nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan bagi HMI adalah upaya untuk melanjutkan amanah dari proses sejarah bangsa yang panjang. HMI sangat menyadari bahwa merawat penyatuan pemikiran keislaman dan keindonesiaan sama saja dengan menjaga keutuhan, menghindari polarisasi perbedaan yang sangat beragam di Indonesia, apalagi berbicara soal agama adalah sesuatu yang sensitif. Mempertemukan keduanya adalah pilihan yang tepat. Itulah yang dilakukan para pendiri bangsa.

Bagi Agussalim Sitompul (2001) yang dimaksud dengan pemikiran keislaman - keindonesiaan HMI adalah: Terintegrasinya antara pemikiran keislaman dan keindonesiaan di atas titik temu Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harmonis. 

Tidak terdapat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dengan Pancasila, selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri utama, pertumbuhan, perkembangan, dan kemajemukan.

Dari sisi yang lain, analisa HMI yang paling kental untuk tetap memadukan kedua nilai itu (keislaman dan keindonesiaan) sebagai bentuk ikhtiar HMI adalah dengan nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) melalui seorang Nurcholis Madjid atau Cak Nur, dimana NDP bagi kader HMI selalu dijadikan sebagai basis pemikiran dalam gerak langkah perjuangannya.

HMI sekali lagi menunjukkan kecangihannya sebagai organisasi mahasiswa yang terbesar dan tertua di Indonesia (sejak 1947) dengan mampu mengkonsepkan cara berpikir yang khas atau semacam ideologi yakni NDP itu sendiri. 

Dalam NDP, HMI sangat serius berbicara soal ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan tema-tema besar lain yang sangat sejalan dengan spirit keislaman dan keindonesiaan.

Terakhir dari tulisam ini adalah sebagai anak bangsa Indonesia, sebagai kader HMI, kita masih punya banyak perjuangan yang terutama untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya. 

Dari semua perjuangan itu akan selalu mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt. Sebab, mengamalkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kehmian adalah sesuatu yang sudah bersifat final.



Daftar Pustaka

Agussalim Sitompul. 2001. Pemikiran Himpunan Mahasiswa Islam Tentang Keislaman- Keindonesiaan.

Ahmad Syafi’i Ma’arif. 2002. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta:
Teraju.

Budhy Munawwar Rahman. 2011. Reorientasi Pembaruan Islam. Jakarta. Penerbit: Democracy Project.

Yudi Latif. 2015. Negara Paripurna; Historitas, Rasionalitas dan Aktualisasi Pancasila. Jakarta. Penerbit: Gramedia.

Yusdi Usman. 2021.https://barisan.co/pemikiran-hmi-tentang-keislaman-dan-keindonesiaan/